73. Pangling

36.2K 2.1K 35
                                    

Intan tak menyangka suaminya akan meminta hal itu. "Eum ... emangnya kenapa, Mas?" tanya Intan sambil menatap Zein.

"Berhijab itu kan kewajiban muslimah, Sayang. Selain itu aku juga gak mau tubuh kamu dilihat oleh orang lain. Karena tubuhmu hanya milik aku," ucap Zein sambil memegangi kedua lengan istrinya.

"Iya aku paham. Tapi masalahnya Mas tau sendiri kan aku gak punya banyak pakaian untuk berhijab? Bisa sih aku mix and match pake baju yang panjang-panjang. Tapi kayaknya kurang pantes ya kalau pake jeans gitu?" tanya Intan.

"Iya gak apa-apa. Untuk sementara kamu pakai yang ada aja dulu! Nanti kalau ada waktu kita beli pakaian buat kamu, ya?" sahut Zein.

Ia memaklumi jika istrinya tidak memiliki banyak pakaian untuk berhijab. Sebab sebelum menikah memang Intan tidak berhijab meski pakaiannya tidak terlalu terbuka.

"Ya udah kalau begitu sekarang aku ganti baju dulu," ucap Intan. Ia pun memilih pakaian yang bisa ia gunakan untuk memakai hijab.

"Kalau ini gimana, Mas?" tanya Intan sambil menunjukkan pakaiannya pada Zein.

"Iya gak apa-apa, Sayang. Yang penting pakai hijab dulu. Kamu ikhlas, kan?" tanya Zein.

Intan tersenyum. "Ikhlas, Mas. Aku juga sebenernya udah lama pingin berhijab. Cuma masih maju mundur. Maaf ya, Mas. Aku belum jadi muslimah yang baik," ucap Intan. Ia malu pada suaminya itu.

"It's okay. Gak masalah sayang. Kamu mau berubah aja itu udah jauh lebih baik. Terima kasih, ya?" Zein mengapresiasi kemauan istrinya untuk berhijab.

"Ya udah aku pakai ini," ucap Intan.

"Sayang, kamu ada rok panjang, kan?" tanya Zein.

"Ada, Mas. Kenapa?" Intan balik bertanya.

"Lebih baik pakai rok aja! Jangan pakai jeans! Kamu kan lagi hamil, Sayang," ucap Zein. Ia tidak ingin perut Intan tertekan meski masih terlihat rata.

"Oh iya, aku lupa. Hehe. Maaf ya, Baby," ucap Intan sambil mengusap perutnnya. Ia merasa bersalah karena sempat lupa bahwa dirinya tengah mengandung.

Akhirnya Intan pun mengenakan rok dan tunik, kemudian ia mengenakan pasmina yang ia miliki.

"Nah, gitu kan cantik. Aku jadi makin cinta," puji Zein. Kemudian ia mengecup pipi istrinya.

"Terima kasih, Mas," sahut Intan sambil memeluk Zein. Ia senang karena Zein peduli akan penampilannya.

"Ya udah kita jalan, yuk!" ajak Zein.

Mereka pun meninggalkan rumah, menuju ke rumah sakit.

Hari ini Zein sangat senang. Selain karena istrinya hamil. Ia pun bahagia karena Intan mau berhijab. Sehingga moodnya sangat baik.

Saat sedang berada di jalan, sesekali Zein mengusap perut istrinya itu.

Rasanya ia ingin memeluk Intan terus. Sebab Zein sangat antusias dengan kehadiran calon buah hatinya tersebut.

"MasyaaAllah ... kuasa-Mu begitu besar. Ternyata seperti ini rasanya menjadi calon ayah. Aku bahagia sekali, Sayang," ucap Zein. Kemudian ia menarik tangan Intan dan mengecupnya.

Sebelum Intan mengandung saja rasa cinta Zein terhadapnya sudah begitu besar. Sehingga ketika tahu istrinya tengah mengandung, cinta yang Zein miliki untuk Intan seolah meluap-luap karena terlalu banyak.

"Sayang, kapan kita mau mengumumkan pernikahan kita?" tanya Zein. Ia sudah tidak sabar ingin segera mengumumkan pernikahan mereka.

"Hem ... kapan, ya? Kalau bisa sih jangan sekarang, Mas. Nanti aja kalau aku udah magang. Aku gak mau nanti ada orang yang gak tulus sama aku. Baik cuma karena aku istri kamu," ucap Intan.

"Emangnya kenapa begitu?" tanya Zein sambil mengerutkan keningnya.

"Mas gak tau sih. Dulu tuh waktu masih koas, banyak yang gak suka sama aku. Jadi aku pingin lihat sekarang siapa yang tulus mau temenan sama aku dan siapa yang enggak. Biar aku bisa jaga jarak sama orang-orang yang emang gak suka sama aku. Aku gak mau ada duri dalam selimut," jelas Intan.

Ia masih ingat betul bagaimana dulu dirinya sering dicibir oleh beberapa senior.

"Ya sudah. Tapi jangan terlalu lama, ya! Aku gak mau nanti ada yang berusaha deketin kamu lagi. Pokoknya sebelum satu bulan, pernikahan kita harus segera diumumkan. Bila perlu kita adakan resepsi," ucap Zein.

Ia tidak mau kecolongan lagi. Sehingga ingin segera mengumumkan pernikahannya. Sebenarnya Zein pun tidak ingin Intan direndahkan oleh orang lain.

Memang benar apa kata Intan, jika orang lain tahu bahwa dirinya adalah istri Zein, pasti mereka akan baik pada Intan. Entah tulus atau tidak. Sehingga Zein pun paham mengapa Intan ingin menyeleksi temannya lebih dulu.

Apalagi sebentar lagi Zein akan menjadi direktur rumah sakit itu. Pasti mereka semua akan sungkan pada Intan jika sudah mengetahui faktanya.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di ruma sakit. Seperti biasa, mereka berpisah di parkiran.

"Maaf ya, Mas. Bukannya aku gak menghargai Mas atau malu jadi istri kamu."

"Iya aku paham. Ya udah kamu hati-hati, ya! Jalannya lihat-lihat! Ingat, kamu itu sedang mengandung anakku. Jaga baik-baik!" nasihat Zein.

Intan tersenyum karena nasihat suaminya begitu banyak. "Iya, Sayang ... ya udah aku turun duluan," ucap Intan. Kemudian ia mengecup pipi suaminya sebelum turun. Hal itu Intan lakukan demi menebus rasa bersalahnya.

Zein langsung tersenyum. Ia bangga karena Intan mau menunjukkan cintanya.

Intan pun turun dari mobil dan masuk ke rumah sakit. Tak lama kemudian Zein menyusul.

Saat melewati poli, Intan berpapasan dengan beberapa temannya. "Ehh, kirain siapa. Sampe pangling aku lihat dokter Intan pakai hijab," ucap salah satu suster.

"Apa kabar, Sus?" sapa Intan sambil tersenyum.

"Kabar baik. Dokter ya ampun cantik banget pakai hijab gini. Aku seneng deh lihatnya," puji suster yang lain.

"Alhamdulillah, terima kasih," jawab Intan.

"Tumben dokter ke sini? Bukannya lagi magang, ya?" tanya mereka lagi.

"Iya kebetulan lagi ada perlu. Gimana, banyak pasien, gak?" tanya Intan.

"Ya gitu, deh. Namanya juga rumah sakit ya, rame terus setiap hari, hehe."

"Aku jadi bingung ini kalau rumah sakit rame harus bersyukur atau sedih, ya? Hihihi," sahut Intan.

"Hehehe, dokter bisa aja. Tapi emang kalau gak ada yang sakit, kita gak kerja, hehehe," timpal yang lain.

Mereka pun berbincang sambil tertawa. Lama tidak berjuma membuat Intan lupa waktu karena begitu banyak yang mereka bahas. Hingga akhirnya Zein melintas.

"Siang, Prof!" sapa yang lain. Mereka pun sedikit menganggukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

"Siang!" sahut Zein, ramah. Saat itu posisi Intan sedang memunggungi Zein.

Zein yang melintas di belakang Intan pun menyentuh dan mencolek tangan istrinya. Sebagai kode untuk mengingatkan Intan bahwa ia ditunggu oleh mertuanya.

Setelah itu ia menoleh ke arah Intan yang juga menoleh ke arahnya. Lalu Zein mengangguk sebagai kode mengajak Intan jalan.

Hati Intan berdebar-debar karena khawatir ada yang menyadarinya.

"Kalau begitu aku jalan dulu, ya," ucap Intan.

"Cie ... pas banget Prof lewat langsung pergi. Jangan-jangan ada janji sama Prof, ya?" goda suster.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang