95. Emosi

30.9K 2.2K 87
                                    

Intan mengerutkan keningnya. "Apa aku gak salah dengar?" gumam Intan. Ia pun memasang telinganya lebar-lebar.

"Ya dulu kan gue belum tau. Kalau tau bakalan jadi istri, mana mungkin gue ngirim dia ke sana?" sahut Zein, santai.

Intan langsung menyentuh dadanya yang terasa sesak itu. Ia sangat tidak menyangka, ternyata Zein sendiri yang mengirimnya ke sana.

"Jadi aku dapat magang di perbatasan karena ulah dia?" gumamnya sambil tercenung.

Ia shock dan sulit menerima kenyataan itu. Dirinya tahu dulu Zein memang galak. Namun tak pernah terpikirkan Zein akan mampu melakukan hal sekejam itu.

Saat Zein melanjutkan jalannya dan berbelok ke arah tempat Intan berada, ia dan Dimas pun tidak kalah terkejut dari Intan.

"Sayang! Kamu kok ada di sini?" tanya Zein, gugup. 'Apa dia dengar percakapan kami?" batin Zein. Hatinya langsung tidak enak. Khawatir Intan akan mengetahui rahasianya.

Intan tidak menjawab pertanyaan Zein. Ia hanya menatap Zein dengan tatapan tajam.

Dimas menelan saliva. Ia merasa bersalah karena dirinya yang telah memancing Zein secara tidak sengaja.

"Euh, kayaknya gue duluan aja deh, ya. Ada kerjaan lain," ucap Dimas. Ia hendak melarikan diri dari tempat itu.

"Eh, Dim! Mau ke mana, lo?" Zein berusaha menahan Dimas dengan menarik jasnya. Namun Dimas langsung menepis tangan Zein dan meninggalkannya.

Bukannya pengecut. Namun Dimas merasa tidak pantas untuk ikut campur mengenai masalah itu.

Zein pun salah tingkah karena Intan masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Sayang, ayo pulang!" ajak Zein sambil berusaha meraih tangan Intan.

"Aku bisa jalan sendiri!" ucap Intan, ketus.

Sebenarnya ia ingin marah. Namun Intan sadar saat ini dirinya sedang berada di tempat umum. Sehingga Intan berusaha untuk mengendalikan emosinya.

Padahal saat ini hatinya sedang sangat kesal. Ingin marah pada suaminya itu.

'Keterlaluan. Pantesan dia perhatian banget waktu aku di perbatasan. Jadi ini alasannya? Aku kira dia emang perhatian sama aku. Ternyata dia sendiri yang ngirim aku ke sana,' batin Intan sambil berjalan cepat ke arah ruangan Zein. Sebab tasnya ada di sana.

"Sayang, jalannya pelan-pelan aja!" ucap Zein sambil berusaha menarik tangan Intan yang berjalan di depannya.

Saat itu kondisi sedang sepi. Sehingga Intan mengempaskan tangan Zein begitu saja.

'Fix, dia denger omonganku sama Dimas,' batin Zein.

Saat ini perasaan Zein sudah tidak karuan. Ia khawatir Intan tidak akan mau memaafkannya. Sebab kesalahannya yang satu itu cukup fatal.

Bahkan saat berada di dalam lift pun Intan bersikap seolah Zein tak ada di sana.

Ting!

Pintu lift terbuka. Intan kembali berjalan cepat menuju ruangan Zein. Beruntung ia menggunakan sepatu flat dan rok yang lebar. Sehingga tidak tersandung.

Ceklek!

Intan membuka pintu ruangan Zein dan langsung mengambil tasnya. Sedangkan Zein menutup pintu ruangan itu dan berdiri di sana. Sebab ia yakin Intan pasti akan langsung meninggalkan ruangan tersebut.

Dugaan Zein benar. Intan langsung menuju ke pintu kembali.

"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Zein sambil berusaha menghalangi Intan.

"Pulang!" jawab Intan, ketus.

"Ya udah, tunggu sebentar! Aku mau ambil kunci mobil dulu," ucap Zein.

Zein mengunci pintu dan membawa kuncinya. Sebab ia yakin Intan bisa nekat jika sedang marah seperti ini. Setelah itu ia menuju mejanya untuk mengambil tas dan kunci mobil.

Intan mengerutkan keningnya. Ia kesal karena Zein mengunci pintunya. Padahal Intan ingin pulang sendiri menggunakan taxi.

"Ayo kita pulang!" ajak Zein. Ia sengaja tidak membahasnya lebih dulu karena tidak ingin ribut dengan istrinya di rumah sakit.

Zein menggandeng tangan Intan sebelum membuka pintu itu.

Saat Intan berusaha menarik tangannya, Zein pun menahannya. Genggamannya begitu erat. Sebab ia khawatir Intan benar-benar kabur.

"Lepas!" ucap Intan, kesal.

"Aku gak akan lepasin tangan kamu sampai kamu tiba di rumah dengan selamat. Kamu itu istri aku dan aku yang bertanggung jawab penuh atas kalian!" jawab Zein, tegas.

Meski sadar dirinya salah. Namun Zein tidak mungkin mempertaruhkan keselamatan istrinya dengan membiarkan Intan pulang sendirian. Apalagi tadi ia melihat Intan jalan dengan sangatt cepat. Kalau sampai Intan tersandung, bisa berakibat fatal.

Intan pun hanya bisa mendengus kesal. Hatinya sedang sangat panas. Sehingga ia membenci Zein seperti Profesornya yang dulu.

Meski begitu, Intan tetap membuntuti Zein karena tangannya digandeng oleh suaminya itu. Namun sepanjang jalan tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.

Saat berjalan di keramaian, Intan tidak menunjukkan ekspresi kesalnya. Sebab ia tidak ingin ada orang lain tahu bahwa mereka sedang berkonflik.

Zein pun demikian. Ia melepaskan genggaman tangannya. Kemudian langsung merangkul Intan. Mereka berjalan seperti pasangan yang sangat mesra. Padahal hatinya sedang sama-sama tidak baik.

Mereka naik ke mobil seperti biasa. Kemudian menuju ke rumah dalam keadaan hening.

Zein bingung hendak bicara dari mana. Jika bertengkar di jalan, itu akan membahayakan mereka berdua. Sehingga Zein berusaha untuk bertahan untuk tidak membahasnya.

Tiba di rumah, Intan masuk lebih dulu. Sebenarnya ia ingin kabur. Namun Intan sadar, tidak baik jika dirinya melakukan hal seperti itu.

Ia masuk rumah dan langsung menuju ke dapur. Kemudian Intan mengambil air mineral untuk mendinginkan tubuhnya yang sedang membara itu.

"Huuh!"

Intan mengatur napas karena hatinya masih terasa sesak.

Namun, membayangkan betapa teganya Zein mengirim dirinya ke sana, Intan pun tak dapat membendung air matanya lagi.

Ia menangis sambil menghadap ke arah dispenser dan berpegangan pada meja dapur yang ada di sampingnya.

"Sayang, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Zein yang saat ini ada di belakangnya.

Ia dapat melihat tubuh Intan bergetar dan mendengar tangisannya. Tentu saja hal itu membuat Zein semakin merasa bersalah.

Zein pun langsung memeluk Intan dari belakang. "Aku minta maaf," lirihnya.

"Huhuhu, kamu jahat," ucap Intan sambil terisak. Ia bahkan menangis sampai sesegukan.

"Iya, aku memang jahat dan aku mohon maafkan aku!" pinta Zein sambil mengecup kepala Intan.

"Lepas! Aku mau sendiri. Aku muak lihat muka kamu!" ucap Intan, kesal.

"Sayang, tolong jangan seperti itu! Kita bicarakan baik-baik, ya!" ucap Zein dengan lembut sambil mengusap kepala Intan.

"Apanya yang baik? Apa ada kebaikan dari suami yang tega mengirim istrinya ke perbatasan?" tanya Intan sambil balik badan dan menatap Zein dengan air mata yang berlinang.

Zein berusaha mengusap air mata Intan. Namun Intan menepis tangannya lagi.

"Oke, aku tau dulu kamu itu benci banget sama aku. Tapi apa harus sampai seperti itu, hah? Kamu mikir gak, gimana nasib aku kalau dikirim ke sana sendirian? Sementara aku gak tau kondisi di sana se-ektream apa," tanya Intan dengan suara bergetar.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang