Ira ternganga setelah mendengar ucapan Bian. "Argh! Bodoh banget gue. Jadi malu, kan," keluh Ira. Ia menyesal karena telah menuduh Bian yang tidak-tidak.
Ia membalikkan tubuhnya perlahan, berharap Bian tidak menoleh lagi ke belakang. "Ya ampun, semoga aku gak ketemu dia lagi," ucap Ira. Ia tidak ingin bertemu Bian lagi karena sudah terlanjur malu.
Akhirnya Ira pun berjalan perlahan menuju lokasi. Ia tidak tahu bahwa ternyata Bian ada di sana. Hingga akhirnya Ira shock saat melihat Bian sudah stand by di lokasi bakti sosial.
Saat menyadari Ira datang, Bian hanya menoleh sekilas. Namun ia puas karena sudah membuat Ira malu. 'Hahaha, emang enak. Lagian ge'er sih jadi orang,' batin Bian.
Sementara itu Ira salah tingkah. Sebisa mungkin ia tidak menoleh ke arah Bian dan menganggap Bian tidak ada di sana.
"Oh, ke sini juga? Jadi sebenarnya gue apa lo yang ngikutin?" ledek Bian.
***
Di rumah sakit.
Hari ini Intan bertugas di ruang rawat inap. Sehingga pekerjaannya lebih santai.
Sementara itu, dokter sombong yang sempat mengusiknya pun sedang gelisah.
'Duh, apa aja yang udah aku omongin ke dokter Intan, ya?' batinnya. Ia merasa bersalah dan takut Zein akan menghukumnya, apalagi jika Intan sampai cerita pada Zein.
Padahal tanpa Intan perlu cerita pun Zein sudah mengetahuinya dari rekaman CCTV.
Saat ia sedang berjalan menuju ruangan dokter, ia tidak sengaja berpapasan dengan Zein.
Deg!
Rasanya dokter itu sangat ingin balik badan. Namun ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena Zein sudah melihatnya.
'Ya Tuhan, kenapa harus bertemu Prof di sini?' batin dokter itu. Namun ia sudah tidak bisa mundur lagi. Akhirnya ia pun terpaksa maju dan menyapa Zein. Lalu bersikap seolah tidak ada apa-apa.
"Pagi, Prof!" sapanya.
Zein menoleh ke arahnya. "Pagi!" jawabnya.
Ia lega karena Zein mau menjawab sapaannya. Namun kemudian ia terkejut saat Zein menjegal langkahnya.
"Tunggu!" ucap Zein.
Dokter itu menelan saliva. "I-iya, Prof?" sahutnya sambil menoleh perlahan.
"Di dunia ini semua orang sama saja di mata Allah. Jadi jangan sombong!" skak Zein. Kemudian ia langsung berlalu.
Sontak saja dokter itu pun tercekat. Ia malu mendengar Zein mengatakan hal seperti itu. Rasanya itu sudah seperti tamparan baginya.
"Duh, bener kan dokter Intan pasti udah ngadu sama suaminya," gumam dokter itu. Ia pikir Intan mengadu pada Zein.
Sementara itu, Intan sedang sibuk dengan pekerjaan barunya. Ia harus beradaptasi lagi karena sudah cukup lama tidak praktek di sana.
Berhubung hampir seluruh staf rumah sakit mengetahui bahwa Intan adalah istri Zein. Intan pun diperlakukan dengan sangat baik. Seluruh orang ramah padanya. Namun hal itu justru membuat Intan merasa risih.
Hal itu membuat Intan sulit membedakan mana yang tulus dan tidak. Akhirnya ia memilih untuk tidak terlalu dekat dengan siapa pun. Bagi Intan, saat ini lebih baik menjaga jarak dari pada harus memiliki musuh dalam selimut.
Akan tetapi sikap Intan yang seperti itu membuat orang lain salah paham. Ia dianggap sombong karena tidak mau berbaur dengan yang lain.
Saat Intan melewati salah satu ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa dokter dan perawat, ia mendengar namanya disebut. Akhirnya Intan menghentikan langkahnya sambil menguping.
"Eh, apa perasaan aku aja, ya? Dokter Intan kok kayak angkuh gitu, sih?" tanya salah seorang dokter.
"Angkuh gimana?"
"Ya itu, gak kayak kita kalau ngobrol santai bisa haha hihi, ya pokoknya beda, deh. Misal diajak ngobrol juga kayak menghindar begitu."
"Ya wajar aja, sih. Sekarang kan doi udah jadi istri pemilik rumah sakit. Bebas lah mau gimana juga. Kita mah siapa, cuma staf yang kerja di sini. Jadi ya udah, gak usah heran."
"Iya, sih. Tapi aku kira dio tuh down to earth gt lho. Kan katanya dulu dia ramah sama siapa pun. Tapi kenapa sekarang kesannya jadi cuek, gitu? Malah kayak kurang ramah."
"Ya kamu kan gak deket juga sama dia. Mungkin dia canggung mau ngobrol apa."
"Ya tapi kan apa salahnya sih ngobrol sesama dokter?"
"Tapi emang iya sih, Dok. Ke aku juga ngomong seperlunya. Masalah kerjaan aja," timpal salah seorang suster,
"Nah, kan! Berarti bukan aku doang yang merasa. Ya mungkin semua orang emang gitu, ya. Kalau udah naik derajatnya tuh jadi sombong."
"Iyalah. Secara sekarang rumah sakit punya suaminya. Jadi udah gak heran."
Intan menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. 'Oh, jadi begitu?' batin Intan. Saat mereka sedang asik berbincang, Intan tiba-tiba masuk ke ruangan itu tanpa menggubris mereka.
'Aku sombong, kan? Oke, aku akan buktikan ucapan kalian,' batin Intan. Ia malah sengaja ingin bersikap sombong di hadapan mereka. Baginya tidak perlu bersikap baik pada orang yang sudah berpikir negatif tentangnya.
Sontak saja mereka terperanjat. Mereka saling menatap dan bertanya-tanya apa Intan mendengar percakapan mereka atau tidak.
Apalagi saat ini Intan sedang pura-pura sibuk dengan sebuah laporan yang ada di tangannya. Ia duduk tanpa dosa sambil memunggungi mereka.
Mereka saling menyenggol sikut karena bingung hendak melakukan apa.
"Siang, Dok! Lagi ngerjain apa, nih?" tanya salah seoran suster.
Intan menoleh. Kemudian ia bertanya, "Saya?" tanyanya sambil menunjuk dirinya.
"Eum ... iya," ucap suster itu, gugup.
Intan pun berdiri. "Emangnya suster masih pingin tau apa yang dikerjain sama dokter angkuh seperti saya?" tanya Intan sambil menatap mereka satu per satu.
Intan memang sengaja menyindir mereka, untuk memberi tahu mereka secara tidak langsung bahwa dirinya mendengar apa yang mereka katakan.
Melihat mereka tercekat, Intan pun kembali berbicara. "Terima kasih, ya. Saya jadi gak perlu repot-repot nyortir mana orang yang tulus dan tidak tulus pada saya. Silakan, dilanjut lagi gossipnya!" sindir Intan sambil berlalu. Ia pun berjalan dengan percaya diri.
Sontak saja mereka semua merasa sesak karena ucapan Intan barusan seperti sebuah ancaman. "Berarti dia dengar omongan kita, dong?" tanya dokter tadi.
"Kemungkinan sih begitu. Duh, gimana kalau dokter Intan ngadu ke Prof?" tanya yang lain.
"Apa Prof bakalan marahin kita juga kayak kepala dokter itu?"
"Entahlah. Yang pasti dokter Intan denger ucapan kita semua dan kita udah suudzon sama dia."
"Makanya lain kali gak usah ghibahin orang lagi, deh! Apalagi ini istri dari Prof Zein. Salah-salah bisa dipecat."
Mereka tidak ingin dipecat dari rumah sakit itu. Sebab Rumah Sakit Harapan Keluarga itu merupakan rumah sakit terbaik di kota mereka.
"Ya aku kan cuma berpendapat aja."
"Tapi pendapatmu itu belum tentu benar. Malah jadi terkesan menggiring opini."
Saat mereka sedang sibuk dengan kegelisahan masing-masing, tiba-tiba mereka mendengar ada Zein datang.
"Sayang!" panggil Zein pada Intan.
"Mas!" sahut Intan yang sedang duduk di meja administrasi di luar ruangan tersebut.
Sontak saja mereka yang ada di dalam ruangan tadi terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...