68

272 36 7
                                    


Mengundurkan diri?

Jaehan langsung terdiam.

Jika hubungan mereka direstui, ia harus merelakan pekerjaannya. Tapi, bagaimana?

Selain karena ia menyukai pekerjaannya saat ini, tidak tega juga rasanya meninggalkan Sebin sendiri.

Mereka mungkin memiliki jalan yang berbeda, tapi Jaehan tulus saat berharap ingin bersama sahabatnya itu sampai tua.

Cita-citanya adalah ingin agar mereka bisa memiliki rumah yang bersisihan seperti Sebin dan Yechan sekarang.

Berangan untuk bersama dalam waktu yang lama.

Jika ia tiba-tiba mengundurkan diri, bagaimana reaksi sahabatnya itu kira-kira?

Jaehan tak bisa membayangkannya.

Apa Sebin akan marah padanya? Atau mungkin malah mendukungnya?

Walaupun jika dibanding Yechan, Jaehan tahu pekerjaan itu tidak ada artinya.

Jaehan menghela, mengusap wajahnya, dan mengambil ponsel untuk mengirimi Sebin pesan lagi.

Lama menunggu Yechan yang sedang berbicara dengan ayah dan ibunya di dalam sana, Jaehan terus duduk di tepi kolam renang sembari memikirkan.

Wajah cantiknya berubah kusut, cemberut.

Hingga satu jam dia menunggu, barulah Yechan menghampiri.

"Bagaimana?" tanya Jaehan tak sabaran sekali.

"Mereka tidak akan melarang hubungan kita."

Mata Jaehan membola, tak percaya, "Benarkah?"

Tunggu! Lalu, apa itu artinya ia benar-benar harus mengundurkan diri sebagai ganti?

"Tapi, kurasa aku tidak bisa mempercayai mereka." Yechan melanjutkan.

Jaehan tak banyak memberi reaksi dan sepertinya Yechan memahami. Pria itu meraih tangan Jaehan, menautkan kelima jari mereka bersama. Itu erat dan juga hangat.

"Kau khawatir dengan pekerjaanmu?"

Jaehan tak bisa berkata tidak, tapi dia diam seribu bahasa sebagai gantinya.  Tak ingin membuat Yechan kecewa.

Namun, yang ada hanya Yechan dengan senyumannya, "Tenang saja, hyung ... kau tidak akan kemana-mana. Tetaplah bekerja, bukankah hyung menyukainya?"

"Benarkah, Yechanie? Lalu apa ada syarat lain lagi?"

Yechan menggeleng, "Tidak ada syarat selain hyung yang harus mencintaiku sepenuh hati. Juga ..."

"Juga apa?"

"Tinggallah denganku."

Senyum Jaehan perlahan sirna. Lagi-lagi, ia menolak bukan karena tak mau.

"Hyung, apa jika aku datang melamarmu, baru orang tuamu akan melepaskanmu?"

*

*

*

Hyuk merasa kesal.

Pagi hari ia masih bersenang-senang. Suasana hatinya bagus dan tampak riang.

Namun, Sebin melihat itu berubah sejak siang.

"Ada apa denganmu?"

Mereka sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai. Hyuk juga menepati janji untuk membawakan baju-baju bagus untuk Sebin pakai.

Walau sempat mereka berdebat karena Sebin yang bersikeras untuk membayar dengan uangnya sendiri.

Hyuk terkesan dewasa di awal, namun di mata Sebin sekarang Hyuk hanyalah bocah tengik yang luar biasa keras kepala.

Sebagai yang lebih tua, Sebin lagi-lagi harus merendahkan hati untuk mengalah karena lelah.

Sekarang melihat Hyuk dengan wajah murungnya tak membuatnya kesal, tapi khawatir lebih tepatnya.

Merangkak naik ke atas tempat tidur, Sebin mengintip ke arah ponsel yang sedari tadi Hyuk pandangi. Tak ada apapun selain wallpaper yang jelas itu adalah fotonya.

Pernah Sebin protes, mengapa harus wajahnya sendiri yang ada disana? Setidaknya harus ada Hyuk juga. Tapi, setelahnya ia menyesali kata-katanya karena sejak saat itu Hyuk selalu mengajaknya berfoto bersama setiap ada kesempatan berdua.

Daripada pacaran, Sebin lebih seperti tengah bekerja di penitipan anak. Hyuk dengan segala tingkah kekanakan dan rewelnya. Sungguh menyebalkan, tapi ada kalanya itulah yang selalu ia rindukan.

"Hyuk-ah, kau sedang menunggu seseorang menelponmu? Siapa? Pacar barumu? Kau mau mati?!" Sebin lebih seperti menginterogasi.

Hyuk yang tadinya kesal, kini menatap Sebin dengan tawanya.

Dalam hati Sebin lega, mungkin Hyuk memang bukan marah padanya. Dia menghela, ingin kembali duduk sebelum Hyuk menariknya.

Tak menolak, Sebin malah memeluknya.

"Aku menunggu telepon dari orang tuaku."

Hyuk menjelaskan bahwa alasannya membawa Sebin adalah agar orang tuanya tahu tanpa ia harus memberitahu. Ia ingin reaksi, tapi kenapa ayah dan ibunya belum menghubungi?

"Jadi, aku tak cukup menarik perhatian mereka?" Sebin menatap Hyuk, "mungkin mereka mengira aku temanmu."

Karena dilihat dari manapun mereka memang lebih seperti teman daripada dua orang pria yang sedang berkencan.

"Tidak mungkin. Mereka selalu ingin tahu dengan siapa aku pergi. Tidak mungkin mereka tidak peduli."

"Lalu, kenapa mereka seperti ini?"

"Entahlah, mungkin aku harus lebih serius saat menciummu tadi malam."

Lihat! Si brengsek ini benar-benar ....

Sebin menghela, "Kau sebegitu inginnya membuat mereka tahu tentangku? Apa dengan begitu kau bisa terus bersamaku?"

Hyuk memberi satu kecupan sebelum memberi anggukan, "Aku tidak tahu apakah ini berguna atau tidak untuk masa depan hubungan kita, tapi setidaknya aku ingin mereka tahu bahwa aku sudah memilikimu, memilihmu."

Oke, itu kalimat yang cukup menyentuh sekalipun Sebin tidak terlalu romantis.

Mungkin ada saat di mana Sebin merasa ragu. Masa depan tidak ada yang tahu. Bagaimana jika perasaan mereka berubah sewaktu-waktu?

Ia tak punya siapapun lagi selain Hyuk.

Jaehan mungkin ada, tapi sahabatnya itu juga memiliki kehidupannya sendiri.

Merasa hatinya sedikit mendung, Sebin mengeratkan pelukannya.

"Wae?"

"Tidak bisakah kita seperti ini saja? Terakhir aku memberi tahu orang tuaku, mereka membuangku. Bagaimana jika itu terjadi lagi? Bagaimana jika kau yang membuangku kali ini?"

"Jang Sebin-"

"Ya, ya ... mian, aku tidak bermaksud membuatmu kesal, aku hanya membuka segala kemungkinan."

Sebin merasa trauma.

Ia tak lagi mengatakan apa-apa, begitu pun Hyuk yang langsung meletakkan ponselnya.

Sebin memejamkan mata sementara Hyuk mengusap pelan punggungnya.

"Tidak ada banyak kemungkinan. Hanya aku yang akan tetap menjadi anak mereka atau tidak. Tidak peduli apa, jawabanku akan selalu dirimu."

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang