50. Kami Sudah Menikah

44.9K 2.2K 35
                                    

Intan terperanjat saat namanya disebut. Ia tidak menyangka wanita itu akan mengenalinya. 'Haduh, gimana ini?' batin Intan. Ia sangat panik karena belum mau jika dokter itu mengetahui hubungan pernikahannya dengan Zein.

Sementara itu, meski terkejut, Zein yang sudah tertangkap basah pun pasrah.

"Sayang, sini!" panggil Zein sambil menarik tangan Intan. Seperti janjinya, ia akan bersikap romantis di hadapan orang lain.

Deg!

'Dih, malah manggil sayang. Rese banget, sih?' batin Intan. Namun akhirnya mau tidak mau Intan pun balik badan.

"Eh, dokter. Apa kabar?" sapa Intan. Ia terlihat sangat gugup.

Saat Intan balik badan, Zein langsung merangkul pinggangnya. Seolah ingin pamer bahwa gadis itu adalah miliknya.

Dokter wanita tadi pun sempat terkejut kala mendengar Zein memanggil Intan dengan sebutan sayang. Apalagi saat ini tangan Zein melingkar di pinggang istrinya.

"O'oh ... kalian pacaran?" tanya dokter itu, gugup. Ia tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya itu.

"Tidak," jawab Zein.

"Oya?" Dokter itu tidak percaya begitu saja.

"Kami sudah menikah," jawab Zein, yakin.

Intan langsung menoleh ke arah Zein dan menatapnya. Sementara dokter tadi terbelalak.

"M-menikah, Prof?" tanyanya, seolah tak percaya.

"Ya, Intan istri saya," ucap Zein, bangga.

Dokter wanita tadi menoleh ke arah Intan. Seolah tak percaya bahwa gadis yang pernah dibentak oleh Zein di ruangan operasi itu adalah istrinya.

Saat itu ia ada di sana karena ikut operasi. "Ooohh ... kok gak ngundang-ngundang, Prof?" tanya dokter itu.

"Resepsinya belum. Berhubung kami berdua sibuk, jadi kami sepakat untuk menundanya," jawab Zein.

Dokter itu tersenyum getir.

"Tapi saya harap tolong kamu jangan mengatakan hal ini pada siapa pun. Biar kami yang mengumumkannya sendiri!" pinta Zein.

"Oh baik, Prof. Saya tidak mungkin berani mengatakannya pada orang lain jika Prof tidak mengizinkan," jawab dokter itu.

"Oke, kalau begitu kami duluan," ucap Zein. Kemudian ia pun mengajak Intan pergi karena tahu istrinya itu tidak nyaman.

'Ya Tuhan, ini berita besar banget. Mimpi apa aku, mereka bisa nikah? Aku ingat betul bagaimana dulu Prof membentaknya di hadapan banyak orang. Kok bisa nikah, sih?" gumam dokter itu sambil memperhatiakn mereka.

Namun, Zein yang merasa masih dilihati itu masih mempertahankan kemesraannya. Ia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Intan dan berbisik.

"Tetaplah bersikap mesra. Dia masih memperhatikan kita," bisik Zein. Lalu ia mengecup pipi Intan. Ia memanfaatkan momen tersebut.

Intan langsung menoleh ke arah Zein. "Apa harus disun juga, Mas?" Intan protes.

"Untuk lebih meyakinkan," sahut Zein sambil melihat-lihat buah. Ia memang sangat licik. Tak heran bisa jadi profesor, otaknya sangat cerdas. Selalu bisa melihat peluang.

"Tapi kan ini tempat umum, Mas," keluh Intan.

"Masalahnya di mana? Kan cuma sun. Lagian kita sudah halal," jawab Zein, singkat.

Sementara itu dokter tadi akhirnya percaya setelah melihat keromantisan mereka. Sebab, ia tidak mendengar apa yang mereka ucapkan.

"Mimpi apa aku bisa lihat Prof seromantis itu. Dari sikapnya sih kayak dia cinta banget sama dokter Intan," gumam dokter wanita itu. Akhirnya ia pun pergi.

Intan menoleh ke arah dokter tadi. "Udah gak ada, Mas," ucapnya. Ia pun segera melepaskan diri dari Zein.

"Kayaknya kamu gak betah banget deket-deket sama saya, ya? Padahal kalau lagi begitu, maunya nempel terus," gumam Zein.

Intan langsung mendelik. "Itu kan beda momen, Mas. Lagian ini tempat umum. Mas kenapa sih kalau lagi bahas sesuatu, ujungnya pasti ke sana?" tanya Intan, kesal.

"Karena kamu gak pernah mau ngaku," sahut Zein, santai.

"Cih! Yang ada tuh sebaliknya," timpal Intan, kesal.

Zein menoleh ke arah Intan. "Sebaliknya gimana?" tanyanya. Ia merasa tidak perlu ada yang diakui lagi. Sebab ia sudah menunjukkan semuanya dengan sikap.

"Udah lupain aja!" ucap Intan, ketus. Ia kesal karena Zein tidak peka. Intan ingin Zein tahu tanpa harus ia beri tahu.

"Aneh," gumam Zein, sebal.

Beberapa saat kemudian, mereka pun membayar buah tersebut. Lalu membawanya ke mobil dan meninggalkan tempat itu.

Sesampainya di rumah Mu, Zein kembali bersikap mesra pada Intan.

Tint-tong!

Zein menekan bel rumah mamahnya. Lalu mereka menunggu di depan pintu.

Tak lama kemudian, pintu rumah tersebut sudah dibuka oleh Rani dari dalam. Ia memang sudah standby menunggu mereka datang.

"Halo ... akhirnya menantu kesayangan mamah datang juga," sambut Rani sambil memeluk Intan.

"Terima kasih, Mah," jawab Intan. Lalu mereka pun masuk ke rumah tersebut.

"Zein, lebih baik kamu temenin papahmu di taman, sana!" usir Rani. Saat ini ia hanya ingin berbincang berdua dengan Intan.

"Oke," sahut Zein. Ia membiarkan mereka berbincang berdua agar lebih akrab.

Setelah Zein pergi, Rani pun langsung mengintrogasi Intan.

"Sayang, gimana? Mamah lihat sepertinya hubungan kalian semakin hangat," tanya Rani.

Bukan tanpa alasan ia ingin berbincang dengan Intan. Minggu kemarin Muh menceritakan perihal pertemuannya dengan Intan di ruangan Zein. Bahkan Muh menceritakan kecurigaannya dan itu membuat Rani bahagia.

"Alhamdulillah, Mah," jawab Intan.

"Syukurlah kalau begitu. Mamah ikut seneng dengernya. Memang yang namanya perjodohan itu tidak selamanya buruk, Sayang. Buktinya kalian sekarang bisa saling menyayangi satu sama lain. Semoga hubungan kalian langgeng terus dan bisa segera kasih cucu buat kami, ya?" pinta Rani.

Intan pun tersenyumm getir. "Aamiin," sahutnya.

"Tapi kalian rajin kan, produksinya?" tanya Rani, malu-malu.

Intan terkesiap saat ditanya seperti itu. Ia tak menyangka mertuanya akan menanyakan hal tersebut. "Hehehe." Intan hanya tersenyum. Bingung hendak menjawab apa.

"Maaf ya, bukannya Mamah mau ikut campur, Mamah cuma mau pesen sama kamu. Kamu itu harus sabar-sabar menghadapi suami. Maklumin aja kalau dia sering minta atau terlalu agresif. Namanya juga udah kelamaan jomblo, hehe," jelas Rani.

Ia khawatir Intan kewalahan menghadapi sikap Zein. Menurutnya, sampai Zein melakukan hal itu di kantor, artinya keinginan Zein dalam hal tersebut sangat besar.

"Iya, gak apa-apa kok, Mah," sahut Intan.

"Kamu tenang aja! Nanti juga semakin tua, semakin berkurang intensitasnya. Namanya juga pengantin baru, kan. Tapi Mamah mau tanya satu hal. Selama ini dia bersikap lembut kan sama kamu? Zein gak pernah main kasar kan, Sayang?" tanya Lena sambil tersenyum.

Ia khawatir menantu kesayangannya itu dieksploitasi oleh Zein.

***

Guys, jangan lupa follow akun aku, ya. Nanti kalau DPG udah tamat insyaaAllah aku terbit buku baru di sini. Biar kalian bisa dapet info kalau aku publish buku baru, hehe,

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang