Kamu Pinter Goyang

88.4K 2.7K 25
                                    


Intan bingung harus kesal atau senang. Satu sisi sikap Zein terlihat begitu manis. Namun di sisi lain ucapannya masih saja menyebalkan.

"Terima kasih," ucap Intan dengan suara parau. Sebenarnya ia sangat canggung melihat Zein hanya menggunakan handuk seperti itu. Apalagi di tubuhnya masih ada bulir-bulir air yang belum kering. Membuat tubuh pria itu terlihat begitu seksi.

Setelah itu Intan berusaha mengambil mangkuk bubur yang ada di mejanya dengan tangan yang masih gemetar.

Zein pun menepis tangan itu, kemudian ia menyuapi Intan. "Udah gak usah sok kuat!" ucap Zein, sambil menyodorkan satu sendok bubur ke mulut Intan.

Intan tidak langsung menyuapnya, ia menatap Zein lebih dulu. Seraya bertanya-tanya mengapa pagi ini pria itu begitu baik padanya.

"Sudah jangan berpikir macam-macam! Saya hanya bertanggung jawab karena kamu seperti ini akibat ulah saya," ucap Zein. Ia tahu apa yang ada di pikiran Intan.

Akhirnya Intan yang sudah merasa lapar pun menyuap bubur itu dan mengunyahnya.

"Apa tidak sebaiknya Prof menggunakan pakaian lebih dulu?" tanya Intan sambil menatap ke arah jendela.


Zein menunduk dan melihat kondisi tubuhnya. Sebelah ujung bibirnya pun terangkat. "Kenapa? Kamu tergoda?" tanyanya.

Intan menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan begitu, Prof. Saya hanya tidak nyaman karena belum terbiasa," ucap Intan. Ia tidak habis pikir mengapa Zein sangat percaya diri seperti itu.

"Kalau begitu mulai sekarang kamu harus mulai terbiasa. Sebab kamu akan melihatnya setiap hari," ucap Zein.

Intan menelan saliva. 'Dia tuh aneh banget, sih?' batin Intan. Ia tidak habis pikir mengapa Zein bisa bersikap seolah mereka ini suami istri yang menikah karena cinta. Padahal ia ingat betul Zein selalu mengatakan bahwa dirinya tidak mencintai Intan.

"Sepertinya tidur kamu cukup nyenyak semalam, sampai mendengkur seperti itu," ucap Zein sambil menyendok buburnya kembali. Ia berusaha memecah keheningan di kamar mereka pagi itu.

Deg!

"Heuh?" Intan tidak merasa pernah mendengkur.

"It's oke. Saya tidak akan komplain karena mungkin semalam kamu kelelahan," ucap Zein.

'Masa iya aku mendengkur? Perasaan selama ini aku gak pernah ngorok, deh,' batin Intan.

Zein mengulum senyuman. Ia merasa lucu karena Intan percaya akan ucapannya. Apalagi saat ini wajah Intan terlihat begitu serius. Padahal dirinya hanya bercanda.

"Tapi ternyata kamu pinter juga ya goyangnya," ucap Zein lagi.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Sontak saja Intan tersedak. Wajahnya langsung merah padam karena malu. Dalam kondisi sadar, ia tidak mungkin melakukan hal itu. Akan tetapi semalam ia sangat terhanyut oleh permainan Zein. Sehingga Intan begitu asik bergoyang di atas tubuh suaminya seolah tak memiliki rasa malu.

"Pelan-pelan makannya!" ucap Zein sambil memberikan gelas berisi air mineral. Lagi-lagi ia tersenyum melihat sikap Intan yang seperti itu.

"Tolong jangan bahas hal itu, Prof!" pinta intan, sopan. Ia tidak sanggup mendengar pembahasan mengenai apa yang mereka lakukan semalam.

"Kenapa? Bukankah semalam kamu sangat menikmatinya? Bahkan tubuh saya sampai kamu banjiri. Apa salahnya dibahas?" tanya Zein, santai. Kemudian ia menyuapkan buburnya lagi ke mulut Intan.

Intan yang sudah kesal itu menolak suapan Zein. Ia merasa Zein sengaja ingin mempermalukannya.

"Lebih baik makan ini dari pada nanti kamu sakit. Saya juga yang repot," ucap Zein.

Mendengar ucapan sarkas suaminya itu, akhirnya Intan pun menyuap buburnya lagi. Ia tidak ingin nanti Zein akan menceramahinya jika sampai dirinya jatuh sakit.

"Saya hanya ingin mengatakan bahwa apa yang saya ucapkan terbukti," ucap Zein.

Intan menoleh ke arah Zein.

"Untuk melakukan hal itu tidak butuh cinta. Buktinya semalam kamu bisa melakukannya. Bahkan terlihat sangat menikmati sekali," ucap Zein lagi.

Intan menelan salivanya. 'Ni orang beneran psikopat kayaknya,' batin Intan.

"Mulai sekarang kamu harus siap kapan pun saya mau," ucap Zein sambil menatap Intan.

"Kenapa sih Anda sangat jahat pada saya?" tanya Intan. Ia sudah sangat kesal pada suaminya itu.

Zein mengerutkan keningnya. "Jahat?" tanyanya.

Intan menganggukkan kepala. "Ya, saya tahu Anda menikahi saya hanya untuk dijadikan sebagai pelengkap hidup Anda. Tapi apa harus seperti ini?" tanya Intan.

"Maksudnya?" Zein masih tidak paham.

"Saya lebih merasa seperti boneka yang bisa dimainkan kapan saja dan diabaikan ketika Anda tidak butuh," ucap Intan sambil memalingkan wajah.

Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Memangnya kamu mau seperti apa? Kalau saya jahat, sudah pasti saya akan mencari kepuasan sendiri. Tapi buktinya semalam, bahkan kamu yang melakukan pelepasan lebih banyak dari saya. Justru harusnya saya yang menagih hutang kamu agar imbang," ucap Zein, tanpa dosa.

Intan ternganga. "Maaf, ini sangat tidak lucu," ucap Intan, kesal.

"Memangnya siapa yang sedang berkomedi? Saya hanya mengatakan fakta. Apa kamu lupa bagaimana semalam kamu menikmatinya?" tanya Zein.

"Prof! Tolong jangan dibahas!" keluh Intan lagi. Matanya berkaca-kaca.

Melihat Intan berkaca-kaca, akhirnya Zein pun diam. "Ya sudah, habiskan dulu buburnya!" ucap Zein. Ia tidak ingin melihat Intan menangis.

Zein pun menyuapi Intan sampai buburnya habis setengah. "Udah kenyang," ucap Intan. Kemudian ia minum lalu langsung turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.

"Sudah bergulat semalaman, masih saja canggung seperti itu," gumam Zein sambil geleng-geleng kepala. Ia tidak sadar bahwa sikapnya lah yang membuat Intan canggung terhadapnya.

Zein pun menaruh mangkuk di meja, kemudian ia berjalan ke lemari untuk mengambil pakaiannya.

Namun, ketika hendak mengambil pakaian, Zein mendengar Intan sedang menangis di kamar mandi.

Zein mengerutkan keningnya. "Lho, dia kenapa nangis?" tanyanya.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang