83

238 35 3
                                    

"Yechan benar-benar pendiam dan tertutup."

Ucapan ibu Jaehan yang ini, Jaehan tak bisa untuk tidak menyetujui.

Di matanya, Yechan seperti gunung es. Ia hanya bisa melihat sebagian kecil saja, namun kedalaman yang tak tahu di mana ujungnya itu, Jaehan tak sepenuhnya tahu.

"Kupikir dia akan mengatakannya padamu. Tapi, sepertinya dia memendam kemarahan pada kami seorang diri."

Jaehan benar-benar tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh ibu Yechan sekarang ini.

"Jaehanie, maaf karena tanpa persetujuan, kami mencari tahu latar belakangmu."

Mungkinkah ini?

Ini yang dimaksud dari semua pembicaraan yang membingungkan sejak tadi?

Ini yang membuat Yechan tak mengatakan apa-apa padanya? Karena orang tuanya diam-diam melihat latar belakangnya?

Informasi ini, tentu membuat Jaehan terdiam untuk sesaat. Rasa khawatir tiba-tiba muncul, gelisah datang tanpa bisa ia cegah.

"Eomma ..."

"Maafkan kami, Jaehanie. Aku dan appa kalian hanya ingin tahu seperti apa laki-laki yang Yechan cintai. Kau tahu kan hanya tinggal dia satu-satunya yang kami miliki ..."

Tak hanya resah, tapi sesak juga hampir tersedak.

Apa itu berarti mereka juga tahu soal keterlibatannya atas kematian Kevin?

"Sekali lagi, eomma dan atas nama appa kalian, ingin meminta maaf. Tindakan ini salah, dan melihat Yechan yang terus menerus marah, membuat kami berpikir bahwa sudah saatnya untuk melepas keegoisan. Kami menerimamu, Jaehanie ..."

"Eomma ..."

"Appa-mu mungkin sedikit sulit, tapi aku yakin kekerasan hatinya akan mencair saat melihat kalian berdua bahagia. Kami sudah tua, tak ada yang kami inginkan selain melihat anak-anak senang dalam hidup mereka."

Wanita itu tersenyum, lembut. Tanpa sadar membuat Jaehan mengangguk. Ia bahkan tak tahu harus bagaimana menanggapinya.

"Tapi, Eomma ... soal hyungnya Yechan-"

"Kami tahu, tapi kita tidak perlu membahas itu. Kami yakin Kevin sudah bahagia di tempatnya. Kami juga tak ingin membuka luka lama. Begitu pula dirimu, Jaehanie."

Masih ada yang mengganjal, tapi jika ibunya sendiri berkata begitu ...

"Maafkan aku ..."

Ibu Yechan tertawa kecil. Jaehan mendongak, penasaran mengapa wanita yang sudah melahirkan kekasihnya ini malah tertawa.

"Kenapa kita malah saling minta maaf begini, ya? Jaehanie, ayo lupakan saja semuanya. Bisakah?"

Lagi-lagi seperti terhipnotis, Jaehan mengangguk atas permintaan itu.

"Ngomong-ngomong, apa kau sungguh baik-baik saja dengan sifat Yechan?"

Sifat Yechan?

Yang tak sabaran atau yang suka melakukan segalanya sendirian?

Yechan yang mengerikan saat marah, atau Yechan yang begitu posesif dan cemburuan?

Rasanya semua sudah Jaehan maklumkan. Ia tak lagi keberatan.

Entah mengapa Jaehan tahu mengapa Yechan selalu melakukannya. Pria itu hanya tidak ingin dia terluka. Karena itu Yechan memilih dirinya sendiri untuk menanggung segalanya.

Katakan ini hanya asumsinya, tapi Jaehan ingin percaya.

Percaya bahwa apapun yang Yechan lakukan, itu adalah karena pria itu yang begitu mencintainya.

"Aku ... tidak pernah keberatan. Aku baik-baik saja. Yechan bahagia, itu sudah cukup untukku menerima segala kelebihan dan kekurangannya."

Jaehan benar-benar tulus saat mengatakan ini. Meski sempat kesal, tapi sungguh ... yang ia inginkan hanya bersama Yechan.

"Jaehanie, kau sungguh menyukai anakku, ya? Kau sungguh yakin bisa membuatnya bahagia? Tak ada keraguan di hatimu padanya?"

Jaehan mengangguk. "Aku mencintainya, eomma."

Bahkan sejak Yechan pertama melangkahkan kaki di kantor mereka, saat mata mereka bertemu pandang untuk pertama kalinya, Jaehan sudah jatuh cinta ...

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang