Di rumah sakit. Ryann langsung masuk ke dalam ruang Dokter Harry. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah map coklat yang ada di atas meja.
"Mau tahu sekarang atau nanti saja?" Tanya Dokter Harry sengaja.
"Tunggu aku mati saja." Ryann hendak berdiri lagi.
"Eh, baiklah, baiklah. Ini hasil CT-Scan untuk pasien, kau bisa melihatnya terlebih dahulu. Sepertinya tanpa aku jelaskan, kau akan tahu."
Ryann pun membuka map coklat itu dan melihat gambar hasil CT-Scan dimana memperlihatkan dalam organ hati seperti tumor yang berukuran sedang. Dengan begitu termasuk kanker ganas.
Ia meletakkan kembali gambar itu di atas meja. Dokter Harry menatap Ryann prihatin dengan kenyataan yang harus temannya itu terima.
"Kau tahu Hepatoma termasuk kanker beresiko, bukan?" Dokter Harry menatap Ryann.
"Hm."
"Belum ada gejala yang kau rasakan sebelumnya?"
Ryann menggelengkan kepalanya.
"Istri dan anak-anakmu sudah tahu kau ke China untuk memastikan hasil Check Up kemarin?"
"Aku bilang ada urusan mendadak."
"Lalu, kau akan bilang ke mereka kalau kau mengidap Hepatoma?"
Ryann terdiam. Ia bingung untuk mengatakan sejujurnya kepada Anna. Pasti istrinya itu akan sangat khawatir kepadanya. Ia tidak ingin Anna akan menjadi terbebani pikirannya hanya karena ia menderita Hepatoma.
Begitu pula dengan anak-anak. Dengan adanya penyakit dalam tubuhnya. Ia harus segera menyiapkan calon pemimpin perusahaan berikutnya. Pewaris Grup Arthajaya berikutnya.
Dimana ia harus mempersiapkan segala hal untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Entah siap atau tidak siap pasti akan terjadi.
"Menurutmu?"
"Menurutku? Kau meminta saranku? Pertama kalinya seorang Ryann meminta saran kepada temannya sendiri." Dokter Harry bertepuk tangan. "Kau yakin akan mendengarkan saranku? Setiap aku beri saran saja kau tidak peduli untuk mendengarkan."
"Harry…" Ryann menatap Dokter Harry dengan tajam.
"Aku harap kau akan mendengarkan ku. Lebih baik kau mendengarnya saja tidak apa-apa kalau kau tidak melakukannya. Tapi, jangan langsung pergi begitu saja seperti yang sudah-sudah."
"Katakan sekarang."
☘️🌹☘️
Di pagi hari yang cerah ini ada seseorang yang ingin mengakhiri rencana yang telah dibuatnya. Dimana menandakan rencananya tinggal satu tahap lagi dan selesai.
Bersiap-siap dengan pakaian yang rapi dan berdandan yang cantik untuk bersiap menerima keberhasilan akan rencananya. Azel dengan selembar kertas yang sudah dimasukkan ke dalam map coklat untuk dibawa ke kantor.
Dengan mobil yang biasanya ia gunakan untuk menuju kantor. Tidak perlu waktu lama untuk sampai. Ia langsung naik ke lantai dimana ruangan presiden direktur berada.
"Maaf nona, Tuan Ryann belum kembali dari perjalanan bisnisnya. Sebagai gantinya ada Tuan Hansel di ruang wakil presiden direktur." Seorang staf sekretaris mengingatkan Azel sebelum Azel mengetuk ruangan presdir.
"Oh iya, aku lupa." Azel menepuk dahinya. "Baiklah, terima kasih ya." Azel tersenyum ramah.
"Sama-sama, nona muda." Balasnya sopan.
Azel pun beralih menuju ruangan wakil presdir yang tidak jauh dari ruang presdir. Ia mengetuk pintu sampai ada balasan dari dalam barulah Azel masuk.
"Kak…"
Hansel mendongakkan kepalanya melihat Azel datang menghampirinya. Azel merasa tidak ada perputaran sirkulasi udara dalam ruangan. Rasanya canggung sekali. Namun, ia harus tetap melakukan ini.
"Ada apa?" Tanyanya menatap Azel datar.
"Maaf mengganggu waktunya, kak. Aku ingin memberikan ini." Azel memberikan map coklat itu.
Hansel menerima map coklat yang diberikan Azel. Ia membukanya dan mengambil selembar kertas di dalamnya. Lalu, membacanya dengan seksama.
Hansel mengerutkan keningnya. "Resign?"
Bersambung.
Hai,hai! 👋
Terima kasih yang sudah baca karya ku💛
Semoga kalian terhibur dan tetap bahagia yaa💜
Jaga kesehatan dan terus semangat oke!💞
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 👍
See u on the next episode 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Heirs of Arthajaya
Romance"Kak Hansel saja yang jadi pewaris Arthajaya. Kakak pilihan tepat dari segala faktor." - Argen Arsetya Arthajaya "Kak Hansel jadi pewaris tunggal saja. Aku skip, kapan-kapan saja lagi mau jadi tukang roti." - Arazella Ansalma Arthajaya "Sorry, tidak...