Selama beberapa hari ini kondisi Ryann semakin parah. Berat badannya menurun dan tubuhnya terasa lebih lemas. Wajahnya juga terlihat pucat.Sudah empat hari belum ada kabar dari dr. Fandy akan hasil dari Biopsi yang telah dilakukan beberapa hari lalu.
Argen yang sedang berada di rumah karena tidak ada aktivitas apapun. Ia menemani sang ibu yang sedang memasak untuk makan siang.
"Mommy ingin masak apa? Aku mau ikut bantu." Pinta Argen.
"Tidak perlu, sayang. Kamu temani daddy saja di luar sana."
"Tidak mau." Tolak Argen langsung. "Mom." Panggilnya.
"Iya?" Anna menoleh sekilas sembari tetap mengaduk sup di dalam panci.
"Boleh aku tanya sesuatu."
"Tanyakan saja. Kamu mau nanya apa?"
"Daddy sebenarnya sedang sakit ya? Boleh aku tahu daddy sakit apa?"
Anna yang sedang memotong sayuran menjadi terhenti dengan pertanyaan Argen. Ia menatap Argen lekat.
"Kamu belum tahu ya?"
Argen menggelengkan kepalanya.
Anna menghela nafasnya berat. "Daddy didiagnosis mengidap Hepatoma."
"Hepatoma?"
"Huh…, ya tuhan. Argen, tanyakan saja perihal penyakit daddy mu kepada Hansel atau Azel. Mereka sudah tahu lebih dulu darimu." Jelas Anna.
"Kenapa tidak ada yang beritahu aku sebelumnya?" Argen mengerutkan keningnya.
"Mommy berat menjelaskannya. mommy mau masak untuk makan siang Daddy mu dulu ya." Jelas Anna dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah, mom. Maaf." Anna tersenyum dan menepuk bahu Argen pelan.
Argen pun meninggalkan Anna di dapur. Argen melewati area halaman belakang yang dimana ada sang ayah yang sedang duduk di kursi sambil menatap kolam renang dan taman di halaman belakang sana.
Ia ingin menemui sang ayah. Namun, ia ragu. Akhirnya, Argen hanya lewat saja menuju tangga untuk naik ke lantai atas.
☘️🌹☘️
Di ruang kerja. Setelah makan malam selesai mereka bertiga berkumpul. Argen yang memintanya. Mereka sudah duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.
Belum ada yang berbicara. Karena mereka masih menunggu seseorang yang memang sudah seharusnya untuk tahu mengenai hal ini.
Tidak lama pintu terbuka. Orang itu masuk dan langsung duduk di sebelah Hansel. Sebagai kakak kedua tentu ia harus bekerja sama menjadi tegas dan berwibawa di depan kedua adiknya yang tengah duduk di sofa tepat di hadapannya sekarang.
"Kak Hansel dan kau, Azel. Kalian berhutang penjelasan kepada kami. Sekarang waktunya kalian menjelaskan semuanya." Ungkap Argen.
"Semuanya? Harus banget semuanya? Kenapa tidak, pada intinya saja?" Balas Azel yang sebenarnya merasa malas untuk menjelaskan panjang kali lebar.
"Seperti itu jawaban yang kamu berikan pada kakak kamu sendiri?" Timpal Helena dengan tatapan tajamnya.
Sungguh mengintimidasi dengan kakak keduanya berada di antara mereka saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Yang penting saat ini tidak hanya dirinya saja yang tahu. Melainkan ada kakak pertama yang tahu.
"Bukan begitu, kak. Tapi, kalau dijelaskan itu panjang banget."
"Salah siapa tidak memberitahu kami sejak awal?" Tegas Helena lagi.
Azel diam saja. Dia menatap Hansel untuk meminta bantuan untuk ikut menjelaskan juga. Karena sedari tadi kakak pertamanya itu hanya duduk manis dan diam saja. Menyimak dengan santai.
"Azel, kenapa kamu diam saja?" Tanya Argen yang masih menunggu penjelasan.
"Sampai kapan kalian ingin berdebat?" Suara tegas dan berat kakak pertama pun keluar.
Mereka bertiga langsung diam. Menunduk tidak ingin saling menatap.
Bersambung.
Hai,hai! 👋
Terima kasih yang sudah baca karya ku💛
Semoga kalian terhibur dan tetap bahagia yaa💜
Jaga kesehatan dan terus semangat oke!💞
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 👍
See u on the next episode 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Heirs of Arthajaya
Romance"Kak Hansel saja yang jadi pewaris Arthajaya. Kakak pilihan tepat dari segala faktor." - Argen Arsetya Arthajaya "Kak Hansel jadi pewaris tunggal saja. Aku skip, kapan-kapan saja lagi mau jadi tukang roti." - Arazella Ansalma Arthajaya "Sorry, tidak...