💕LIMAPULUHEMPAT💕

265 24 6
                                    

 " Siapa yang telepon? " tanya Rafi.

" Mas Adithya. Dia menuju ke sini. Maaf aku bilang ke suami ku kalau kamu mengalami kecelakaan." Jawab ku lalu kembali duduk di samping Rafi.

" Ya sudah. Kita tunggu suami kamu dulu. " katanya.

Selama menunggu aku dan Rafi sama-sama diam. Rafi beberapa kali memegang kepalanya. Tentu saja aku khawatir. Tapi aku sendiri bingung harus bagaimana. Aku melihat luka di kepala Rafi yang masih ada darah keluar walaupun nggak banyak. Setengah jam kemudian mobil mas Adithya sampai bersama mobil ambulans. Dia turun dari mobil bersama Restu dan langsung menghampiri kami

" Kamu nggak apa-apa? " tanya mas Adithya.

" Aku nggak apa-apa mas. Tolong periksa Rafi sekarang. " jawab ku meminta mas Adithya untuk memeriksa Rafi.

Lalu mas Adithya memeriksa kondisi Rafi. Aku begitu cemas melihat pria itu. Wajahnya terlihat pucat dan mas Adithya langsung meminta perawat untuk segera memindahkan Rafi ke tempat brankar ambulans karena harus segera mendapatkan tindakan di rumah sakit. Saat Rafi sudah di pindahkan dan akan di masukkan ke dalam mobil ambulans, dia memegang tangan kanan untuk ikut masuk bersamanya.

Aku langsung melihat suami ku dan bisa ku lihat dari raut wajahnya yang nggak suka saat tangan Rafi memegang tangan ku. Akhirnya mas Adithya memutuskan untuk aku masuk kedalam mobil ambulans. Dia mengizinkan ku untuk menemani Rafi sampai di rumah sakit. Sementara suami ku naik mobil pribadi beriringan di belakang mobil ambulans.

Jarak tempuh dari komplek perumahan ke rumah sakit tempat suami ku kurang lebih setengah jam. Selama di perjalanan Rafi terus menggenggam tangan ku dan berbicara pelan agar aku jangan pergi meninggalkannya. Aku menangis sambil menatap Rafi. Kenapa harus seperti ini Tuhan? Tolong jangan Engkau ambil nyawanya. Dia adalah cinta pertama ku. Aku yang takut mendengar suara sirine mobil ambulans terpaksa untuk menguatkan diri dan bertahan demi Rafi.

Rafi terus bergumam agar aku jangan pergi meninggalkannya. Padahal saat ini aku masih di sampingnya.

" Aku masih di sini Rafi. Nggak kemana-mana. " bisik ku di telinganya.

Hancur hati ku melihat kondisi Rafi seperti ini. Di lain sisi ada mas Adithya yang harus ku jaga hatinya. Tapi di sisi lain, pria di depan ku ini adalah cinta pertama ku. Aku harus apa Tuhan? Aku bisa apa? Bila di hati ini ternyata ada Rafi dan mas Adithya. Aku menundukkan kepala ku. Rasanya kepala ku pusing. Bagaimana pun saat ini aku sedang melawan rasa trauma ku pada bunyi sirine mobil ambulans tapi di sisi lain aku mengkhawatirkan Rafi.

Nggak terasa mobil ambulans sudah sampai di IGD rumah sakit tempat suami. Lalu pintu di buka dan aku bisa melihat suami ku dan beberapa perawat menurunkan brankar ambulans. Tangan Rafi masih menggengaman ku dan akhirnya aku ikut masuk kedalam ruang IGD. Sebenarnya jalan ku sudah sempoyongan. Tapi aku masih tetap bertahan. Beberapa dokter sudah datang dan langsung memeriksa kondisi Rafi.

" Raf, aku keluar ya. Kamu akan segera mendapat tindakan dari dokter. " bisik ku sambil melepaskan genggaman tangannya.

Setelah itu aku keluar dari ruang IGD menuju cafe untuk membeli minuman cappuccino. Sampai di cafe aku langsung memesan pesanan ku, lalu mencari tempat duduk yang membuat ku merasa nyaman. Sambil menunggu pesanan aku menatap ke arah luar dari jendela cafe yang kacanya transparan. Aku masih diam karena di telinga ku masih terdengar suara sirine berbunyi padahal nggak ada. Aku juga memikirikan kondisi Rafi. Semoga saja dia baik-baik saja.

" Maaf mbak, ini pesanan minuman cappuccino nya. " kata pelayan cafe dan itu membuatku tersadar dari lamunan.

" Oh iya. Taruh saja di atas meja. Makasih ya. " ucap ku sambil tersenyum.

Aku mengangkat cangkir minumannya tapi tangan kanan ku gemetar. Aku mengurungkan niat ku. Jangan sampai terulang kembali kejadian memecahkan cangkir cafe karena tangan gemetar. Aku berusaha menenangkan diri ku. Aku memejam kedua mata ku dan berkata kalau semua akan baik-baik saja pada diriku sendiri.

Saat aku membuka kedua mata, aku terkejut karena mas Adithya sudah duduk di depan ku. Aku menurunkan kedua tangan ku yang masih gemetar agar suami ku nggak curiga. Tapi ternyata dia melihatnya.

" Kenapa tangan kamu gemetar? " tanya suami ku.

" Nggak apa-apa mas. " jawab ku pelan.

" Jangan bohong. Mas tadi lihat dari tadi kedua tangan kamu bergetar. " mas Adithya mulai curiga padaku.

" Bagaimana kondisi Rafi sekarang? " aku mengalihakan pembicaraan dengan menanyakan Rafi.

" Sedang di tangani. Sebentar lagi mau di bawa ke ruang MRI. " kata nya. " Kamu belum jawab kenapa tangan kamu gemetar? Apa ada yang kamu sembunyikan dari mas? "

Aku hanya diam saja. Bahkan menatap pun aku nggak berani. Aku nggak mau kalau mas Adithya tahu tentang trauma ku.

Tiba-tiba bunyi sirine ambulans kembali ku dengar dengan jelas. Aku melihat mobil ambulans masuk menuju IGD. Mas Adithya yang melihat wajah ku pucat langsung pindah posisi duduknya di samping ku. Dia langsung memeluk ku dan mengelus punggung.

" Kamu kenapa bisa gemetaran seperti ini? " sekali lagi mas Adithya bertanya.

" Bisa bawa aku pergi dari sini sekarang. Kepala ku pusing. " jawab ku pelan dan menutup kedua mata ku.

" Iya tapi kenapa kamu seperti ini? Apa karena Rafi yang...." belum selesai bicara aku langsung memotong pembicaraanya.

" Aku punya trauma mendengar bunyi sirine ambulans mas. " kata ku dengan suara gemetar

" Astaga. Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu mas kalau kamu punya trauma mendengar sirine ambulans. " ujarnya.

Mas Adithya langsung mengajak ku keluar dari cafe menuju kamar yang biasa kami istirahat. Sampai di kamar aku langsung di baringkan ke atas tempat tidur. Lalu dia mengambil gelas dan mengisi air dari dispenser dan memberikannya pada ku. Tapi karena tangan ku masih gemetar jadilah dia yang membantu ku memegang gelasnya. Dengan perlahan aku minum air putih hangat dan setelah selesai minum aku kembali berbaring di tempat tidur.

" Sudah malam, kita tidur di sini ya. "kata mas Adithya sambil menyimpan gelas minum di meja nakas samping tempat tidur.

" Apa nggak sebaiknya kita pulang saja ke rumah orang tua mas? Aku nggak enak sama mamah. " kata ku lalu bertanya.

" Biar nanti mas yang bicara sama Mamah. " jawab nya.

" Ya sudah. Aku ikut apa kata mas saja. " aku pasrah saja dan nurut apa kata suami.

" Kamu istirahat sekarang. Sudah jam sebelas malam. Besok kita bicara lagi. Mas mau mandi dulu terus istirahat. " katanya, lalu dia pergi menuju kamar mandi.

HANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang