Intan terkejut saat Zein bertanya seperti itu. 'Apa dia udah tau kalau Bian ada di sini?' batinnya.
"Sayang!" panggil Zein.
"Euh, iya, Mas," sahut Intan, gelagapan.
"Kok gak jawab?" tanya Zein, curiga.
Intan sedang bingung hendak menajwab apa. Satu sisi dirinya ingin jujur. Namun di sisi lain, jika Intan jujur, kemungkinan Zein akan gelisah dan ia tidak ingin suaminya itu semakin over protective padanya.
"Iya, ada," sahut Intan. Ia terpaksa jujur dari pada Zein marah karena dirinya berbohong.
Zein menghela napas. Ia lega karena istrinya jujur. Namun di saat yang bersamaan hatinya sakit karena itu artinya Intan sudah bertemu dengan Bian.
"Jadi kamu sudah bertemu dengan pria itu?" tanya Zein. Ia sudah tidak basa basi lagi. Sebab Zein yakin hanya Bian orang yang mungkin Intan kenal.
"Namanya juga desa kecil, Mas. Mau gak mau ya pasti ketemu. Tapi ketemunya juga cuma sepintas, kok. Kan aku kerja, dia juga pasti sibuk sama kerjaannya," jelas Intan.
"Tapi kan orang kerja ada liburnya. Apa kamu bisa jamin dia gak akan ganggu kamu?" tanya Zein.
Intan mengerutkan keningnya. "Kok jadi aku? Kalau Mas tanya apa aku bisa jamin kalau aku akan menghindarinya, tentu aku akan jawab 'ya' tanpa ragu. Tapi Mas harus tahu kalau aku gak bisa ngatur sikap orang lain," ucap Intan, kesal.
"Kamu kok jadi sewot, sih?" tanya Zein.
"Ya abisnya aneh banget. Mana bisa aku ngatur orang lain. Emangnya Mas sendiri bisa diatur? Yang pasti aku udah bilang ke dia kala aku udah punya suami. Kalau ternyata dia masih ngeyel, bukan tanggung jawab aku. Yang penting aku akan menghindarinya!" ucap Intan, kesal.
Setelah itu Intan langsung memutusa sambungan teleponnya. Ia lebih memilih menyudahi pembicaraannya dengan Zein dari pada pertengkaran mereka semakin menjadi.
"Lho, kenapa malah dia yang marah? Aku kan cuma nanya baik-baik. Pake langsung dimatiin segala teleponnya," gumam Zein, kesal.
Zein berusaha menghubungi istrinya kembali. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Intan.
Namun sayang, ternyata Intan langsung menonaktifkan ponselnya. Ia ingin fokus bekerja, dan tidak terganggu oleh rengekan suaminya yang rewel itu.
"Argh!" Zein semakin kesal karena tidak dapat menghubungi istrinya itu.
"Kenapa dia seperti itu? Apa sebenarnya dia tidak senang didekati oleh pria itu?" gumam Zein. Hatinya terbakar api cemburu.
Membayangkan mereka berdua di sana tanpa ada yang mengawasi, membuat Zein sangat resah. Apalagi suasana malam hari di sana cukup gelap. Bisa saja Bian menyelinap masuk ke rumah dinas istrinya itu.
Hal tersebut membuat Zein merasa hampir gila. "Sial!" pekiknya dengan suara lantang.
Setelah itu ia menaruh ponselnya, kemudian meninggalkan ruangan pribadinya itu.
Saat sedang di jalan, Zein berpapasan dengan suster. Lalu suster yang mendengar bahwa susana hati Zein pagi ini sedang baik, menyapanya dengan percaya diri.
"Pagi, Prof," sapa suster itu, ramah.
Zein yang sedang kesal pun tidak mendengarnya. Ia tetap berjalan dengan wajah seperti hendak perang.
"Lha, katanya lagi good mood? Kok ditekuk begitu?" gumam suster itu, heran.
Setibanya di poli, Zein langsung meminta suster untuk memulai polinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...