Azel dengan debaran jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya menjadi takut. Banyak pikiran negatif yang bermunculan di benaknya sekarang. Bagaimana kalau Allen marah? Diusir? Atau Allen akan merasa dikejar-kejar sama Azel sampai akhirnya merasa ilfeel dan tidak mau bertemu lagi. Azel tidak mau nantinya akan seperti itu.
"Sana masuklah. Jangan lupa mengetuk pintu dulu sebelum masuk. Hati-hati dia marah." Hardan memberikan ibu jarinya.
"Kamu tidak ikut menemaniku ke dalam?"
"Tidak. Untuk apa jadi nyamuk di dalam?"
"Hah?"
"Semangat!" Ucapnya lagi seraya melenggang pergi meninggalkan Azel di depan pintu ruang kerja Allen.
Azel menelan salivanya sulit. Melihat Hardan yang pergi meninggalkannya membuat nyalinya ciut seketika.
Namun, dia harus ingat kesempatan tidak datang dua kali. Tapi, kesempatan datang pada siapa yang mau berusaha. Sekarang Azel sedang berusaha. Jadi, tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu kali ini Azel bisa mendapatkan nomor telepon pujaan hatinya.
Azel memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tidak lama pintu terbuka. Ia melihat seorang pria dengan pakaian santainya dan rambutnya yang tidak tertata rapi. Azel menelan salivanya menatap kagum pria di hadapannya.
Apa aku bisa menjadi istri dari pria tampan hasil ciptaan mu ini, tuhan? Batinnya.
"Ehm…"
Azel tersadar ketika Allen berdehem tepat di hadapannya.
"Eh? Hm…, maaf. Kakak sibuk, tidak?" Tanya Azel menatap Allen ragu-ragu. Karena tatapan tajam yang ia dapatkan.
"Ada apa?"
Azel mengintip sedikit di balik tubuh kekar dan dada bidang Allen ke dalam ruangan. Apakah bisa bicara di dalam atau tidak? Begitu pikirnya.
"Ada yang mau aku bicarakan, kak. Boleh sebentar…, saja?" Pintanya memohon.
"Mengenai?" Allen menaikkan alisnya.
Mampus. Batinnya.
"Hm…, ini tentang Kak Hansel meminta ku untuk…, untuk…" Azel bingung ingin menjawab apa. Allen menunggu jawaban Azel dengan mengerutkan keningnya. "Untuk membicarakan tentang kerja sama perusahaan, kak." Timpalnya cepat.
"Mengenai kerja sama, biar langsung dengan yang bersangkutan saja."
"Tapi, ada hal urgent kata Kak Hansel."
Azel mengernyitkan dahinya. "Bukankah kamu sudah resign?"
Azel langsung terdiam. Dari mana Allen mengetahui dirinya telah resign dari perusahaan. Sedekat apa Hansel dengan Allen sampai dapat bercerita sebegitu panjangnya.
Ia pun mencoba mengingat. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Atau jangan-jangan dia sendiri lah yang sudah memberitahu Allen tanpa sengaja pada beberapa waktu lalu. Tetapi, seingatnya tidak pernah.
"I-iya aku memang sudah resign. Tapi, Kak Hansel meminta tolong kepada ku."
Azel melihat mata Allen yang sepertinya tampak berpikir.
"Masuk." Allen masuk lebih dulu membelakangi Azel.
Azel menganga tidak percaya. Akhirnya, setelah sekian lama berbicara tanpa ujungnya di depan pintu diperbolehkan untuk masuk juga.
Usahaku tidak sia-sia. Terima kasih ya tuhan. Langkah pertama sudah selesai. Batinnya.
Azel melihat seisi ruangan kerja Allen yang suasana warnanya sangat netral. Hanya putih dan hitam saja. Beberapa ornamen berwarna coklat. Terkesan klasik.
Namun, disaat sedang asyik melihat-lihat. Ia tidak sengaja menatap netra Allen. Dimana Allen berjalan mendekat ke arahnya. Dengan tatapan yang tajam ia berjalan semakin dekat.
Reflek Azel berjalan mundur hingga membentur meja yang ada di belakangnya. Sedangkan, Allen masih saja berjalan ke arahnya. Mengikis jarak diantara mereka.
Bersambung.
Hai,hai! 👋
Terima kasih yang sudah baca karya ku💛
Semoga kalian terhibur dan tetap bahagia yaa💜
Jaga kesehatan dan terus semangat oke!💞
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 👍
See u on the next episode 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Heirs of Arthajaya
Romance"Kak Hansel saja yang jadi pewaris Arthajaya. Kakak pilihan tepat dari segala faktor." - Argen Arsetya Arthajaya "Kak Hansel jadi pewaris tunggal saja. Aku skip, kapan-kapan saja lagi mau jadi tukang roti." - Arazella Ansalma Arthajaya "Sorry, tidak...