53

273 37 5
                                    


"Dua hari lagi?"

Yechan mengangguk, masih dengan fokusnya pada jalanan yang ramai sekali malam ini.

"Bukankah ini terlalu mendadak?" tanya Jaehan tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

Bagaimana tidak? Tiba-tiba Yechan memberikan undangan perihal pesta atau apapun yang pernah Hyuk jelaskan padanya beberapa waktu yang lalu itu.

"Tidak. Mereka sudah memberikannya padaku sejak lama. Aku hanya malas dan baru ingat jika itu ada karena Hyuk yang terus merengek ingin agar aku datang juga."

"Hyuk?"

"Mm."

Sebenarnya Hyuk bukan tipe yang peduli dengan pesta seperti ini. Mereka berdua jarang datang walau orang tua sudah banyak memberi mereka uang untuk membeli baju atau mobil baru jika perlu.

"Dia ingin memamerkan Sebin. Pembangkang seperti dia tidak mungkin peduli meski orang tuanya menangis darah memohon agar ia datang jika bukan dari hatinya sendiri." Atau ... dengan tujuan yang pasti.

Yechan bisa memastikan jika Sebin adalah alasan. Meski pembangkang, tapi Hyuk memiliki kakak yang selalu mendukungnya, lain hal dengan Yechan. Ia tak memiliki siapapun lagi untuk diandalkan.

Membicarakan ini, Yechan jadi ingat jika ia bahkan belum mengunjungi Kevin bulan ini.

"Beberapa hari yang lalu Sebin berkata jika ia malas."

Sebin memang mengatakan itu saat Jaehan bertanya tentang keluarga mereka yang katanya bertengkar karena alasan yang belum bisa Jaehan terima.

Anehnya, saat itu Sebin hanya menanggapinya dengan tawa, juga kalimat yang sebenarnya membuat Jaehan semakin merasa bersalah dan sedih di saat yang sama.

"Seharusnya ayah dan ibu tak lagi tersinggung hanya karena aku yang dituduh mempengaruhimu ke dalam duniaku, jika mereka benar-benar peduli, mereka tak akan mengabaikanku seperti ini. Ayah dan ibuku hanya merasa harga diri mereka terluka, bukan marah karena anaknya yang dianggap memberi pengaruh buruk pada sahabatnya."

Jaehan ingin memeluk Sebin, tapi saat itu mereka hanya bicara lewat telepon. Lagi pula Jaehan percaya jika sahabatnya itu lebih kuat dari dirinya. Apalagi sekarang ada Hyuk di sisinya.

Jaehan menunduk, tatapannya terus mengarah pada undangan mewah yang sedari tadi ia pegang.

"Yechanie, dunia kalian berbeda dengan kami. Bukankah akan aneh jika tanpa diundang dan kami tiba-tiba datang?"

Yechan menanggapi tanpa ekspresi, "Hal tidak penting seperti itu seharusnya tidak membebani pikiranmu."

"Yechanie ..."

"Terserah hyung, jika kau tak mau datang aku juga tak memaksa. Tapi, aku tidak akan datang ke sana."

"Bagaimana dengan sajang-nim?"

Sesayang apapun Yechan padanya, anak selamanya akan tetap menjadi milik ibunya. Selain memikirkannya, Yechan juga harus memikirkan perasaan sang eomma.

"Aku hanya peduli pada hyung."

Jaehan mendesah pelan. Kejujuran Yechan memang terdengar menyenangkan, tapi itu juga mengandung beban. Sekarang semua bagaimana dirinya, keputusannya. Jika datang, Jaehan mungkin akan kesulitan. Tapi, jika tidak ... Yechan lah yang akan kena imbasnya.

Jaehan benar-benar  bingung memutuskan, ditambah ia memahami jika suasana hati kekasihnya sedang buruk malam ini. Tak ingin membuat pria itu semakin kesal dengan pertanyaan dan kegelisahannya, Jaehan pun diam saja setelahnya. Ia tak lagi bicara meski hanya satu patah kata.

Ia hanya menatap suasana jalanan dan mobil-mobil yang berbaris rapi menunggu giliran.

Biasanya ia senang menghabiskan waktu di saat macet seperti ini dengan mengobrol bersama Yechan. Tapi, kali ini ia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah.

Yechan yang dingin, Jaehan tak menyukainya. Tapi, mau marah pun ia tak bisa. Terlebih saat Jaehan tidak benar-benar tahu dan yakin apa alasan di balik sikap menyebalkan yang Yechan tunjukkan.

Jaehan hanya mencoba berpikir bahwa semua kemarahan yang tertahan itu bukan untuk dirinya.

"Hyung, aku menyewa satu unit apartemen lagi untuk hyung tinggali."

"Apa?"

Kenapa tiba-tiba?

"Kupikir hyung akan menolak jika aku mengajak tinggal bersama, karena itu aku menyewa satu unit lagi di lantai yang sama."

"Kenapa kau tidak bertanya dulu? Kenapa kau begitu yakin jika aku mau?"

Tapi, bukannya menjawab, Yechan malah membalasnya dengan pertanyaan juga, "Hyung tidak mau?"

Jaehan mengatupkan bibirnya. Bukan ia tak mau, tapi setidaknya Yechan harus membicarakan hal seperti ini padanya. Bukan malah mengambil keputusan tanpa persetujuan.

"Yechanie, bukan begitu ..."

"Lalu?"

"Kenapa kau berpikir ayah dan ibu akan mengizinkanku pergi?"

Mobil berjalan lambat, begitu pun Yechan yang tak kunjung menjawab.

Sampai keputusan mengejutkan Jaehan dengar dari mulut kekasihnya.

"Ayah dan ibumu sudah tidur? Hyung keberatan jika aku mampir sebentar untuk bertemu?"

"Untuk apa?"

Tentu saja itu menimbulkan kepanikan. Ia tahu benar apa yang akan Yechan lakukan. Tapi, dalam keadaan tak stabil seperti ini. Jaehan benar-benar tak akan memberi izin Yechan untuk bertemu dengan orang tuanya.

Belum lagi saat orang tuanya tahu, siapapun laki-laki yang dekat dengannya, tak bisa lagi dianggap hanya teman. Pasti akan menimbulkan kecurigaan.

"Kau tahu pasti untuk apa."

"Tidak, Yechanie. Kendalikan dirimu! Sebenarnya ada apa denganmu?!"

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang