27

415 55 14
                                    

"Jaehanie, lokermu boleh aku pakai? Hanya untuk hari ini."

Jaehan tak tahu siapa yang berteriak, tapi ia mengangkat ibu jarinya.

Itu masih pagi dan belum banyak yang datang ke kelas selain beberapa siswa dan siswi.

Ia dan Sebin sibuk mengerjakan PR karena lupa. Semalam mereka main game hingga tengah malam.

Mungkin karena hal ini juga yang membuat Jaehan sering dilarang menginap oleh orang tuanya.

Sebin sendiri sudah dimarahi, tapi mereka benar-benar bebal semalam. Hingga pagi hari, selain omelan, Jaehan dan Sebin juga mendapat jeweran.

Jaehan mendapat satu karena ibunya Sebin berkata tak tega padanya, sementara Sebin mendapatkan tiga.

Itu masih merah. Bahkan Sebin terus memegangi telinganya sejak keluar rumah.

Sekarang, sampai di sekolah pun mereka belum bisa tenang.

"Sebin-ah, siapa tadi ya yang pinjam lokerku?"

Sebin mengangkat bahu, "Siapa peduli? Toh, kau juga tak pernah memakainya."

"Benar juga sih."

Jaehan pun memutuskan untuk melupakan.

Sampai jam istirahat tiba, Jaehan keluar lebih dulu karena mau ke toilet sebentar. Sebin diminta menunggu di dekat kantin saja.

Namun, saat menunggu, Sebin dihampiri oleh salah satu teman sekelasnya.

"Sebin-ah, di mana Jaehan?"

"Toilet. Ada apa?"

Teman sekelasnya itu menyodorkan sesuatu.

"Aku tadi menemukan ini di loker Jaehan. Sepertinya penting. Bisa kau sampaikan padanya?"

Sebin menerimanya tanpa mengatakan apa-apa selain ucapan terima kasih saja. Menunggu Jaehan, ia pun menyerahkan.

"Apa ini?" tanya Jaehan membolak-balik amplop yang seharusnya ia bisa menerka apa isinya. Lihat saja warna lembutnya.

"Buka saja."

Tapi, bukannya membuka, Jaehan malah memberikannya pada Sebin. "Kau saja. Aku takut."

"Dasar pengecut." cibir Sebin.

Meski begitu, Sebin tetap membukanya, dan cukup terkejut dengan isinya.

"Surat cinta. Kau mau membacanya?"

"Untukku?"

"Mm."

Jaehan dengan cepat menggeleng. "Tidak ... tidak ... lebih baik aku tidak tahu. Aku tak mau terbebani dengan hal seperti itu. Jika membaca, maka aku harus membalasnya. Aku tidak bisa."

"Kau tak ingin tahu siapa yang mengirimkan ini?"

"Tidak, jangan beritahu aku. Itu akan membuatku merasa bersalah."

Sebin berdecak pelan, "Lalu, harus aku apakan sekarang surat ini?"

Jaehan berlari menuju kantin, teriakannya masih jelas terdengar di telinga Sebin, "Terserah kau saja, Sebin-ah."

"Apa-apaan? Merepotkan saja."

Sebin yang jelas tak mau repot pun hanya menaruhnya di dekat semak taman sekolah. Ia tak tega membuangnya atau bahkan menyobeknya, tapi tak tahu juga harus berbuat apa. Jadi, lebih baik ditaruh saja.

Biasanya jika menyatakan cinta, orang akan mengawasi untuk memastikan apakah suratnya sudah dibaca atau belum. Melihat respon Jaehan tadi, harusnya orang itu tahu dan segera mengambil ke sini.

Yah, Sebin juga tak terlalu peduli. Ia masih muda saat itu, dan tak banyak memikirkan apa yang terjadi jika ia melakukan ini.

Sampai suatu hari, Sebin mulai menyesali karena mendapati si pengirim pesan itu menjadi sasaran bully.

Dari sana ia tahu, surat itu ditemukan oleh orang lain yang menjadikannya bahan olokan juga ejekan.

Sebin merasa bersalah, namun tak tahu juga harus melakukan apa. Sampai ia mendengar, anak itu lama tak masuk sekolah. Wali kelas berkata bahwa anak itu pindah. Sebin merasa lega, berharap di tempat yang baru Kevin bisa bahagia.

Sementara Jaehan?

Tentu saja tak ada yang berani menyentuhnya. Selama ada dirinya, ia pastikan sahabatnya itu akan aman dan baik-baik saja.

Walau sampai kelulusan pun, Sebin masih tak mengerti mengapa saat itu ia hanya bisa diam padahal melihat  dengan jelas ketika si pengirim pesan menjadi sasaran.

Ia tahu sudah terlambat, tapi setidaknya ada yang ingin sekali Sebin katakan jika mereka kembali dipertemukan, "Maafkan aku, Kevin ..."

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang