82

231 37 2
                                    

*maaf atas keterlambatan updatenya.

*gimana ini ya, kalo misal ch. 100 belom kelar 😭😭😭🤣🤣🤣🤣🤣🤣


*

*

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Sebin mengemudi cukup cepat. Rumah Yechan sangat jauh dari kantornya, berharap tak ada kendala, atau macetnya jalan raya.

Ia tahu sejak tadi Hyuk sudah berulang kali menghubungi, padahal ia sudah mengatakan bahwa ia bersama Jaehan.

Hyuk sangat manis, tapi sifat posesif dan over protektif yang pria itu miliki kadang membuat Sebin kesulitan sendiri.

Bahkan sekarang, ponselnya masih terus berdering karena panggilan dari kekasihnya  yang tak sabaran.

Menarik napas panjang, Sebin memilih tak menghiraukan, dan melajukan mobilnya lebih cepat dari yang seharusnya.

Sementara itu di kantor, Hyuk juga tak bisa menenangkan dirinya.

Sebin terlalu lama, dan ia khawatir terjadi apa-apa. Sungguh, ia lebih suka Sebin tetap berada di sisinya, berada dalam jarak pandangnya. Jika perlu, pria itu tak ia perbolehkan ke mana-mana.

Akan tetapi, meski menyiksa, ia tahu ini tak seharusnya. Sebin bukan barang yang harus selalu ia simpan.

Mengetukkan jarinya ke meja, kaki pun tak bisa diam di tempatnya.

Hyuk terus berdecak, menunggu, dan kesal juga karena Sebin tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya.

Sampai beberapa menit kemudian, masuklah yang sedari tadi ia tunggu. Namun, tak seperti biasa, tak ada senyum manis di wajahnya. Bahkan pria kesayangannya itu tak menoleh sama sekali untuk menyapa atau memanggil namanya.

Hyuk bertanya-tanya, apa lagi kesalahannya.

Tak ingin banyak spekulasi yang membuatnya pusing sendiri, Hyuk tak peduli dengan banyaknya mata yang mulai mengamati.

Ia mendekat, tanpa kata meraih pergelangan tangan Sebin yang bahkan masih berdiri. Tak ada kesan kasar, Hyuk menarik pacarnya itu keluar.

"Ada apa?" tanya Sebin, tampak lelah.

Hyuk mengerutkan kening, "Ada apa? Harusnya aku yang bertanya. Kau ke mana saja? Kau baik-baik saja?"

Sebin melepaskan tangan Hyuk, lalu mengangguk, "Hm, aku tidak apa-apa. Ayo masuk, kita harus bekerja, Hyuk-ah."

Nada suaranya tak biasa, Sebin tak hanya terlihat lelah, tapi juga malas. Tentu itu membuat Hyuk malah semakin tak ingin melepaskannya begitu saja.

"Terjadi sesuatu? Ada yang mengganggumu?"

Cukup lama mereka berdiri di sana, di luar ruangan mereka. Hyuk yang menunggu, dan Sebin yang tak kunjung memberikan jawabannya saat itu.

"Jang Sebin-"

"Hyuk-ah, yang seharusnya bertanya semua itu adalah aku. Ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu? Apa ada yang mengganggumu?"

"Apa maksudmu?"

Sebin mendesah, "Ke manapun aku pergi, aku selalu mengatakannya padamu, 'kan? Tapi, kenapa kau terus mengkhawatirkanku? Aku menyukainya, tapi hubungan kita tidak akan bisa berjalan jika kau terus mengekangku seperti itu. Tidak bisakah kau percaya padaku? Aku bisa menjaga diriku."

"Sebin-"

"Jika kau lupa, aku juga laki-laki, Hyuk-ah. Sama sepertimu ... jadi, berhenti dengan pemikiranmu yang menganggapku lemah itu."

Sejujurnya, Sebin hampir menaikkan nada bicaranya, tapi melihat Hyuk, hatinya tiba-tiba melembut. Ia tak tega. Hyuk tampak tak biasa.

"Dengar ... aku jujur saat mengatakan padamu tadi pagi. Aku pergi bersama Jaehan ke rumah abu, setelah itu aku mengantarnya bertemu seseorang, dan sudah. Hyuk-ah, aku tidak ke mana-mana." Sebin sedikit menunduk, lirih suaranya ...

"Aku tidak bisa ke mana-mana, karena hanya kau yang aku punya. Karena itu, percayalah padaku ..."

*

*

*

Jaehan berjalan ke arah rumah besar itu sambil sesekali meremat tangannya yang sudah basah karena keringat. Berharap keberaniannya yang menghilang kini kembali datang. Namun, Jaehan juga ingat bahwa saat itu ia mendapat kekuatan karena ada Yechan.

Ada kekasihnya yang menggenggam tangannya dan berkata ia pasti bisa melakukannya.

Kini, ia sendiri.

Menarik napas panjang berulang kali, Jaehan yang meneruskan langkah tak menyangka jika wanita paruh baya yang mengundangnya sudah berdiri di depan rumah seolah memang tengah menunggu kedatangannya.

Jaehan tersenyum, lalu membungkuk hormat, walaupun akhirnya ia malah ditarik dan dipeluk dengan erat.

"Ada apa ini?" batin Jaehan penuh pertanyaan.

Namun, Jaehan tak menyuarakannya. Ia diajak masuk ke dalam rumah. Pikirnya mereka akan berhenti di ruang tamu, rupanya ibu Yechan malah membawanya ke ruangan luar, seperti taman.

"Duduklah."

Jaehan pun menurut. Agak menyesal karena pakaian yang ia kenakan terlalu formal, sementara wanita yang selama ini ia kenal sebagai atasannya itu hanya menggunakan terusan selutut yang walau sederhana, tapi tetap terlihat anggun dan juga menawan.

"Jaehanie, kau sudah sarapan?"

"Sudah, Sajangnim ..."

Ibu Yechan mengibaskan tangan dan terkekeh kecil, "Jangan panggil aku begitu, kita kan sedang tidak berada di kantor. Panggil aku eomma. Seperti Yechan ..."

Eh?

"Eomma?"

"Ya, betul begitu."

Jaehan mengangguk. Kembali menunggu yang lebih tua berbicara lebih dulu.

"Aku cuti hari ini karena ingin bertemu denganmu, Jaehanie. Kalian berdua lama tak masuk kerja, apa Yechan yang memintamu untuk melakukannya?"

Jaehan segera menyanggah, tak ingin Yechan yang terkesan salah. "Bukan, eomma ... tapi, itu karena aku sedang sakit, jadi dia memintaku untuk berhenti bekerja sementara waktu. Yechan juga berkata ingin istirahat. Maafkan aku ..."

Ibu Yechan tersenyum, "Untuk apa minta maaf? Boleh eomma tahu kau sakit apa, Jaehanie? Bagaimana sekarang? Kau sudah sembuh?"

Jaehan mengangguk, ia tak menceritakan tentang hal-hal yang akan membuat keluarganya dipandang buruk, atau dirinya yang akan dipandang lemah, ia hanya mengatakan jika itu sakit biasa dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Syukurlah kalau begitu. Jika kau butuh sesuatu, katakan saja pada eomma, ya ..."

Di titik itu, Jaehan benar-benar mendengar nada tulus dalam suaranya.

"Jaehanie, sebenarnya kami mengundangmu ke sini karena ingin minta maaf. Sebenarnya Yechanie appa juga ingin melakukannya, tapi pekerjaannya tak bisa ditinggal. Jadi, tak apa ya eomma saja yang wakilkan?"

Jaehan menoleh ke arah wanita paruh baya itu dengan tatapan bertanya. "Akan tetapi, maaf untuk apa ya, Eomma?"

"Eh? Apa Yechan tak mengatakan apapun padamu?"

Jaehan menggeleng, ragu. Mengapa ibu Yechan sampai terkejut begitu?

Dalam benaknya kini bertanya-tanya, apa lagi yang Yechan sembunyikan darinya.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang