19

465 59 16
                                    

Kenapa Yechan bisa tahu rumah Jaehan tanpa bertanya?

Mengapa Yechan bekerja di tempat Jaehan berada?

Mengapa dari dua dia memilih Jaehan sebagai orang yang didekatinya?

Selain ia yang memang tertarik setelah beberapa saat mengenalnya, Yechan juga ingin tahu seperti apa pria yang begitu disukai kakaknya hingga rela mengakhiri hidupnya yang berharga.

Karena Jaehan, ia kehilangan satu-satunya keluarga yang dekat dengannya. Karena Jaehan, ia tak lagi memiliki sosok kakak dalam hidupnya.

Semua hal  berjalan sesuai rencananya, kecuali satu ... Jaehan yang juga menyukainya.

**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**














Saat pertama membuka mata, Jaehan tahu itu sudah pagi.

Jendela masih tertutup, namun sinar matahari sudah mengintip dari celah jendela yang sedikit terbuka.

Membuka dan menutup matanya berulang kali, barulah Jaehan terbiasa dengan penglihatannya.

Kamar ini jelas bukan miliknya. Kamar yang begitu gelap karena semua tertutup kecuali celah kecil yang ia maksud tadi.

Jaehan kembali menutup matanya, ia tentu ingat dengan jelas sekali apa yang sudah terjadi.

Bagaimana tak ingat? Sepertinya seumur hidup pun ia rasa akan mustahil untuk melupakannya.

Setiap detiknya, setiap menitnya ... Jaehan bisa mengingat semua.

"Hyung sudah bangun?" Suara berat itu akhirnya menyapa juga.

Jaehan sebenarnya berharap pria di belakangnya ini tak bersuara atau bahkan mengajaknya bicara.

Jika bisa ia ingin pergi dari sini tanpa diketahui.

Seingatnya ia menikmati segalanya malam tadi, tapi kenapa sekarang ia merasa malu sekali?

"Mm."

Bolehkah ia mengatakan itu keberuntungan karena saat bangun mereka tak saling berhadapan?

Jaehan jelas tak bisa mengkondisikan ekspresi dengan situasi canggung begini. Setidaknya dari sisi dirinya. Ia tak tahu bagaimana dengan Yechan, tapi tampaknya pria itu cukup tenang dan terkendali.

"Sekarang jam berapa, Yechan-ah?"

Jujur, Jaehan tak tahu ada atau tidak jam dinding di kamar ini. Semalam ia tak memperhatikan apapun kecuali Yechan.

"Sebelas."

Jaehan hampir tersedak ludahnya sendiri. Kenapa ia bangun siang sekali?

"Hyung, kau mau sarapan atau mau mandi dulu?"

Jaehan hanya ingin pulang. Bolehkah ia mengatakan?

"Kurasa aku ingin seperti ini dulu sebentar, Yechan-ah." Tentu saja, mulut dan logikanya tak pernah bisa bekerja sama.

"Hmm, begitu? Baiklah ..."

Jaehah menghela karena ia pikir Yechan akan membiarkannya sendiri lalu pergi dengan urusannya sendiri. Mungkin mandi atau apapun yang ia katakan tadi. Nyatanya, tangan lancang itu malah semakin erat melingkar di atas perutnya.

"K-kau tak mau mandi dulu, Yechan-ah?"

Jaehan bisa mendengar suara kekehan pelan, seolah Yechan tahu apa yang saat ini ia resahkan. "Nanti saja. Atau ... hyung mau mandi bersama? Kurasa itu bisa menghemat waktu kita berdua."

"Eh, uhm ... tidak, tidak ... aku akan mandi sendiri nanti."

"Hyung yakin? Kurasa hyung akan sedikit kesulitan. Tapi, jika memang hyung mau sendiri, aku tidak akan memaksa."

Jaehan tidak tahu apa maksud Yechan, tapi ia mengangguk saja. Mereka tak bersuara, Jaehan bahkan hampir tertidur jika Yechan tak memanggilnya.

"Hyung?"

"Ya, Yechan-ah ..."

Lama sekali Jaehan menunggu Yechan mengatakan apapun yang pria itu maksudkan saat memanggilnya.

"Ada apa, Yechan-ah?" tanya Jaehan mulai tak sabar.

Namun, bukannya jawaban, Jaehan justru merasakan pelukan. Ia rasakan bibir pria itu menempel di pundaknya.

Ia tak bisa bergerak, hanya jantungnya yang dengan cepat berdetak.

"Y-Yechan-ah?"

"Biarkan seperti ini dulu. Aku akan mengatakannya nanti, saat aku sudah menyiapkan diri."

"Apa maksudmu?"

Seperti biasa, tak ada satupun penjelasan yang Jaehan dapatkan meski ia sudah bertanya.

Ia pun tak bisa memaksa.

Satu jam lamanya mereka hanya seperti itu. Terkadang saling memanggil, terkadang membicarakan Sebin, namun lebih sering diam dan hanya genggaman tangan atau sedikit sentuhan yang mereka lakukan.

Satu-satunya yang memisahkan mereka hanya ssat ponsel Jaehan bergetar di atas nakas.

"Sebentar, Yechan-ah ..." Jaehan dengan lembut menyingkirkan lengan Yechan dan mengambil ponselnya. Namun, saat itu juga ia baru merasakan sakit yang tertahankan. "Aargh!"

"Sudah kukatakan, hyung tidak akan bisa mandi sendirian."

Jaehan menoleh untuk menatap Yechan, dan bocah tengik itu malah menunjukkan cengiran sebelum membantunya mengambilkan ponsel yang masih terus berdering di atas meja.

"Apa hyung juga ingin aku yang mengangkat ini?"

Jaehan yang melihat nama Nuna di layar langsung merebut ponselnya dari tangan Yechan. Dengan panik segera mengangkat dan menjawabnya.

Suara minta maaf adalah yang berulang kali Yechan dengar setelahnya dan seperti biasa, ia hanya terkekeh melihatnya.

Walau pada akhirnya, senyum itu menghilang juga saat ia teringat dengan kakaknya.

Jika saja masih ada, mungkin Yechan juga bisa meributkan hal yang tak berguna seperti yang Jaehan lakukan sekarang dengan kakaknya.

Tapi, ia tahu betapa tak berguna saat ia melontarkan kata 'seandainya'.

Karena yang sudah pergi, tak akan bisa kembali lagi.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang