27. Benar-Benar Jauh

1.4K 168 21
                                    

Ria malam ini keluar sendiri. Tidak bersama Devan. Gadis itu duduk di salah satu bangku taman dekat dengan rumah pohon yang dulu semasa SMP selalu ia kunjungi bersama yang lain.

Dia menatap lampu jalanan yang begitu terang, tidak seperti kehidupannya. Kehidupan Ria itu hampa, kosong, seperti tidak ada kehidupan di sana.

"Hai, Ri!"

Sapaan itu membuat Ria menoleh. Ia mengangkat pandangannya dan mengangkat sebelah alisnya, saat melihat Lili berdiri di sana. Sudah lumayan lama ia tidak melihat gadis itu.

"Gue boleh duduk di sini?" tanya Lili.

Lili mengangkat bahu, tak acuh. Ia kembali menatap ke depan, berlarut dalam pikirannya. Tetapi ia kembali menoleh pada Lili, saat mendengar ucapan gadis itu.

"Udah lumayan lama, ya, kita nggak ketemu," ujar Lili.

Ria hanya diam, menatap Lili.

"Lo habis dari rumah pohon?" tanya Lili.

Ria menggeleng. "Gue cuman lewat," jawabnya jujur.

"Gue kangen sama lo, Ri," ucapan itu meluncur bersamaan dengan Lili menatapnya dengan tulus. "Gue kangen Ria yang dulu. Gue kangen bercanda sama lo lagi," lirih Lili, air matanya jatuh membasahi pipinya.

Ria tetap diam, menatap datar. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Lili mengatakan itu. Setelah Indro, Lili?

"Maafin gue, ya, Ri. Gue yang udah buat hidup lo hancur," ujar Lili tulus.

Ria menggeleng,"bukan salah, lo."

"Nggak, Ri. No!" Lili menggeleng. "Gue yang udah hasut lo sampai lo benci Wulan. Gue yang udah buat lo jauh dari yang lain," kata Lili, menatap Ria. "Tapi gue nggak pernah hasut lo buat jadi baik. Gue malah ninggalin lo di jalan yang nggak benar," lirih Lili, menunduk.

Ria meringis, mendengar akuan Lili. Jujur, ia memang merasa bahwa separuh kehidupannya hancur karena Lili. Karena gadis itu yang telah membuat hatinya panas sehingga mengibarkan bendera kebencian di hatinya. Tapi bukan itu alasan sepenuhnya Ria berubah. Banyak hal yang membuat Ria meninggalkan jati dirinya yang dulu.

"Maafin gue, ya, Ri?" pinta Lili, menatap memohon ke Ria. Matanya berair, akibat menangis.

Ria tersenyum simpul dan mengangguk. "Gue maafin lo," katanya, membuat Lili langsung memeluknya.

"Makasih, Ri. Makasih banyak. Gue lega sekarang," ujar Lili.

Ria mengangguk di pelukan Lili. Setetes air mata jatuh ke pipi Ria, tetapi langsung di hapus gadis itu. Bohong, kalau Ria bilang ia tidak rindu Lili. Ia sangat-sangat merindukan Lili, Wulan, dan yang lain. Tapi...

Ria melepas pelukannya.

Lili mengernyit. "Why?" tanya Lili, merasa bingung dengan sikap Ria.

"Gue maafin lo, Li. Tapi tolong, setelah ini jangan pernah anggap kita pernah saling kenal. Tolong lupain semua tentang gue," pinta Ria.

"Kenapa, Ri? Lo nggak mau bersahabat lagi sama kita? Lo nggak kangen bareng sama kita?" tanya Lili.

Ria menggeleng. "Jalan kita udah beda, Li. Kalian mulai lembaran baru tanpa gue lagi. Karena dari sebelumnya juga kalian udah memulai itu. Maka kalian tinggal melanjutkan," jelas Ria. "Dan gue? Gue bakalan mulai kisah baru gue, tanpa kalian."

Bagaikan goresan luka tapi tidak berdarah, itu yang Lili rasakan. Ntah kenapa, rasanya sesak mendengar ucapan Ria.

"Gue duluan, ya, Ri?" pamit Ria dan pergi meninggalkan Lili.

Air mata Lili kembali terjun membasahi pipinya. Ia menatap punggung Ria yang perlahan menjauh. Ia mengusap air matanya, tetapi air mata itu malah keluar semakin deras.

"Sekarang lo benar-benar jauh dari kami, Ri," lirihnya.

-----

Ria membuka pintu kamarnya. Dia masuk ke dalam dan berjalan ke tempat tidurnya. Tapi di saat ia akan naik, kakinya seperti menendang sesuatu di bawah kasurnya.

Ria berjongkok dan melihat apa itu. Ternyata itu adalah sebuah kotak yang di bungkus dengan kertas kado. Harusnya ini gue kasih tepat di hari ulang tahun, lo, Lan. Tapi maaf, sampai sekarang ini belum sampai ke lo, batin Ria, tersenyum miris.

Sebenarnya pulang sekolah waktu itu, Ria telah membeli kado yang akan ia berikan ke Wulan. Niatnya memang tidak ada untuk pergi ke pesta itu, tetapi niat untuk memberi Wulan kado ada.

"Tapi besok kado ini akan ada sama lo kok," ujarnya.

Dia mengambil binder yang ada di laci, lalu pulpen yang ada di atas nakas. Dia menulis surat di sana, surat itu yang nantinya akan menemani kado ini sampai ke tangan Wulan.

Semoga lo suka, Lan.

-----

Rindro (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang