52

272 38 8
                                    


Jaehan tak mengerti, mengapa waktu cepat sekali berjalan akhir-akhir ini.

Seingatnya, mereka baru saja membicarakan soal pesta atau apapun itu kemarin, tapi nyatanya sudah dua minggu berlalu sejak malam itu.

Selama waktu itu ia begitu menikmati hari-hari yang ia lalui hingga lupa diri. Semua tampak baik-baik saja, seolah tak ada masalah dalam hidupnya.

Jaehan lupa jika ketenangan tak akan pernah bertahan lama, bisa saja itu adalah awal dari badai yang sesungguhnya.

*

*

*


"Yechanie, kau yakin bisa pulang dalam keadaan begini?"

Jaehan masih duduk di dalam mobil, memandang ke arah Yechan yang mengangguk sambil tersenyum.

"Tenang saja, hyung."

Jaehan menghela, berat rasanya. Tapi, mau bagaimana lagi, di sini memang selalu menjadi tradisi saat atasan meminta mereka untuk makan atau minum bersama sepulang kerja. Bahkan Yechan pun tak bisa menolaknya.

Yang patut Jaehan syukuri adalah sajangnim-nya yang jarang ikut, karena jujur saja ia belum siap untuk bertemu dengan ibu Yechan selain statusnya sebagai karyawan.

Bagaimana jika tiba-tiba Yechan bertingkah? Menjadi kekasihnya beberapa bulan ini membuat Jaehan memahami jika Yechan tak bisa ditebak sama sekali.

Apa yang akan ia katakan jika semua tahu mereka pacaran?

Bahkan di dalam pekerjaan pun masih memiliki aturan. Tak resmi, tapi cukup dihormati.

Pacaran dengan rekan kerja sedikit tak disukai. Jadi, baik ia maupun Sebin, selalu memperingatkan kedua pria yang lebih muda dari mereka itu untuk berhati-hati jika sedang berada di lingkungan kerja.

"Kau bisa menolak, lain kali bilang saja tak bisa minum terlalu banyak."

Yechan menggeleng, pria itu melepas sabuknya dan mencium pipi Jaehan.  "Masuklah. Aku akan menelpon hyung lagi nanti."

"Baiklah, hati-hati kalau begitu. Jika kau sampai kenapa-kenapa aku tidak mau bicara lagi denganmu."

"Iya, sayang ..."

Mendengar panggilan baru itu, Jaehan merasa panas di pipinya.

Mengabaikan merahnya wajah, Jaehan pun membuka pintu dan berlalu tanpa menoleh karena malu. Ia tutup pintu pagar rumahnya sedikit keras, yakin jika di belakang sana Yechan sedang tertawa karenanya.

Yechan selalu memiliki kejutan. Jaehan berharap ia segera kebal dengan semua bentuk afeksi yang pria itu berikan. Tak lagi malu, apalagi tersipu.


*

*

*


Ia pulang di saat semua penghuni sudah berada di kamar mereka sendiri-sendiri. Kecuali hari libur, memang cukup sulit untuk sekedar berbicara dengan ayah atau pun ibunya. Ia sendiri jarang pulang sore, ia selalu sampai di rumah lewat dari jam tidur ibunya.

Dulu ia kesepian, tapi sekarang ada Yechan. Jika ia belum bisa tidur, pria itu akan menelpon hanya untuk menemaninya berbicara, menunggu hingga kantuknya tiba.

Melewati kamar sang kakak, Jaehan berdiri sejenak. Ia merasa akhir-akhir ini berbeda, nuna tak lagi ceria. Jaehan pernah meledek dengan berkata bahwa nuna-nya seperti itu karena dijodohkan dengan pria jelek yang tak sesuai ekspektasi. Namun, tak ada tanggapan selain hanya kosongnya tatapan.

Jaehan mengangkat tangan, ia ketuk pintu di hadapannya itu perlahan. "Nuna ... kau sudah tidur?"

Tak hanya sekali, tapi tiga kali Jaehan terus memanggil sang kakak yang tak kunjung menjawab panggilannya.

Sampai ia merasa jari-jarinya sakit karena terlalu sering mengetuk, Jaehan pun berbalik. Mungkin memang sudah tidur, Jaehan memutuskan untuk mundur.

Akan tetapi, belum juga ia melangkah pergi, terdengar suara yang memanggilnya lirih sekali. Jika tak mengenal suara kakaknya, mungkin ia pikir itu hantu yang memanggilnya.

Jaehan menghela, lalu masuk setelah pintu dibuka lebih lebar dari sebelumnya.



*

*

*


"Nuna, gwenchana?"

Bukan tanpa alasan ia bertanya, itu karena Jaehan mendapati betapa berantakannya kamar sang kakak yang biasa rapi dan tertata.

"Jaehanie, kau sibuk sekali akhir-akhir ini."

"Nuna, mian ..." Kakaknya itu pasti sangat kesepian. Tak ada teman untuk membagi beban.

"Nuna, ada yang ingin kau ceritakan? Aku akan mendengarkan."

Sang kakak menggeleng, berkata tidak dengan wajah sembabnya. Siapa yang akan percaya jika dia baik-baik saja?

"Masih soal perjodohan itu?"

Anggukan nuna-nya berikan.

"Kenapa? Apa orang itu tak cukup baik menurutmu?" tanya Jaehan lagi.

"Kau ingin bertemu?"

Jaehan mengangguk. Ia bisa saja melihat lewat foto, tapi Jaehan rasa masalahnya bukan pada fisiknya. Mungkin ada sesuatu yang membuat kakaknya ini begitu ragu.

Setahu Jaehan juga nuna-nya sedang tak memiliki seseorang. Akan tetapi, jika tak mau bercerita apa masalahnya, Jaehan bisa apa?

"Eomma berkata jika mereka akan datang kemari minggu depan. Kau ingin menunggu?"

Jaehan tersenyum, "Aku bagaimana nuna saja."

Lagi pula ia tak memiliki urusan sebenarnya. Ia hanya ingin tahu mengapa nuna-nya sampai seperti ini karena dijodohkan dengan orang itu. Walau nyatanya, yang namanya sifat tak bisa ia simpulkan hanya dengan sekali lihat.

Hening setelahnya. Jaehan diam karena tak tahu harus bertanya apa lagi, di samping ia yang juga khawatir karena Yechan belum juga mengabari.

Sementara kakaknya hanya diam dan menatap lama ke arah jendela kamarnya.

Menunggu, cukup memakan waktu, Jaehan bahkan sudah menguap tiga kali sampai suara kakaknya terdengar lagi.

"Jaehanie, kurasa aku harus memberi tahumu ..."

"Apa?"

Mengapa perasaannya berubah tak nyaman?

"Eomma dan appa sudah tahu ..."

"Mengetahui soal apa?" tanyanya. Nada tak sabar kentara terdengar.

Jaehan mendadak tak ingin tahu, ada rasa takut yang membelenggu.

Nuna-nya ini cukup blak-blakan, jarang memberi kabar dengan sepenggal-sepenggal dan diulur seperti ini.

Benar saja ...

"Eomma dan appa sudah tau soal kau yang menyukai laki-laki, Jaehanie."

Jaehan merasa detakan jantungnya tak terdengar lagi.  Namun, kakaknya belum berhenti sampai di sini.

"Kau tahu apa yang lebih buruk?"

Jaehan bahkan tak mau menebaknya sama sekali.

"Eomma menyalahkan Sebin. Membuat Paman dan Bibi tak terima, mereka bertengkar di sini sore tadi. Saat kalian berdua masih bekerja."

Entah Sebin sudah mengetahui ini, tapi sahabatnya itu tak mengatakan apapun tadi.

"Tapi, kenapa mereka diam saja? Tak menegurku atau apa, dan ... kenapa menyalahkan Sebin?"

Nuna-nya mengangkat bahu. Tak tahu menahu soal apa yang Jaehan tanyakan itu. Kedua orangtua mereka memang selalu begitu. Bisa saja Jaehan yang tiba-tiba di panggil untuk bertemu dan bicara, bisa juga langsung menyeret dan menghajarnya.

Jaehan menunduk, namun ia langsung berlari keluar menuju kamarnya sendiri dan segera menelpon Sebin untuk ia tanyai.

Ia hanya ingin bertanya. Berharap sahabatnya itu belum mendengarnya.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang