32

390 52 5
                                    

Jaehan masuk ke dalam rumahnya.

Meski tubuhnya masih lesu, tapi binar matanya kebalikan dari itu.  Sangat cerah seolah matahari bersinar dari situ.

Ibunya sedang duduk dengan tangan tengah merajut. Hari libur biasanya sang ayah sedang berkebun di halaman belakang.

Ia disambut, namun ibunya tak banyak bertanya ia dari mana.

Tentu saja yang heboh adalah nuna-nya.  Tanpa basa-basi, Jaehan langsung diberondong banyak pertanyaan, padahal ia saja belum sempat meletakkan bokongnya.

"Katakan, kau bukan dari tempat Sebin, 'kan?"

Jaehan yang sudah berbaring dengan bantal menutupi wajahnya hanya bergumam, tak berniat untuk menjawabnya.

Tak terlalu terkejut, ia tahu bagaimana nuna-nya. Yang penting adalah orang tuanya.

"Jaehanie, apa kau menginap di tempat pacarmu? Yang menjemputmu pagi itu?"

Jaehan lagi-lagi hanya menjawab dengan gumaman. Tak cukup jelas, namun sudah mampu membuat nuna-nya bertepuk tangan dengan riang.

"Kapan kau akan mengenalkannya pada kami, Jaehanie?  Setidaknya kau harus mengenalkannya padaku."

Jaehan yang bisa membayangkan wajah cemberut kakaknya langsung menyingkirkan bantal dan duduk dengan pelan.

"Nuna, jika aku membawa kemari, apa eomma dan appa akan menerimanya?"

Kakak perempuannya itu terdiam. Sudah Jaehan duga, bahkan nuna-nya yang pemberani pun ragu akan hal ini.

Ia takut jika hubungannya dengan Yechan tak direstui. Bukan perkara mereka sesama laki-laki, tapi tradisi perjodohan yang sudah medarah daging ini, Jaehan tahu itu akan sulit untuk ia tangani.

Desah berat keluar dari bibir nuna-nya yang tadi ceria. Jaehan jadi merasa bersalah karena sudah merusak suasana.

"Jaehanie, kenapa wajahmu pucat sekali? Kau sakit?"

Nuna-nya mendekat dan memeriksa dahi. Tentu saja masih terasa hangat di sana. Jaehan tak bisa berbohong juga.

"Aku begadang dan banyak minum bersamanya, tapi ada Sebin juga kok di sana, jadi nuna jangan berpikir yang aneh-aneh ya."

Nuna-nya tersenyum, begitu mudahnya perhatian Jaehan teralihkan. Sebenarnya itu melegakan.

"Aku mengerti. Ah, ngomong-ngomong soal Sebin, apa kau sudah dengar bahwa dia akan dijodohkan?"

**

Tak butuh waktu lama, begitu mendengarnya, sore itu Jaehan langsung berlari ke gedung apartemen Sebin lagi.

Ia memencet bel berulang kali. Berharap Sebin akan segera membuka dan menjelaskan segalanya padanya.

Sebagai sahabat, bagaimana ia bisa menjadi orang terakhir yang mendengarnya?

"Sebin-ah, ayo buka ..."

Jaehan menghentak-hentakkan kakinya tak sabar, hingga sekitar beberapa detik berlalu, barulah ia dibukakan pintu.

"Jaehanie?"

Jaehan langsung masuk tanpa permisi. Ia berniat memberondongi banyak pertanyaan pada sahabatnya ini. Bagaimana bisa Sebin menyembunyikan hal sepenting ini.

Namun, belum juga mencapai ruang tamu, langkah Jaehan terhenti karena melihat sosok tak asing yang sedang berbaring.

"Hyuk?"

"Jaehanie hyung, kau kembali?"

Jaehan menoleh ke arah Sebin, "Sebin-ah, kau jelas berhutang banyak penjelasan padaku."

"Aku tahu, aku tahu ... aku berniat untuk memberi tahumu. Tapi, kita belum memiliki waktu."

Menyuruh Hyuk duduk, Jaehan pun menempati sofa yang tadi pria besar itu pakai.  Senyumnya manis, namun sorot matanya tajam. Berharap Hyuk paham.

Tentu saja, Hyuk cukup peka untuk tahu apa yang pria itu mau. "Baiklah, baiklah ... aku akan pergi dari sini."

"Kau mau pulang?" tanya Sebin.

Hyuk menggeleng, "Aku akan mengungsi ke sebelah. Telepon saja jika sudah selesai."

Yang tentu saja percakapan dua orang ini semakin membuat Jaehan tak mengerti. Begitu Hyuk pergi, Jaehan tak bisa bersabar lagi. "Jelaskan!"


**

**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang