Intan ternganga melihat sikap Zein seperti itu. Rasanya ia ingin melempar Zein dengan tasnya. Namun ia berusaha menahan diri karena masih sadar bahwa Zein adalah konsulennya.
"Oh, jadi dia mau pura-pura gak kenal sama aku. Oke, lo jual gue beli!" gumam Intan pelan. Ia pun akan bersikap sama seperti Zein, pura-pura tidak kenal.
Intan masuk ke arah ruangannya. Kebetulan mereka harus naik lift yang sama untuk bisa naik ke ruangan mereka.
Akhirnya Intan pun menunggu lift di sebelah Zein dan yang lainnya. Namun ia bersikap tidak kalah dingin dari Zein. Intan seolah tidak melihat Zein dan pura-pura tak kenal padanya.
Ting!
Saat pintu lift terbuka, Intan membiarkan Zein masuk lebih dulu, kemudian ia masuk sehingga posisi Intan berada di depannya.
'Lho, kenapa dia malah ikutan nyuekin aku? Harusnya dia minta maaf atau baikin aku karena kemarin sudah sembarangan bicara, dong!' batin Zein. Ia kesal karena Intan malah ikutan cuek.
Bahkan saat lift terbuka, Intan keluar lebih dulu dan sama sekali tidak menoleh ke arah Zein.
Zein sampai ternganga melihat Intan begitu berani menantangnya. 'Awas kamu ya, Intan,' gumam Zein dalam hati.
"Yee, emang situ doang yang bisa pura-pura gak kenal? Aku juga bisa," gumam Intan sambil menjebik saat pintu lift sudah tertutup kembali. Kemudian ia melenggang ke ruangannya.
Ruangan Zein memang berbeda dengan dokter lain karena ia merupakan salah satu petinggi di rumah sakit itu.
"Duh! Mau gak mau harus ketemu dia, nih. Gimana, ya? Gak mungkin kan pura-pura gak kenal?" gumam Intan saat sudah berada di ruangannya. Ia pun menaruh tas, kemudian mengenakan jas putihnya.
Setelah itu dengan berat hati Intan pergi ke ruangan poli karena pagi ini Zein tidak ada jadwal operasi.
"Semoga dia gak marah karena tadi aku ikutan nyuekin dia," gumam Intan. Tadi ia bersikap impulsif, sehingga saat ini ia menyesal dan merasa khawatir Zein akan marah padanya.
Intan pun bergegas menuju ruangan Zein sambil tertatih karena kakinya masih sakit.
"Prof udah masuk belum?" tanya Intan pada perawat yang berjaga di poli.
"Udah, baru aja, Dok," sahut perawat.
"Duh ... ya udah, makasih, ya," ucap Intan.
Dengan berat hati ia terpaksa masuk ke ruangan tersebut.
Tuk, tuk, tuk!
"Masuk!"
"Permisi, Prof," ucapnya setelah membuka pintu. Lalu ia pun masuk ke ruangan tersebut dan hendak mengambil buku status pasien yang ada di meja Zein.
Tap!
Zein langsung menahan buku tersebut saat Intan hendak mengambilnya. Kemudian ia menatap Intan. "Mau apa?" tanyanya.
"Heuh?" Intan bingung ditanya seperti itu. Ia merasa tidak ada yang salah dengan pekerjaannya.
"Kamu masih kenal saya?" sindir Zein. Sikapnya sangat kekanakkan.
"Maksudnya apa ya, Prof?" Intan balik bertanya.
"Bukankah tadi kamu bersikap seperti orang asing yang tidak kenal pada saya? Padahal sudah jelas saya ada di belakang kamu. Bahkan kamu seolah tidak melihat saya. Apakah seperti itu sikap kamu terhadap atasan?" tanya Zein.
Intan menghela napas perlahan. 'What? Kenapa dia jadi playing victim kayak gini, sih? Kan dia duluan yang nyuekin aku. Tapi kenapa sekarang malah jadi seolah aku yang mulai duluan?' batin Intan sambil menggeretakkan giginya. Ia sudah sangat kesal pada Zein.
"Saya pikir kamu sudah tidak butuh nilai dari saya lagi," ucap Zein lagi.
Intan menelan saliva sambil mengatur napas, kemudian ia bicara. "Maaf, jika saya salah, Prof. Saya hanya sungkan dan bingung harus berbuat apa," jawab Intan. Tidak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya.
Zein menyeringai. "Oya? Tapi sikapmu bukan seperti orang sungkan. Melainkan lebih ke kurang ajar," ucap Zein.
Intan merasa napasnya begitu sesak. Rasanya ia ingin kabur dari tempat itu. Namun ini hari terakhir Intan bekerja di rumah sakit tersebut sebagai koas. 'Kuat Intan, kamu pasti bisa. Tinggal hari ini. Persetan dia mau ngomong apa. Setelah itu kamu bisa bebas,' batin Intan.
'Hiks, tapi bebasnya cuma sementara. Selanjutnya bakalan lebih parah karena ... ah, sudahlah!' Intan semakin kesal karena mengingat pria menyebalkan itu adalah calon suaminya.
"Maaf jika saya sudah kurang ajar, Prof," ucap Intan. Ia mengalah agar masalah ini tidak diperpanjang oleh Zein dan nilainya tidak dipersulit oleh konsulennya tersebut.
"Oke kali ini saya maafkan. Tapi lain kali, saya tidak akan memaafkan jika kamu bersikap seperti itu lagi," ucap Zein sambil sibuk melakukan pekerjaannya.
"Baik, Prof," jawab Intan. Ia yang berdiri di samping Zein itu menjebik ke arahnya. Rasanya Intan sangat ingin menghajar Zein. Namun lagi-lagi ia berusaha menahan diri.
Saat Intan sedang menjebik sambil mengepalkan tangannya, tiba-tiba Zein menoleh ke arahnya. Intan pun terkesiap dan langsung merubah ekspresinya.
"Kamu sedang apa?" tanya Zein.
"Enggak, Prof. Saya cuma sedang memerhatikan laporan yang sedang Prof buat," sahut Intan, gugup.
Namun Zein tidak memercayainya begitu saja. Sesekali ia melirik ke arah Intan untuk memastikan perasaannya tidak salah. Sebab tadi dia merasa Intan melakukan gerakan seolah ingin menghajarnya.
Setelah itu mereka pun melakukan pekerjaan seperti biasanya.
Sore hari, Zein mengajak Intan pulang bersama lagi. Sepertinya ia sudah lelah bermain peran seperti orang asing.
"Kaki kamu masih sakit?" tanya Zein saat Intan sedang bersiap ingin meninggalkan ruangan Zein.
"Enggak, Prof," sahut Intan, singkat.
"Kalau gak sakit, kenapa jalannya masih seperti itu? Kamu berusaha membohongi saya?" tanya Zein.
'Emang apa sih urusannya sama Anda?' batin Intan. Namun ia memilih untuk tidak menjawab ucapan Zein.
"Motor kamu sudah diantar pulang ke rumahmu. Jadi lebih baik sore ini kamu ikut saya lagi," ucap Zein. Sampai saat ini ia masih belum mau mengatakan bahwa dirinya akan mengantar Intan. Zein lebih senang menggunakan kata 'ikut saya'.
"Saya bisa naik ojek, Prof," sahut Intan.
"Silakan saja. Tapi nilai kamu ada pada saya. Bukankah hari ini hari terakhir kamu koas? Atau kamu mau ambil ke rumah saya? Tidak masalah," ucap Zein.
Intan langsung menoleh ke arah Zein. 'Eh iya, aku sampe lupa hal sepenting itu. Terus kenapa gak langsung dikasihin sekarang, sih?' batin Intan.
"Apa tidak bisa sekarang saja, Prof?" tanya Intan.
Zein menggelengkan kepalanya. "Saya konsulennya, jadi kamu tidak usah mengatur saya!" skak Zein.
"Baik, Prof. Kalau begitu saya permisi dulu," sahut Intan. Lalu ia meninggalkan ruangan Zein.
"Hiihhh! Kok ada sih manusia kayak dia? Ini kalau gak inget lagi sakit, rasanya aku pingin nendang dinding lagi," gumam Intan, geram.
"Kenapa sih, Dok?" ledek salah seorang perawat yang melihat tingkah Intan.
"Eh, gak apa-apa, Sus. Hehehe," sahut Intan.
Hari ini ia hendak berpamitan pada semuanya. Namun karena Zein mengajaknya pulang bersama, Intan pun memutuskan datang ke rumah sakit besok sekadar untuk berpamitan pada semua rekan kerjanya.
Intan pun buru-buru menuju mobil Zein untuk pulang bersamanya lagi.
"Semoga nanti magang dapet yang jauh biar aku gak perlu ketemu dia untuk beberapa tahun," gumam Intan. Ia tidak tahu bahwa sudah sejak jauh hari Zein mengatur penempatan magangnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/284992173-288-k209741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
عاطفيةIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...