70

254 39 4
                                    

Jaehan diantar pulang.

Yechan biasanya selalu diam dan lebih menjadi pendengar untuknya yang tak bisa diam. Tapi, malam ini cukup banyak yang Yechan tanyakan.

Padahal sebelumnya ia sempat mengira Yechan akan marah karena penolakan yang ia layangkan untuk kesekian kalinya.

"Yechanie, benarkah orang tuamu tidak masalah dengan hubungan kita? Mereka terlihat baik, tapi aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku tahu ... aku tak sebaik itu untuk berdiri di sisimu."

Yechan tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Namun, setelahnya Jaehan bisa melihat sesungging senyum yang selain menyenangkan, itu juga menenangkan.

"Jika aku berkata mereka setuju, maka itu yang sesungguhnya terjadi, hyung. Jangan khawatir, bagaimana pun aku satu-satunya anak mereka. Mau menolak pun, bukankah kebahagiaanku seharusnya lebih penting dari semuanya?"

Akan tetapi, semakin banyak penjelasan, itu terdengar semakin meragukan. Apa lagi Yechan yang berbicara. Pria itu biasanya berkata tegas, jika iya akan menjadi iya, begitupun sebaliknya. Yechan jarang menjelaskan apapun pada siapapun. Tapi, kali ini berbeda. Karena itu lah Jaehan meragukannya.

"Yechanie, terima kasih, ya ... jika aku sudah siap, aku juga pasti akan membawamu masuk ke rumahku."

Yechan mengangguk, "Aku akan menunggu."

Setelah berpamitan dan berciuman meski hanya sebentar, Jaehan pun melangkah masuk ke dalam rumah.

Itu masih sore, jadi keluarganya lengkap ada di rumah.

Nuna-nya seperti biasa, jika hari libur dia akan seharian berada di dalam kamar, atau jika pergi bisa tak pulang hingga malam hari. 

Karena Jaehan masih mendengar suara yang berasal dari kamar bernuansa pink dan biru itu, berarti kakaknya ada di dalam situ.

Sementara ayah dan ibunya mungkin ada di teras belakang. Jaehan melangkah, berniat untuk menghampiri jika memang ada.

Benar saja, keduanya tengah mengobrol walaupun sang ayah ada di kebun kecilnya sementara sang ibu hanya duduk sembari menunggu.

Entah apa yang mereka bicarakan, Jaehan juga ingin tahu. Sayangnya, dia tak terbiasa menguping sesuatu jika dirasa tak perlu.

Walau apa yang sudah terjadi pada sang nuna, nyatanya Jaehan masih berusaha mempercayai orang tuanya.

Jaehan memeluk ibunya dari belakang, "Eomma, na wasseo ..."

Ibunya bukan tipe wanita hangat yang sering tersenyum dan senang menyambut, jadi Jaehan sudah terbiasa jika anggukan atau senyum kecil saja yang diberikan padanya. Bahkan sebuah usapan sudah merupakan kebahagiaan.

Jaehan tersenyum, lalu mengambil tempat duduk tepat di samping ibunya yang menyodorkan gelas berisi minuman berwarna.

Tentu si bungsu itu langsung berterima kasih dan menyunggingkan senyum lucu.

Sayangnya, tingkah lucunya itu tak pernah berhasil di depan ayahnya yang sudah beraut tak menyenangkan sejak mendengar suaranya.

"Dari mana saja? Bermain semalaman, tak ingat rumah."

Itu adalah ayahnya yang bertanya. Tangannya yang tadi penuh lumpur kini sudah dibasuh. Sudah bersih dan mereka bertiga akhirnya bisa duduk bersama.

Jaehan bukannya jarang mendapat momen seperti ini, hanya saja sejak ia bekerja, memang cukup sulit untuk meluangkan waktu.

"Aku menghadiri acara teman. Bukankah aku sudah mengatakannya kemarin? Ah, appa ... aku melihat Hangyeom juga di sana."

Tadinya Jaehan bisa melihat raut penuh selidik dari ibunya, namun ia teringat dengan Hangyeom. Yakin jika menyebut namanya, ia tak akan dimarahi atau banyak ditanyai. Namun, tidak. Kedua orang tuanya malah terkesan tak peduli.

"Jangan terlalu sering pergi tanpa tahu waktu seperti ini, Jaehanie. Kau semakin membangkang saja eomma lihat."

"Aku tidak membangkang, aku hanya ingin bersenang-senang bersama teman-teman. Memangnya salah?"

Jaehan mulai berani. Tak biasanya dia seperti ini.

"Teman apanya? Kau pacaran dengan seorang pria, 'kan? Sejak kapan kau berubah menjadi tak bermoral seperti ini, Kim Jaehan?!"

"Appa!"

Namun, kerasnya suara tak dibalas dengan kalimat sebagai balasan, melainkan suara tamparan yang terdengar menyakitkan.

Jaehan menyentuh pipinya, itu sakit. Namun, mengapa justru hatinya yang merasakan lara?

Ini pertama kalinya tangan sang ayah menyentuhnya dengan cara yang tak ia sangka.

Bahkan meski mereka tak terlalu perhatian dan selalu arogan, mereka tetap menunjukkan cinta pada Jaehan.

"Eomma ..."

Berusaha mencari dukungan, tapi ibunya hanya diam saja. Seolah itu bukan apa-apa, seakan tamparan memang pantas untuk ia dapatkan.

"Appa dan eomma selama ini diam saja bukan berarti membiarkanmu bebas. Apa ini hasil dari pengaruh Sebin padamu? Kau jadi menyukai laki-laki, bahkan selalu menginap, dan tak tahu kapan waktu untuk kembali."

"Appa, jangan membawa-bawa Sebin!"

Namun, setiap kata yang dijawab olehnya, saat itu juga tamparan, bahkan juga pukulan yang menjadi balasan.

Jika itu dulu, mungkin Jaehan akan menangis dan langsung meminta maaf tak peduli apakah dia salah atau tidak. Tapi, kali ini ia tidak bisa. Ia tidak mau jika Sebin ikut disalahkan atas setiap hal yang dilakukannya. Seolah ia adalah tanggung jawab Sebin juga. Padahal mereka memiliki jalan yang berbeda. Sebin tak pantas mendapatkan semua kata penuh benci dari orang tuanya.

"Kau masih akan membangkang, Jaehanie? Keras kepala seperti ini?"

Jaehan memejamkan mata, mencoba melembutkan suara, "Appa, apa aku salah jika mencintainya? Aku ..." Jaehan menunduk, "Aku tak bisa meninggalkannya."

"Tidak ada negosiasi, putuskan hubungan kalian malam ini."

Jelas, ayahnya tak mendengarkan apapun yang ia katakan.

"Appa, aku ingin bersamanya. Tidakkah kalian bahagia jika aku bahagia?"

 Tidakkah kalian bahagia jika aku bahagia?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang