Disaat sedang asyik melihat-lihat. Ia tidak sengaja menatap netra Allen. Dimana Allen berjalan mendekat ke arahnya. Dengan tatapan yang tajam ia berjalan semakin dekat.
Reflek Azel berjalan mundur hingga membentur meja yang ada di belakangnya. Sedangkan, Allen masih saja berjalan ke arahnya. Mengikis jarak diantara mereka.
Mata Azel terpejam ketika Allen sudah berhenti tepat di hadapannya. Dengan wajah Azel yang setara langsung dengan dada bidang itu.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada perubahan dan tidak merasakan ada sesuatu yang terjadi.
"Kenapa memejamkan matamu?"
Azel pun membuka kedua matanya. Terkejutnya ia ketika menemukan wajah Allen tepat di depan wajahnya saat ini. Azel menelan salivanya sulit.
Ia bingung untuk menjawabnya. Ternyata Allen hanya ingin mengambil sebuah map saja dari atas meja yang ada di belakang Azel.
Sungguh pikiran liarnya membuat Azel menjadi malu sendiri. Ingin sekali lari secepat mungkin. Tapi, ia tertahan dengan ulahnya sendiri.
"Ini." Allen memberikan map itu kepada Azel.
"Ini apa?"
"Berikan saja kepadanya."
"Baik, kak."
Allen duduk di kursi kerjanya. Sedangkan, Azel masih berdiri dekat meja.
"Ada hal lain lagi?" Tanyanya tanpa menatap Azel. Fokus dengan layar komputer di depannya.
"Oh, hm…, tidak ada. Tapi, kak…" Azel berjalan mendekat. Allen melihat Azel yang mendekat sekilas dan kembali melihat layar lagi.
"Aku boleh minta nomor telepon kakak?" Pintanya langsung.
"Untuk apa?" Allen mengernyitkan dahinya.
"Untuk…, untuk berteman?"
"Berteman?"
"Iya, supaya aku bisa lebih dekat saja dengan kakak." ucapnya. "Eh, hm…, maksudku begini Kak Allen dengan keluarga ku kan saling kenal. Masa anaknya tidak mencoba untuk kenal lebih dekat juga. Kita harus berteman di sosial media, kak." Jelasnya.
"Diharuskan?"
"Hm…, tidak juga sih, kak."
Azel sudah pasrah kalau memang Allen tidak ingin berbagi nomor teleponnya. Mungkin memang belum berjodoh. Jadi, tidak baik bila dipaksakan.
"Kak, sepertinya aku sudah terlalu lama disini. Maaf mengganggu. Terima kasih." Ucapnya seraya berjalan ke arah pintu untuk keluar dari ruang kerja Allen.
Ia kembali ke lantai bawah. Dimana semuanya sedang berbicara santai.
"Sudah selesai, nak?" Tanya sang ibu.
"Sudah, bu." Azel langsung jawab saja. Entah ibunya menanyakan tentang apa.
"Ya sudah, kita pulang dulu ya. Terima kasih atas makan malamnya." Anna berpamitan.
"Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya, An."
Azel pun ikut berpamitan dan ikut bersama kedua orangtuanya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pekarangan rumah Gautama.
Sementara itu, di sisi lain. Seorang pria tengah menatapnya pergi dari kejauhan.
"Sudah kakak berikan?"
"Hm."
"Lalu, reaksi dia seperti apa?"
"Entah, dia tidak menyadarinya."
"Yah, sayang sekali."
☘️🌹☘️
Azel yang baru saja ingin berangkat ke toko rotinya mengurungkan niatnya. Karena dipanggil oleh kakaknya yang pertama ke dalam ruang kerjanya.
Ia pun masuk ke dalam. Di dalam Hansel juga sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya dan juga sebuah map yang semalam sudah Azel berikan kepada kakaknya yang diberikan oleh Allen.
Hansel menyerahkan map itu kepada Azel. "Usahakan periksa lagi dari siapa dan untuk siapa." Azel menerimanya dengan wajah bingung.
"Ini dari Kak Allen untuk kakak." Ucapnya.
"Periksa lagi!" Tegasnya dan berlalu keluar dari ruangannya.
Azel menjadi heran. Mau tidak mau ia akan memeriksanya tapi tidak sekarang. Ia akan memeriksanya di ruangan miliknya di toko roti saja.
Karena kalau ia berangkat kesiangan pasti kondisi jalan sudah macet dengan orang-orang yang pastinya juga sedang berangkat bekerja.
Bersambung.
Hai,hai! 👋
Terima kasih yang sudah baca karya ku💛
Semoga kalian terhibur dan tetap bahagia yaa💜
Jaga kesehatan dan terus semangat oke!💞
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 👍
See u on the next episode 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Heirs of Arthajaya
Romance"Kak Hansel saja yang jadi pewaris Arthajaya. Kakak pilihan tepat dari segala faktor." - Argen Arsetya Arthajaya "Kak Hansel jadi pewaris tunggal saja. Aku skip, kapan-kapan saja lagi mau jadi tukang roti." - Arazella Ansalma Arthajaya "Sorry, tidak...