47. Mulai Mencair

42.9K 2.3K 33
                                    

Senyuman Zein mengembang sempurna. Ia sangat bahagia karena istrinya sudah shalat.

 "Berarti malam ini aku bisa buka puasa. Yess!" gumam Zein. Rasanya ia ingin melompat-lompat saat menyadari hal itu.

Jika sedang sendiri, Zein berani melakukan hal itu. Namun di hadapan Intan, ia tetap menjaga wibawanya agar tidak direndahkan oleh istrinya itu.

Ehem!

Zein berdehem sebelum masuk kamar. Ia sampai lupa akan tujuan awalnya yang hendak mengambil minum di dapur itu.

Saat ia masuk ke kamar, Zein melihat Intan masih shalat. Ia pun berganti pakaian dengan pakaian santai. Bahkan Zein hanya mengenakan celana kolor tanpa memakai pakaian dalam. Lalu ia mengambil kaos lengan pendek.

Beruntung mereka sudah makan malam ba'da maghrib tadi. Sehingga saat ini Zein bisa langsung bersiap untuk mengambil jatahnya.

Selesai mengganti pakaian, Zein pergi ke kamar mandi. Ia menyikat gigi, berkumur dengan cairan pembersih mulut, lalu membersihkan senjatanya. Setelah itu Zein mengenakan parfum agar istrinya itu bersemangat.

"Perfect! Kamu memang tampan, Zein. Pantas saja dia tergila-gila padamu," ucap Zein. Memuji dirinya di depan cermin. Ia yakin Intan sudah jatuh cinta padanya.

Setelah itu, Zein pun keluar dari kamar mandi.

Ceklek!

Zein mengerutkan keningnya, pandangannya mengedar, mencari istrinya itu. "Ke mana, dia?" gumam Zein. Ia bingung karena Intan tidak ada di sana.

Zein pun pergi ke luar kamar untuk mencari istrinya. Ia mendengar ada suara di dapur. Zein pun menuju dapur dan benar saja, Intan ada di sana.

'Ternyata di sini rupanya,' batin Zein. Ia mendekat ke arah Intan yang sedang mencuci piring itu.

Tadi Intan belum sempat mencuci piring. Sebab, setelah makan, Intan langsung melakukan pekerjaan lain. Kemudian shalat isya.

"Lagi apa?" tanya Zein sambil memeluk Intan dari belakang.

"Astaga!" ucap Intan. Ia terperanjat karena Zein tiba-tiba memeluknya.

"Mas kenapa sih seneng banget bikin aku sport jantung?" keluh Intan, kesal.

"Kan bagus. Biar jantungnya sehat," jawab Zein sambil mengendusi leher Intan.

Akhir-akhir ini hubungan mereka sudah mulai membaik meski Zein masih belum bisa mengungkapkan cintanya.

"Bukannya sehat, yang ada aku bisa mati karena serangan jantung!" jawab Intan ketus. Ia lanjut mencuci piring tanpa menghiraukan Zein yang sedang sibuk mengedusi lehernya. Namun sebenarnya ia merasa geli.

"Kamu harum banget, sih?" tanya Zein. Kemudian ia menghirup aroma rambut Intan yang baru keramas itu.

"Ya kan baru keramas," jawab Intan apa adanya.

"Oya? Kamu udah shalat?" tanya Zein, pura-pura.

"Udah, barusan," sahut Intan.

"Bukan itu maksudnya. Haidnya udah selesai?" tanya Zein lagi.

Intan langsung menghentikan gerakannya. Kemudian ia menoleh ke arah Zein. "Hem ... pantesan dari tadi mepet-mepet terus ... ternyata ada udang di balik bakwan," ucap Intan, gemas. Saat ini Zein seperti anak kecil yang sedang minta nen.

"Yah ... namanya juga udah seminggu gak dapet jatah. Wajar, dong. Setidaknya saya masih setia menunggu istri yang sedang berhalangan," jawab Zein.

"Cih! Iyalah setia, biar halangan juga minta ditreatment manual terus," ucap Intan, sebal.

"Kamu gak ikhlas?" tanya Zein sambil mencubit pipi Intan.

"Bukan gak ikhlas. Tapi omongan Mas yang gak sesuai kenyataan. Udah ah aku lagi cuci piring. Berat tau digelayutin kayak gitu!" keluh Intan, kesal.

Zein meraih tangan Intan dan mencucinya. "Biar nanti saya yang cuci piring. Kamu selesaikan kewajiban utama duli!" ucap Zein.

Setelah tangan Intan bersih. Ia mengambil lap dan mengeringkannya. Kemudian ia menggendong Intan.

Intan tersenyum melihat sikap suaminya. "Dasar!" ucapnya, sebal.

"Dasar kenapa?" tanya Zein tanpa menoleh.

"Gak apa-apa. Ada orang yang gengsinya segunung. Entah sampai kapan gunung gengsi itu mencair," sindir Intan.

"Maksud kamu, saya?" tanya Zein.

"Pikir aja sendiri," sahut Intan. Ia malas memberi tahunya.

Sebelumnya Intan sudah curhat pada ibunya. Dan ibunya mengatakan bahwa tidak semua lelaki bisa menyatakan cinta dengan mudah. Bukan hanya masalah gengsi. Namun terkadang ada karakter yang seperti itu.

Lelaki berbeda dengan wanita yang bisa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Namun, lelaki lebih ke tindakan.

Hal itulah yang membuat Intan mulai menerima dan tidak menuntut Zein untuk mengatakan cinta. Baginya, selama Zein bisa bersikap manid, ia anggap bahwa itu adalah bentuk dari cinta suaminya tersebut.

Ya ... meski tak dapat dipungkiri bahwa Intan masih mengharapkan pengakuan Zein, cepat atau lambat. Ia akan menunggunya dan berusaha untuk tetap sabar.

Saat sudah masuk ke kamar, Zein menutup pintunya dengan kaki.

Brug!

"Malam ini kamu harus siap untuk rapelan, ya," ucap Zein.

"Kok gitu?" tanya Intan.

"Iyalah, kan saya puasa seminggu. Jadi setidaknya harus 7 ronde," ledek Zein.

"Enak aja! Nanti aku gak bisa jalan." Intan protes.

"Kalau gak bisa jalan, kan ada saya yang bisa gendong," sahut Zein. Ia menurunkan Intan di atas tempat tidur. Setelah itu ia kembali berdiri dan melepaskan kaosnya.

Intan tersenyum sambil menatap Zein. 'Untung kamu udah bilang cinta walaupun kondisi aku lagi tidur. Seenggaknya aku udah tau perasaanmu. Tinggal nunggu ego kamu turun aja dan ngaku ke aku dalam keadaan sadar,' batin Intan sambil menatap suaminya.

Ia senang karena akhir-akhir ini Zein sudah tidak pernah marah padanya. Bahkan Zein selalu berbicara dengan lembut.

Akhirnya malam itu mereka kembali memadu kasih. Bahkan kali ini lebih panas dari biasanya. Sebab Zein sudah seminggu berpuasa.

"Terima kasih," ucap Zein sambil mengecup kening Intan. Ia merebahkan tubuhnya dan langsung terlelap. Zein lupa bahwa dirinya janji akan mencuci piring.

"Dasar, galak! Kalau udah enak, langsung pules, deh," gumam Intan pelan. Ia memandangi wajah suaminya yang sedang tertidur pulas itu.

Setelah yakin bahwa Zein terlelap, Intan memberanikan diri mengelus wajah suaminya.

"Kenapa sih kamu tuh egois banget? Ngakunya bisa ngelakuin itu tampa cinta, tapi ternyata diam-diam kamu cinta sama aku," gumam Intan, pelan.

"Coba sejak awal kamu mau ngaku. Pasti hubungan kita gak akan rumit kayak kemarin-kemarin."

"Untung belakangan ini kamu udah gak terlalu galak lagi. Kalau enggak, aku pasti akan hukum kamu. Aku akan sembunyi sampai kamu mau ngungkapin perasaanmu," ucap Intan sambil menjentikan jarinya di hidung Zein.

"Terima kasih, ya. Sekarang kamu udah bersikap baik sama aku. Semoga seterusnya bisa seperti itu," ucap Intan sambil menangkup pipi Zein. Setelah itu ia mengecup bibir suaminya.

"Sleep tight," bisik Intan. Lalu ia hendak turun untuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi.

Akan tetapi, saat Intan balik badan, Zein langsung menarik pinggang Intan dan memeluknya.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang