" Kak, makan dulu ya. Bunda suapin mau? " tanya Bunda sambil mengambil piring di nampan coklat.
" Kakak belum lapar. Nanti saja ya. " jawab ku singkat.
" Sarapan pagi nya nggak di makan. Semalam juga makannya hanya sedikit. Kakak nggak punya tenaga nanti. Proses pemulihannya jadi lama. " kata Bunda.
" Kakak nggak nafsu makan, Bun. Jangan paksa kakak ya. "
" Lima suap saja. Biar nggak lemes ya. "
" Nggak mau Bunda. " aku menolak permintaan Bunda.
Aku bisa melihat ada rasa sedih dan kecewa dari Bunda. Tapi aku hanya diam saja. Aku berbaring di atas tempat tidur. Bunda mengelus punggung ku. Aku hanya ingin sendiri dan menenangkan diri. Aku belum bisa menerima kenyataan kalau calon anak ku sudah nggak ada. Rasa penyesalan selalu membayangi ku. Terlepas apa yang telah Ranti lakukan pada ku. Tapi seandainya aku tahu kalau sedang hamil pasti aku akan melawan nya.
Suara pintu kamar terbuka dan aku bisa mendengar suara mas Adithya. Dia langsung menghampiri ku lalu mencium kening ku. Aku hanya diam saja. Kemudian Bunda bicara sama suami ku kalau dari pagi aku belum makan.
" Sayang, kenapa nggak makan? Nggak enak makanannya? " tanya mas Adithya.
" Nggak lapar mas. " Jawab ku.
Mas Adithya membangun kan ku dari tempat tidur. Kemudian diriku di pangku oleh nya. Dia menatap ku sambil mengelus kepala ku. Rasanya aku ingin kembali nangis. Aku merasa nggak sanggup menghadapi semua ini. Biarlah orang berkata apa tentang diriku. Walaupun aku seorang psikolog, tapi aku juga manusia biasa seperti orang pada umumnya. Itu hanyalah sebuah gelar dan profesi. Tapi diluar itu aku bisa sedih, bahagia, marah, kecewa, dan terluka.
Air mata pun kembali menetes dan aku pun menangis dalam pelukkan suami ku. Aku tahu dia pun sama sedihnya seperti ku. Tapi aku masih belum bisa memaafkan diriku karena kelalaian ku, aku harus kehilangan janin yang ada di kandunganku. Aku masih berusaha untuk berdamai pada diri ku. Tapi nggak semudah itu. Mas Adithya menghapus air mata ku dan menenangkan ku. Dia tahu aku membutuhkannya. Maka dari itu setelah dia selesai bekerja, mas Adithya selalu menyempatkan diri ke kamar hanya untuk melihat kondisi ku.
Ini sudah hari ke tiga paska kuret. Dokter Septian bilang kalau aku bisa punya anak lagi. Jadi nggak perlu ada yang di khawatirkan. Tunggu sampai kondisi rahim ku pulih sekitar dua bulan agar aman, maka aku sudah bisa untuk hamil kembali. Tentu saja suami ku senang mendengarnya. Aku pun begitu. Hanya saja secara mental aku masih belum bisa menerima keadaaan ini.
Mas Adithya berusaha untuk menguatkan ku. Dia terus berkata kalau semua ini bukan salah aku. Ada kesalahannya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Ini adalah cobaan untuk rumah tangga kami berdua.
" Sayang. Jangan lagi kamu menyalahkan diri. Ini semua kehendak Tuhan. Mungkin Dia akan menggantikannya dengan lebih baik dari sebelumnya. " kata nya.
" Ini salah ku mas. Kalau aku mengetahuinya dari awal mungkin nggak akan seperti ini. " ucap ku masih nangis sesenggukan.
" Mas sudah bilang kan, nggak usah menyalahkan diri lagi. Memang janin nya nggak berkembang sayang. Ikhlaskan ya. Apalagi dokter Septian bilang kamu sehat dan subur. Insya Allah kita akan segera di berikan kepercayaan lagi. "
" Tapi mas aku...,"
Mas Adithya memotong pembicaraan ku. " Nggak ada tapi. Sudah cukup tiga hari ini kamu sedih dan susah makan. Kamu harus bangkit lagi. Kasihan Bunda jadi sedih melihat anaknya nangis terus dan susah makan. "
Aku melihat Bunda yang berdiri nggak jauh dari kita berdua. Aku tahu Bunda pasti sangat mengkhawatirkan ku hingga dia rela menemani ku selama tiga hari ini di rumah sakit. Aku jadi merasa bersalah karena telah membuat beliau khawatir. Setelah itu mas Adithya meminta piring yang berisikan makanan pada Bunda.
" Biar Adithya saja yang menyuapi Hanna. Bunda sebaiknya istirahat. Sudah tiga hari menemani Hanna di sini. " kata mas Adithya meminta Bunda untuk istirahat.
" Nggak apa-apa nak. Bunda nggak capek. Justru kalau Bunda jauh dari Hanna saat ini malah jadi kepikiran. " ucap Bunda sambil menyerahkan piringnya.
Lalu mas Adithya menyuruhku untuk membuka mulut. Dia ingin aku makan agar cepat pulih. Kalau nggak aku kan terus di infus karena sangat sedikit asupan makanan yang ku makan. Dengan telaten dia menyuapi ku. Bunda mengucapkan rasa syukur karena aku mau makan. Walaupun nggak habis makanan nya, tapi sudah membuat suami ku lebih tenang.
Selesai makan aku kembali di rebahkan kembali ke tempat tidur. Tapi posisi tempat tidur bagian kepala di angkat sampai sembilan puluh derajat. Kemudian dia duduk di samping ku sambil memberikan gelas yang berisikan air putih serta beberapa obat yang masih harus ku minum. Mas Adithya juga mengingatkan Bunda untuk makan siang dan minum obat jantungnya. Bunda pun menganggukan kepalanya.
" Sayang, Kalau seadainya kamu berhenti bekerja di klinik apa keberatan? " tanya mas Adithya dan itu membuat ku terkejut.
" Kenapa mas? Bukannya kita sudah sepakat kalau aku masih bisa praktik walaupun seminggu hanya tiga pasien. " jawab ku.
" Setelah kejadian ini, mas berpikir kalau sebaiknya kamu berhenti saja. Mas pengen kamu seperti Mamah. Menjadi ibu rumah tangga dan bisa kapan saja menemani mas bekerja kecuali saat operasi. "
" Aku masih ingin bekerja. Tolong jangan egois mas. "
" Mas hanya ingin kamu nggak capek. "
" Aku nggak capek mas. Kenapa sih mas nggak mengerti aku? "
" Mas hanya ingin kamu fokus mengurus mas. Atau kamu bisa cari kesibukan lain tapi bukan praktik psikologi. "
" Nggak mau mas. Aku masih ingin bekerja. "
" Mas akan kasih waktu kamu untuk berpikir selama satu minggu. "
Baru saja aku mau bicara, tiba-tiba bunyi dering handphone milik suamiku terdengar dan dia langsung mengangkatnya. Aku sempat mendengar dia bicara siapkan ruang operasi. Berarti suami ku ada panggilan tugas lagi. Setelah menerima telepon dia menyimpan kembali handphone nya ke dalam saku celana.
" Pikirkan kembali sayang. Mas butuh kamu untuk menjadi seorang istri. " katanya lalu dia cium keningku. " Mas pergi dulu ya. Ada panggilan tugas. Sampai jumpa nanti malam. I love you. "
" Iya, Love you too mas. "
Setelah itu mas Adithya turun dari tempat tidur ku dan pamitan pada Bunda. " Bun, titip Hanna ya. "
" Iya nak. Bunda pasti akan jaga Hanna. Kamu kerja yang tenang saja. Di sini ada Bunda dan sebentar lagi Mamah kamu datang. "
" Ya sudah. Kalau ada apa-apa telepon Mita saja. Hanna tahu nomor handphone nya. "
" Iya. Bunda doakan semoga operasinya lancar dan pasien kamu selamat dan sehat kembali. " Bunda mendoakan mantunya.
" Makasih Bunda. " lalu mas Adithya keluar dari kamar rawat inap.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANNA
RomanceBagaimana bila cinta pertama kamu hadir dan menyapa kembali? Itu lah yang sedang kualami saat ini. Pertemuan dengannya membuat ku kembali mengingat masa-masa di mana aku harus merasakan sakit karena cinta. Lebih dari lima Belas tahun aku mencintainy...