Azel menjadi gugup dan takut dengan tatapan mata kakaknya yang seakan menandakan tidak setuju.
"Iya, kak. Aku ingin resign. Boleh kan, kak?"
"Tunggu daddy pulang, mintalah resign langsung kepadanya."
"Aku tidak tahu kapan daddy pulang, kak."
"Tunggu saja."
Azel menghela nafasnya. "Tidak bisa, kak. Pasti daddy masih lama pulangnya. Aku mau sekarang." Tegasnya.
"Kamu ingat alasan daddy memasukkan kamu ke dalam perusahaan?"
"Agar bisa mandiri, tidak manja dan tidak ketergantungan pada orang tua."
Hansel mengangkat selembar kertas di tangannya seraya mengangkat alisnya.
"Aku sudah bisa cari uang sendiri tanpa bekerja di perusahaan."
"Benar ingin resign?"
"Iya, kak. Aku ingin resign."
"Resign, berarti kamu melepaskan semua jabatan kamu saat ini di grup Arthajaya."
"Aku paham, kak. Lagipula aku hanya karyawan biasa. Jadi, seharusnya tidak penting juga posisi ku dan tidak akan bermasalah untuk kedepannya."
Hansel mengangguk. "Silahkan." Hansel menatap pintu ruangannya.
"Terima kasih, kak." Azel segera keluar dari ruangan. Ia mulai bisa menghirup udara segar kembali setelah berurusan dengan kakaknya.
"Akhirnya, aku bebas!" Azel tersenyum bangga dengan wajah ceria tanpa beban. "Tidak apa-apa aku kehilangan gaji dua digit ku. Sekarang aku menjadi pemilik usaha toko roti."
Azel dengan semangatnya berjalan keluar perusahaan dan mengendarai mobilnya menuju tempat mencari uangnya saat ini.
Sesampainya di sana. Situasi sangat ramai pembeli. Padahal baru empat hari resmi dibuka. Karena Azel sebelumnya berada di bagian pemasaran perusahaan. Ia pun memanfaatkan sedikit ilmu memasarkan produk yang dimilikinya untuk mendatangkan pelanggan toko rotinya.
Bahkan, roti-roti yang stok mulanya masih banyak. Sekarang tinggal sedikit. Mungkin orang yang masih antre tidak akan mendapatkan pilihan roti lagi.
"Kak Azel." Ezra berlari dari dalam toko roti menghampiri Azel di parkiran mobil.
Azel memeluk Ezra. "Bagaimana di dalam? Pasti ramai banget ya?"
"Iya kak, sampai harus dibatasi yang masuk ke dalam. Karena ada yang bertengkar di antrean kasir."
"Iya kah? Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Katanya terlalu lama. Jadinya, main dulu-duluan."
Azel tersenyum. "Tapi, sekarang sudah aman, kan?"
"Aman, kak." Ezra memberikan ibu jarinya.
"Ya sudah, kita masuk yuk!"
"Yuk, kak!"
Azel dan Ezra pun masuk ke dalam untuk memantau penjualan roti mereka. Benar saja tidak lama semua roti habis terjual dan toko bisa tutup lebih awal.
"Nona, sepertinya kalau toko roti ini memiliki chef yang siap restock roti ketika habis pasti pendapatan toko roti ini bisa melebihi target." Ucap salah satu pegawai toko.
"Perkataan mu itu benar, hanya saja ibu chef kepercayaan kita ini belum mau memberikan resepnya kepada orang lain." Azel sengaja menggoda ibunya Ezra yang belum yakin untuk berbagi resep.
"Ibu, ayo kita punya chef. Kalau kita punya chef pasti kita keren." Ucap Ezra yang juga mendukung perkembangan toko roti ini.
Ibunya Ezra mendukung. "Baiklah, baiklah. Nak, Azel. Ibu bersedia memberikan resepnya jika kamu mau merekrut chef."
"Nah, begitu dong. Hihi…, jadinya kita bisa jual roti lebih banyak. Terima kasih ya bu Ira." Azel memeluk ibunya Ezra.
Azel pun mulai mencari chef yang handal dalam membuat roti dan bisa diajak bekerja sama dengan baik. Tentunya Azel meminta bantuan relasinya untuk mendapatkan chef yang terbaik.
Bersambung.
Hai,hai! 👋
Terima kasih yang sudah baca karya ku💛
Semoga kalian terhibur dan tetap bahagia yaa💜
Jaga kesehatan dan terus semangat oke!💞
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 👍
See u on the next episode 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Heirs of Arthajaya
Roman d'amour"Kak Hansel saja yang jadi pewaris Arthajaya. Kakak pilihan tepat dari segala faktor." - Argen Arsetya Arthajaya "Kak Hansel jadi pewaris tunggal saja. Aku skip, kapan-kapan saja lagi mau jadi tukang roti." - Arazella Ansalma Arthajaya "Sorry, tidak...