15

435 65 17
                                    


Hari-hari setelah hari itu berjalan biasa saja, tak ada yang istimewa. Bagi Sebin tentu saja.

Sebin sering diam dan hanya menanggapi Jaehan seadanya. Bagaimana pun, ia tak bisa marah apalagi benci dengan yang satu ini.

Jaehan terlalu baik, pantas juga untuk bahagia. Jadi, Sebin memilih untuk merelakannya.

Ia tak lagi menunggu Yechan hanya untuk berangkat atau pulang bersama. Ia tahu pria itu akan bersama sahabatnya. Jaehan memang tak mengatakan apa-apa, ia hanya tahu saja.

Mengalah lebih baik sekarang daripada menimbulkan kecanggungan yang tak ada gunanya. Sebin memutuskan untuk berangkat lebih cepat dan pulang sedikit terlambat.

Hari ini pun sama. Ia tiba di apartemennya hampir tengah malam, dan itu melelahkan.

Menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, Sebin langsung terlelap tak peduli jika ponselnya terus menyala.

Sudah beberapa hari ini ia memang menjauhkan ponsel dari dirinya. Ia bahkan tak membalas pesan dari Jaehan. Bukan tanpa alasan, ia hanya sedang menjauhi telepon atau pun pesan dari keluarganya.

Ia pindah ke tempat ini karena ingin bebas. Ia pikir ia bisa bebas. Kenyataan berkata apa yang pernah Jaehan ucapkan ada benarnya.

Kebebasan terdengar seperti beban. 

Kini, ia sendiri yang mengalami.  Tidak tahu bagaimana harus melarikan diri.






***




Sementara itu, berbanding terbalik dengan apa yang Sebin alami, Jaehan justru merasakan titik bahagianya saat ini.

Tentu saja, hal paling menyenangkan ketika jatuh cinta adalah saat belum mengetahui semua hal tentang orang yang kita sukai.

Semua terlihat sempurna karena kita hanya melihat sisi yang kita inginkan saja.

Hari selalu cerah, semua yang terlihat berubah menjadi indah.

Tak ada waktu kelabu, yang ada hanya rasa rindu.

Begitu pun di mata Jaehan, tak ada apapun selain Yechan.

Pria itu masih begitu muda baginya, namun begitu mengerti apapun yang diinginkannya.

Hari-harinya yang memang sudah berwarna kini semakin ceria. Meski tetap, akan ada saat di mana perasaannya merasa tak nyaman.

Ia masih menyembunyikan kedekatannya dengan Yechan dan itu menimbulkan jarak di antara persahabatan.

Tak seperti dulu, kini keduanya memiliki rahasia yang tak mereka bagi bersama-sama.


**


"Sebin-ah, aku masih penasaran kenapa saat itu kau tak membangunkanku? Aku malu sekali tertidur di mobil Yechan seperti itu."

Jaehan merengut, sementara Sebin hanya menunjukkan senyum tipis yang benar-benar minimalis.

Yang sebenarnya adalah Jaehan hanya ingin komunikasi di antara mereka kembali. Jadi, ia mengungkit soal ini.

Sayangnya, ekspektasi tak selalu sesuai dengan realita yang ada. Tampaknya, Sebin kurang suka dengan pembahasan yang ia bawa.

"Yechan mengusirku." katanya dengan nada datar luar biasa.

Mendengar itu, Jaehan langsung menatap Sebin tak percaya, "Hey, mana mungkin dia seperti itu."

"Ya, memang itu yang terjadi. Tidak serta merta mengusir, tapi dia menyuruhku pergi lebih dulu. Bukankah itu sama saja?"

Jaehan tak bisa menjawabnya.

"Katakan padaku, ada rahasia apa di antara kalian berdua?"

Sebin mengabaikan pekerjaannya dan sepenuhnya memperhatikan Jaehan. Yang sudah pasti, panik adalah jawabannya.

"T-tidak! tidak ada rahasia. Rahasia apa memangnya?"

Semakin ditutupi, malah semakin jelas terlihat jika Sebin tengah dibohongi.

"Lalu apa? Padahal tinggal menyuruhmu bangun dan kita bisa berjalan bersama bertiga. Tapi, dia memilih berdua. Lalu, akhir-akhir ini ... aku tahu kau sering bersamanya tanpa diriku. Sudahlah, Jaehanie ... jangan membahas itu lagi. Dia milikmu sekarang."

"Sebin-ah, kenapa denganmu?" Jaehan mendekat dan memegangi lengan Sebin, "Kau marah padaku? Karena itu kau mengabaikanku? Bahkan tak membalas satupun pesanku?"

Akan tetapi, alih-alih jawaban, Jaehan justru mendengar Sebin mengatakan hal lain yang lebih mengejutkan.

"Jaehanie, aku mengaku kalah. Kompetisi atau apapun yang kekanakan ini, lebih baik kita akhiri saja hari ini."

"Kenapa kau bicara begitu?" Lagi-lagi Jaehan merasa tak enak hati. Lagipula, dia kan tidak tahu jika Yechan yang menyuruh Sebin pergi lebih dulu? Ia tak tahu jika Sebin akan semarah itu. Ia juga tak tahu jika Sebin sudah mengetahui bahwa ia dekat dengan Yechan akhir-akhir ini.

Ia bahkan tak tahu jika hubungannya dengan Sebin akan berakhir seburuk ini.

"Lalu, aku harus mengatakan apa? Jelas jika aku hanya akan jadi pengganggu. Kau juga tak mengatakan apapun padaku."

"Sebin-"

"Apa di mata kalian aku ini seperti orang bodoh? tinggal katakan saja jika kalian sudah bersama. Tanpa kutahu, tanpa bicara padaku. Tentu saja, memangnya siapa aku?"

"Sebin-ah!"

Tanpa sengaja, Jaehan meninggikan suaranya. Tentu membuat semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah mereka berdua, tak terkecuali sosok yang tengah mereka perebutkan.

Jarang sekali melihat Jaehan bersuara sekeras ini. Apalagi melihat Sebin yang tanpa senyuman sama sekali. Dari situ saja sudah jelas jika keduanya tengah berkelahi.

Beruntung, tak ada satu pun dari mereka yang ikut campur. Hanya saja, Jaehan tak mampu mengatakan apapun lagi. Dia masih menatap Sebin, tapi sahabatnya itu tak sedikitpun bergeming dari posisinya saat ini.

Jaehan menutupi wajahnya dengan kedua tangan, ingin menangis rasanya. Tapi, tidak. Ia berusaha tegar dan mengusap wajahnya yang sedikit memerah, entah karena sedih atau marah.

Saat mulai reda, ia memutuskan untuk keluar dari sana. Ke kamar mandi dan mencuci muka, tampak seperti ide bagus untuknya.

Namun, ia tidak tahu jika Yechan mengikuti, dan itu semakin membuat Sebin patah hati.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang