Debaran Jantung

43.6K 2.2K 21
                                    

Tiba-tiba hati Intan berdebar. Entah mengapa Zein seolah memancarkan pesona yang menarik hatinya. Perhatian profesor galak itu ternyata telah menyentuh hati Intan.

Ia pun menutup pintu mobil dan hendak menghampiri Zein.

"Sshhh!" Intan meringis kesakitan saat ia hendak menghampiri Zein. Perutnya terasa sakit, mungkin itu adalah efek dari dismenore.

Mendengar suara Intan, Zein langsung menoleh ke arahnya. Ia pun segera melempar selang dan menghampiri istrinya itu. "Kamu kenapa?" tanya Zein sambil berjongkok di hadapan Intan yang juga sedang berjongkok.

"Perut saya sakit banget, Prof," lirih Intan. Ia bahkan mengeluarkan keringat karena rasa nyeri yang tak tertahankan.

"Kamu ini susah banget dikasih taunya. Makanya gak usah sok mau bantuin. Kalau lagi begini tuh istirahat aja!" Zein memarahi Intan. Namun kemudian ia menggendong istrinya itu ala bridal style.

Intan yang sedang kesakitan pun tidak merespon ucapan Zein. Ia langsung merangkulkan kedua tangannya di leher Zein karena takut jatuh. Setelah itu Intan menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya tersebut.

"Obatnya udah diminum, belum?" tanya Zein sambil berjalan ke arah kamar.

"Belum," lirih Intan. Tadi ia terburu-buru hendak membantu Zein, sampai lupa meminum obat.

"Huuh! Merepotkan," ucap Zein. Kemudian ia masuk ke kamar dan menurunkan Intan di atas tempat tidur.

"Lebih baik kamu minum obat, lalu istirahat!" ucap Zein. Kemudian ia meninggalkan kamar.

"Gimana mau minum obat kalau gak ada airnya?" gumam Intan, kesal. Kemudian ia melihat plastik yang berisi obat tadi.

"Wah, banyak juga beli obatnya," ucap Intan. Lalu ia memilih obat yang bisa diminum. Setelah itu Intan turun dari tempat tidur, hendak mengambil minum.

Ceklek!

"Mau ke mana? Apa sudah hobi kamu ya menentang ucapan saya?" tanya Zein yang baru saja kembali sambil membawa segelas air minum dan pouch berisi air hangat.

"Ini, Prof. Saya mau ambil minum," sahut Intan.

"Ini saya sudah bawakan airnya. Cepat minum obatnya!" pinta Zein.

Lagi-lagi Intan dibuat terkesima oleh perhatian Zein. Sampai ia tidak fokus dengan sikap ketus suaminya itu. "Terima kasih," ucap Intan sambil mengambil gelas itu. Lalu meneguk airnya.

Zein mengambil kembali gelasnya. Kemudian menaruh gelas itu di atas meja yang ada di sebelah tempat tidur.

"Coba baring!" pinta Zein. Lalu ia duduk di samping Intan.

"Mau apa, Prof?" tanya Intan.

"Mau bercinta," sahut Zein, santai.

Intan pun terkesiap. "Saya kan sedang haid, Prof," ucapnya, cepat.

Pletak!

Zein menjitak Intan.

"Aduh!" keluh Intan sambil mengusap keningnya yang diitak oleh Zein.

"Kamu pikir saya gak punya otak? Udah gak usah mikir macem-macem!" ucapnya, lalu ia menaruh puch berisi air hangat itu di perut Intan.

'Oh, ternyata dia mau kompres perut aku,' batin Intan. Ia malu karena sudah salah sangka.

"Gimana, apa lebih nyaman?" tanya Zein.

Intan mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.

Zein beranjak mengambil stetoskop dan alat pengukur tensi darah. Sebenarnya hal itu tidak perlu, tetapi Zein khawatir ada keluhan lain pada Intan sampai ia berdarah sebanyak itu.

Setelah itu, ia kembali duduk di samping Intan dan memeriksa detak jantung serta denyut nadinya.

Zein mengerutkan keningnya kala mendengar detak jantung Intan sangat cepat. Bahkan denyut nadinya pun tidak biasa.

'Duh, ketauan gak, ya?' batin Intan. Sebenarnya suara itu berasal dari debaran jantung Intan yang terpacu karena ia terpesona oleh Zein. Sehingga ia malu jika sampai Zein menyadari hal itu.

"Selama ini jantung kamu sehat, kan?" tanya Zein. Ia tahu Fatma mengalami kelainan jantung. Sehingga Zein khawatir Intan pun mengalami hal yang sama.

"Sehat kok, Prof. Ini cuma karena lagi sakit perut aja," jawab Intan, cepat. Ia khawatir Zein terlanjur berpikir yang macam-macam.

"Coba ditensi dulu!" ucap Zein. Lalu ia memasang alat tensimeter di lengan Intan. Ia kembali heran karena tekanan darah Intan cukup tinggi.

"Sepertinya kamu harus ke rumah sakit," ucap Zein.

"Lho, kenapa, Prof?" tanya Intan, panik.

"Tekanan darah kamu cukup tinggi. Detak jantung pun tidak normal. Jadi saya harus memeriksanya lebih lanjut. Nanti kita coba test EKG dan lainnya. Supaya jelas penyakit apa yang kamu derita," jelas Zein. Ia khawatir terhadap istrinya itu.

"Enggak, Prof. Saya udah biasa begini kalau lagi haid. Ini karena perutnya terlalu sakit, jadi tekanan darah saya naik. Nanti juga normal lagi, kok. Ini cuma butuh istirahat aja," ucap Intan, panik.

Mana mungkin ia mau diperiksa. Sebab ia sudah tahu apa yang sedang dialami. 'Gimana mau ketauan penyakitnya? Orang aku gak sakit. Lagian kan dia yang bikin jantung aku begini,' batin Intan.

Ia pun kesal pada dirinya sendiri yang terlalu lemah. Hingga hatinya luluh pada profesor galak itu.

'Intan, kamu bodoh banget. Bisa-bisanya terpesona sama profesor galak kayak dia?' batin Intan, kesal.

"Apa kamu yakin?" tanya Zein. Ia ragu membiarkan Intan begitu saja.

"Yakin," sahut Intan.

"Ya sudah kalau begitu. Lebih baik kamu istirahat!" ucap Zein. Kemudian ia mengusap kepala Intan dan meninggalkan kamar itu.

"Sebeeelll! Kenapa sih harus so sweet gitu sikapnya? Tapi mulutnya udah kayak cabe paling pedes sedunia," keluh Intan saat Zein sudah meninggalkan kamarnya.

Ia bahkan berguling-guling kegirangan karena perhatian dari sang suami yang menyebalkan itu.

Sementara itu, Zein berlari ke arah luar karena ia ingat belum menutup kran. Lalu Zein mengeringkan karpetnya yang sudah bersih itu.

"Apa benar dia gak sakit? Kenapa aku jadi khawatir, ya? Tadi detak jantungnya cepet banget," gumam Zein sambil melamun. Ia tidak terpikirkan bahwa debaran jantung Intan terjadi akibat ulahnya.

Brug!

Zein menutup pintu mobil setelah semuanya beres.

Mendengar hal itu, Intan pikir Zein sudah pergi ke rumah sakit kembali.

"Duh! Ngarepin apa sih aku, nih? Ya iyalah dia bakalan pergi ke rumah sakit lagi. Emangnya siapa aku sampe dia mau nungguin aku dan ninggalin kerjaannya?" gumam Intan.

Sebenarnya ia kecewa karena Zein meninggalkannya ke rumah sakit. Ia yang tadi sedang kegirangan pun langsung menekuk wajahnya sambil melamun. Entah mengapa saat ini ia hanya ingin berada di dekat suaminya yang galak itu.

"Bodohnya aku, udah kayak gini masih ngarepin dia stay di rumah. Mustahil banget itu terjadi. Kecuali dia emang cinta sama aku," gumam Intan.

Namun kemudian ia dikejutkan oleh suara pintu kamar yang terbuka.

Ceklek!

"Kenapa belum tidur?" tanya Zein yang ternyata masih ada di rumah.

***

Acieee, yang ditungguin suami ... jantungnya makin gak sehat, tuh. Wkwkwk,

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang