48. Semakin Hangat

46.1K 2.1K 27
                                    

Intan terperanjat saat Zein menariknya. Ia pun mematung kaku, tak berani menoleh ke arah Zein. 'Duh, ketauan dong?' batinnya.

"Aku cinta kamu, Intan. Jangan tinggalkan aku," gumam Zein, pelan. Kemudian ia menelusupkan wajahnya di tengkuk Intan.

Jantung Intan berdebar hebat. Ia tak menyangka Zein akan mengatakan hal itu dalam waktu dekat. "Mas," panggilnya. Ia bahkan terharu setelah mendengar ucapan itu.

Namun, setelah beberapa detik, Zein tidak menjawab panggilan Intan. Intan pun mencurigai sesuatu. "Mas!" panggil Intan lagi. Nada suaranya mulai berubah.

Zein pun masih tidak menjawabnya.

Akhirnya Intan memberanikan diri untuk menoleh. "Cih! Pantesan aja berani ngomong begitu. Ternyata cuma ngigau. Dasar lemah!" cibir Intan, kesal.

Ia pun langsung melepaskan tangan Zein yang melingkar di perutnya. Kemudian membanting tangan itu.

Intan sangat kecewa karena harapannya sirna. Ia pun segera membersihkan tubuhnya. Kemudian Intan menyusul Zein tidur, sebab dirinya sudah lelah setelah melayani suaminya selama beberapa jam.

"Good night, Suami galak," gumam Intan. Lalu ia langsung balik badan dan memunggungi Zein.

Zein yang sudah terbiasa tidur berdua dengan Intan itu selalu refleks memeluk istrinya meski ia sedang terlelap. Seperti tadi, ia merangkul pinggang Intan, lalu menariknya agar mendekat dan langsung mendekapnya.

Ia seolah tidak betah jika tidak memeluk Intan. Setiap malam, mereka memang selalu tidur dalam posisi seperti itu. Seandainya Intan balik badan pun Zein akan menaruh tangannya di bawah leher Intan.

"Hem ... gak cinta gak cinta, tapi maunya mepet terus. Dasar munafik. Percuma pendidikan tinggi tapi gak tau cara bahagiain istri," gumam Intan sambil menatap tangan Zein yang melingkar di perutnya.

Padahal Zein sendiri sudah lama tidak mengatakan bahwa dirinya tak mencintai Intan. Ia justru merasa sudah mengungkapkan perasaannya melalui perbuatan.

Intan pun terlelap dalam pelukan suaminya. Meski kesal, ia sudah mulai terbiasa dan nyaman tidur dalam pelukan hangat suaminya itu.

Apalagi Intan yang tidak terbiasa tidur menggunakan AC, membuatnya kedinginan jika tidak dipeluk.

Pagi hari, Zein bangun lebih awal. Saat membuka mata, ia melihat Intan masih terlelap di pelukannya.

"Good morning, Sunshine," gumam Zein sambil menatap Intan. Setelah itu ia mengecup keningnya.

Zein menarik tangannya yang ada di bawah tengkuk Intan secara perlahan. Seolah tidak ingin mengganggu tidur istrinya itu. Sebab, ia sadar Intan pasti kelelahan setelah perbuatannya semalam.

Zein langsung minum air mineral, lalu pergi ke kamar mandi. Pagi ini tubuhnya terasa begitu segar sebab sudah mendapat vitamin booster darinya.

Kala itu hari masih gelap, Zein pun memutar kran air hangat karena udara masih dingin. Ia memejamkan mata dan membiarkan air itu mengalir di tubuhnya. Lalu ia pun berniat mandi besar dan melakukan urutannya.

"Ahh, segar sekali," gumam Zein saat punggungnya tersiram guyuran air hangat dari shower dengan cukup kencang.

Selesai mandi, Zein segera melaksanakan shalat subuh. Ia mengenakan baju koko serta sarung dan peci berwarna hitam.

Jika Zein mengenakan pakaian seperti itu, Intan sangat menyukainya. Sebab, Zein terlihat begitu tampan jika memakai peci hitam. Keningnya yang terekspose sempurna, membuat wajah tampannya pun terpampang nyata, tanpa penghalang.

Namun sayang, saat ini Intan masih terlelap. Dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa ia sangat kelelahan.

Selesai shalat, Zein duduk di samping Intan. Lalu ia memijat-mijat kaki istrinya sambil bershalawat. Memang seperti itulah cara Zein membangunkan Intan jika istrinya itu belum bangun. Perlakuan lembut tersebut membuat Intan semakin jatuh hati padanya.

Mendapat sentuhan lembut dan mendengar suara suaminya, Intan pun membuka mata.

"Eh, Mas," ucapnya. 'Duh, gantengnya suamiku,' batin Intan saat melihat Zein masih mengenakan peci dan koko.

"Udah mau jam setengah enam. Lebih baik kamu mandi, terus shalat," ucap Zein.

Intan pun mengangguk. "Iyah," jawabnya.

Zein beranjak dan meninggalkan kamar.

Intan memperhatikannya sambil tersenyum. "Gimana aku gak melting kalau diperlakukan kayak gitu? Sayang aja masih belum mau ngaku," ucap Intan sambil mengulum senyuman.

Ia pun turun dari tempat tidur dan bergegas mandi agar tidak tertinggal shalat subuh.

Sementara itu, Zein yang sudah puas mendapat service dari istrinya semalam, sedang mencuci piring dan lanjut membuat sarapan untuk mereka berdua.

"Bikin nasi goreng aja, deh. Kan dia pasti lapar setelah olah raga semalam," gumam Zein. Ia pun membuatkan nasi goreng untuk mereka.

Saat Intan keluar dari kamar mandi, ia mengendus aroma harum yang membuat perutnya terasa lapar. "Hem ... harum banget. Si jutek lagi masak apa, ya?" gumam Intan. Ia yakin aroma itu berasal dari masakan suaminya.

Intan pun segera shalat, lalu menghampiri suaminya yang sedang ada di dapur.

"Hem ... harum banget. Lagi masak apa, Mas?" tanya Intan. Lalu ia berdiri di samping Zein.

"Nasi goreng," jawab Zein sambil serius memasak.

"Kelihatannya enak banget, deh," ucap Intan.

"Tentu. Memangnya pernah masakan saya gak enak?" tanya Zein.

Mata Intan langsung mendelik. "Mulai deh, kumat juteknya," ucap Intan. Akhirnya ia pun memilih pergi ke meja makan dan menunggu Zein di sana.

Zein menoleh ke arah Intan. "Jutek? Perasaan aku biasa aja. Masa begitu dibilang jutek?" gumam Zein, pelan.

Mungkin memang sudah pembawaannya seperti itu. Sehingga Zein tidak merasa jika sedang bersikap ketus atau jutek.

"Ini sarapannya, Nyonya," ledek, Zein. Meski begitu, gaya bicaranya tetap kaku.

"Terima kasih, Tuan," sahut Intan. Lalu ia mengambil sendok dan garpu. Kemudian menyuapnya.

Intan sudah tidak heran jika Zein melayaninya. Setiap habis bercinta, Zein memang seperti itu. Apalagi jika Intan bangun kesiangan. Ia seolah ingin mengucapkan terima kasih dengan cara membuat masakan atau mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Intan.

"Mas sejak kapan bisa masak?" tanya Intan sambil menikmati nasi goreng buatan suaminya.

"Sejak kuliah di luar negeri," sahut Zein. Ia pun makan dengan lahap karena memang sudah lapar.

"Oh, di sana hidup mandiri, ya?" tanya Intan lagi.

"Iya, memang di sana kebanyakan hidup mandiri. Orangnya pun rajin-rajin serta produktif," jelas Zein.

"Berarti gak ada yang malas, dong?"

"Kalau malas gak bisa makan dan bertahan hidup. Biasanya para mahasiswa di sana cari kerja part time untuk tambahan uang jajan mereka. Bagi yang sudah berkeluarga pun jarang yang mau bayar ART karena biayanya cukup mahal. Jadi mereka selalu bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan rumah," jelas Zein.

"Seru juga, ya. Pantesan Mas udah gak canggung ngerjain semua kerjaan rumah," ucap Intan.

"Iyalah, masa gitu aja gak bisa. Jadi orang itu gak boleh manja. Kalau manja dan malas, gimana mau sukses?" sahut Zein.

"Dulu Mas tinggal sama siapa?" tanya Intan lagi.

"Saya tinggal sendiri karena tidak nyaman jika tinggal dengan orang lain," jawab Zein.

Intan manggut-manggut. "Pas lagi kuliah, Mas punya pacar?" tanya Intan lagi.

***

Eng ing eng ... mau jawab apa kau, Zein?

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang