03

553 76 7
                                    

"Sebin-ah, makan siang hari ini apa?"

Karena mereka tak membawa bekal, jadi hari ini harus makan siang cafetaria kantor lagi. Sebin terlihat menanyakan pada teman di sebelahnya karena tampaknya tak tahu juga.

"Bulgogi."

Jaehan mengangguk senang, tapi setelahnya bertanya-tanya, "Tidakkah kalian merasa bahwa tiga hari ini makanan kantor kita sangat enak dan penuh dengan daging?"

Sudah begitu dagingnya jelas yang berkualitas tinggi.

Banyak yang mengangguk, Sebin pun menyetujui. Dalam seminggu biasanya mereka hanya akan membawa bekal dua kali, selebihnya makan di cafetaria atau memesan dari luar.

Sosis dan telur mata sapi, paling-paling ayam atau daging babi, itu adalah andalan kantin mereka. Akan tetapi, beberapa hari ini selalu daging sapi yang enak sekali.

"Mungkin karena ada tuan muda di sini," celetuk salah satu dari mereka.

Sebin dan Jaehan saling menatap satu sama lain, dan Jaehan yang pertama menegaskannya, "Yechan?"

"Mm."

"Apa dia sangat menyukai daging?" Sebin ikut penasaran.

"Mana kutahu. Tapi, melihat menu, seharusnya begitu. Lagipula katanya dia sangat di manja di keluarga, jadi makanan yang terbaik juga yang harus disajikan untuknya."

Masuk akal. Yechan terlihat sangat sehat. Sudah pasti segalanya terjamin.

"Banyak yang mulai membicarakan dia."

"Membicarakan apa?" Sebin yang selalu up to date merasa belum mendengar apapun.

Jaehan sendiri memilih untuk menyimak.

"Bukankah di sini dia magang? Itu artinya dia juga karyawan biasa sama seperti kita."

Sebin tampaknya tak setuju, "Eh hey ... jangan begitu. Gara-gara ada dia kita makan enak terus sekarang. Bukankah kalian berlebihan jika sampai membicarakannya di belakang?"

Jaehan hampir ingin ikut membuka mulut sampai matanya menangkap ke arah pintu kaca. Di baliknya ada Yechan yang membawa banyak kertas-kertas yang ia tak tahu apa isinya, tapi tampaknya kesusahan. Jika dipaksa membuka pintu dengan tangan satu, ia yakin semua kertas akan jatuh dan menyebabkan masalah.

Jadi, mengabaikan Sebin yang masih berdebat dengan teman-temannya, Jaehan berdiri. Dengan kecepatan cahaya ia langsung menuju ke arah Yechan untuk membantu.

"Mau ke mana, Jaehanie?" teriak Sebin.

Jaehan hanya mengangkat tangannya, tanda Sebin harus menunggu terlebih dahulu.

"Sebentar, Yechan-ah. Biar aku yang membuka pintunya." Sebenarnya suaranya pasti tak akan terdengar dari luar, tapi semoga Yechan mengerti apa maksudnya.

Benar saja, di luar Yechan tersenyum padanya, dan lagi-lagi eye smile-nya membuat Jaehan salah tingkah. Dengan kikuk ia membuka pintu lalu kembali menutup begitu Yechan masuk.

"Terima kasih, hyung."

Jaehan mengangguk, dengan sigap mengambil setengah dari tumpukan kertas yang Yechan bawa, "Sini aku bantu. Ngomong-ngomong, di mana Hyuk. Bukannya kalian biasanya berdua?"

Yang Hyuk, anak magang yang sama menonjolnya seperti Yechan. Selain tinggi, keduanya juga sangat tampan.  Sungguh sebuah ketidak adilan.

"Mm. Tadi aku bersamanya, tapi dia malah sakit perut. Aku takut dia lama di sana, jadi aku memilih untuk tidak menunggunya. Mengingat ini harus segera dikerjakan karena lumayan penting."

Mendengar itu Jaehan merasa Yechan tidak terlalu menunjukkan bahwa ia anak yang penuh perlakuan istimewa. Tampak bertanggung jawab juga. Atau memang hanya karakternya yang begitu? Jaehan belum tahu. Mereka baru sebentar saling mengenal. Itu pun tak terlalu dekat, karena terkadang ia bingung juga bagaimana cara mendekati Yechan. Mengobrol santai seperti membicarakan kehidupan di luar kantor, Jaehan mendambakannya.

Walau sebenarnya, tingkahnya sekarang ini sudah jauh dari kata 'biasa' di mata Sebin, mungkin juga teman-temannya yang lain.

Ia sedikit tidak fokus sampai suara Yechan terdengar memanggil, "Jaehan hyung, maaf ... ini aku ambil ya. Terima kasih sudah membantuku."

Sambil mengambil tumpukan kertas dari tangan Jaehan, Yechan menaruhnya di meja. Namun, melihat Jaehan yang belum beranjak pemuda itu kembali bertanya, "Hyung, ada apa?"

"Uhm, Yechan-ah ... jika ada waktu, maukah kau makan siang bersama kami nanti."

"Kami?"

Jaehan menunjuk tempat di mana ia dan Sebin duduk. Yang ditunjuk melambaikan tangannya, membuat Jaehan memutar mata, Sebin jelas berhutang padanya. Padahal seharusnya ini menjadi kompetisi. Sayangnya, Jaehan merasa gugup jika harus bersama Yechan sendiri.

Yechan yang melihat Sebin pun terdiam sejenak.

"Tapi, kalau kau tidak mau, tidak apa-apa, Yechan-ah."

"Tentu." jawab Yechan setelah cukup lama Jaehan menunggu, "Tapi, aku mengajak Hyuk ya."

Jaehan tak keberatan. Dengan senyum ceria, bahkan sampai menunjukkan gigi gingsulnya, ia mengangguk secepatnya. Tak ayal, tingkah spontannya itu mengundang tawa kecil dari pria yang lebih muda.

"Imut."

Jaehan yang samar mendengar kembali berdebar.

"N-ne?"

"Kau sangat imut, hyung."


Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang