06

423 60 9
                                    

Setelah makan siang bersama untuk yang kesekian kalinya, Jaehan tak bisa berhenti mencuri-curi tatap ke arah meja Yechan. Tidak tahu mengapa, seolah ada magnet yang menariknya.

Tak jarang pandangan mereka bertemu, lalu pria itu balas tersenyum yang membuat Jaehan tersipu malu.

Menambah beban saja, pikir Jaehan.

Bagaimana jika Jaehan tak bisa mengontrol ekspresi wajahnya?

Karena dia sadar diri jika suka salah tingkah sendiri. Mau bagaimana lagi, itu sungguh di luar kendali.

Jika bisa bersuara, mungkin jantungnya sudah berteriak keras sekali.

"Berhentilah menatapnya, aku takut matamu akan keluar dari tempatnya, Jaehanie."

Jaehan mencibir, "Setidaknya berkacalah, Sebin-ah ... dan hapus liurmu itu."

Padahal sudah tahu jika Jaehan hanya bercanda, tapi Sebin sungguhan mengelap dagunya. Tak ayal tingkahnya membuat Jaehan terbahak karenanya.

Jaehan mungkin akan terus tertawa jika ketua tim-nya tidak berdehem pelan untuk sekedar mengingatkan.

"Gara-gara kau."

"Kenapa jadi gara-gara aku?"

Jaehan merengut, sedikit bersungut-sungut. Tapi, tentu respon Sebin sama seperti biasa. Pria itu selalu puas melihat reaksinya.

Meski begitu, lagi dan lagi ia tetap mencuri pandang ke arah di mana Yechan berada.

"Hanya diam pun dia bisa terlihat seksi," gumam Jaehan yang langsung mengubur wajah di lipatan lengannya sendiri.

Sempat berpikir, haruskah ia mengatakan perasaannya sekarang saja? Ia tidak mau keduluan Sebin tentunya. Selain itu, jika terus memendam seperti ini, ia bisa gila sendiri.

Tapi, bukankah akan aneh jika begitu? Mereka baru mengenal beberapa hari. Jaehan juga tidak mau Yechan berpikir bahwa ia gampangan sekali.

Menghela napas panjang, Jaehan membuat Sebin mau tak mau pun bertanya dan ikut penasaran juga. "Jaehanie, kau kenapa? Sakit perut?"

Jaehan menggeleng. "Sebin-ah, bagaimana jika dia sudah punya pacar?"

"Siapa?"

"Dia."

Sebin langsung tanggap. "Tentu saja kita harus merebutnya. Apa lagi?"

Jaehan mendongak, lalu mendesah lebih keras dari sebelumnya. Sepertinya ia salah jika mengutarakan keresahannya pada Sebin.

"Tidakkah kau berpikir sama denganku?"

Jaehan sudah menunduk, suaranya bahkan hampir tak terdengar, lebih seperti gumaman yang amat pelan. "Ya ... terserah kau saja."

**

"Kalian pulang berdua?"

Entah bisa disebut keberuntungan atau justru kesialan. Jaehan yang masih risau akan perasaannya, justru bertemu Yechan saat mereka menuju parkiran.

Tidak jelas Yechan bertanya pada siapa di antara mereka, tapi sebelum Jaehan sempat membuka mulutnya, suara Sebin sudah mendahuluinya.

"Mm. Rumah kami searah."

Yechan mengangguk, sekilas Jaehan merasa mata pria itu bergulir ke arahnya, namun tak mengatakan apa-apa.

"Oh, baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok, hyungdeul."

Yechan berbalik setelah membungkuk sopan. Sebin sudah melambaikan tangan walau tak dilihat Yechan.

Sementara Jaehan, ia masih memproses apa yang barusan ia rasakan.

Yang tadi itu hanya perasaan atau memang sekilas ia ditatap oleh Yechan?

Tak ingin berspekulasi yang mungkin akan menyakiti hatinya sendiri nanti, Jaehan memilih membuang keras napasnya dan menyusul Sebin yang sudah duduk di balik kemudinya.

"Jaehanie, kau mampir ke rumahku tidak?"

Biasanya jika Jaehan mampir, maka mereka akan membeli beberapa cemilan dan juga minuman ringan. Namun, kali ini yang Sebin dapatkan hanyalah gelengan.

Padahal belum apa-apa, tapi Jaehan sudah dilanda galau yang berkepanjangan.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang