28

404 55 6
                                    


disclaimer : Buat yang ga suka pair Hyuk X Sebin ini boleh skip ya.

kayanya gw kebawa ama kebiasaan nulis gw di akun yang lama, yang suka masangin seme x seme  :")

Soalnya juga gw di sini nyesuaiin karakter. pas lagi ngerancang, karakter yang jadi Sebin bakal aneh kalo gw masukin Hwichan, karena bang Hwi terlalu kiyowo.

Dan buat karakter Hyuk, agak ga cocok juga kalo dulu gw bikin Sebin yang jadi.

Ya pokonya gitulah. intinya kalau ga suka skip aja gpp. kayanya ga terlalu ngaruh juga di cerita Yechanjaehan nya. mungkin ya ... ehe

Buat yang mau baca BinHwi gw ada di book Love sementara HyukVin ada di book Second.



**















**












Hyuk berjalan masuk. Diamatinya rumah yang ia tidak mengada-ada saat berkata itu bagus.

Rupanya Sebin adalah anak dari orang yang cukup berada. Pantas saja bisa mendapat apartemen sebagus itu.

"Hyuk!"

Hyuk menoleh, ternyata Sebin sudah menunggu di dekat pintu.

Melangkahkan kaki lebih cepat dari yang tadi, Hyuk menghampiri.

"Syukurlah kau menjemputku."

Sebin tersenyum dan meraih tangan Hyuk, menggenggamnya, dan Hyuk menyambut tanpa bertanya. "Ayo."

Tak seperti biasa, kali ini Hyuk merasakan gugup dalam dirinya.

"Apa yang harus aku lakukan di dalam sana?"

"Jadilah Hyuk yang apa adanya, seperti biasa saja. Jangan tunjukkan seolah kau sedang mencari muka. Ayahku benar-benar paham saat seseorang tengah melakukan hal seperti itu."

"Benarkah?"

Sebin mengangguk.

Tapi, Hyuk malah semakin gugup. Masalahnya adalah ia yang seperti biasa lebih seperti berandal daripada seseorang yang katanya dapat dipercaya.

Bukankah itu tujuan orang tua Sebin menjodohkannya? Karena mencari seseorang yang bisa mereka percaya untuk menjaga anaknya?

Hyuk mendesah pelan, sudah begini mau bagaimana lagi, ia tak bisa mundur lagi.

Sepertinya kegelisahannya ditangkap oleh Sebin. "Jangan terlalu dipikirkan, santai saja."

Hyuk menatapnya, sungguh heran karena dibandingkan dirinya, Sebin malah terlihat begitu tenang.

Menghentikan langkah, Hyuk bertanya, "Apa kau tidak apa-apa? Apa kau baik-baik saja?"

"Huh?"

"Aku bertanya tentangmu, keadaanmu, apa kau baik-baik saja dengan itu?"

Sebin tampak tertegun. Namun, Hyuk mendapat satu gelengan sekaligus senyuman khas yang sering ia lihat akhir-akhir ini. Bedanya, itu tampak palsu.

"Aku sudah biasa dengan pengaturan seperti ini. Tak hanya aku, Jaehan juga begitu. Jadi, kau tenang saja. Aku baik-baik saja karena tak pernah sendirian menghadapinya."

Hyuk tak lagi bertanya walau banyak yang ingin ia katakan sebenarnya.

Ia memilih mengikuti Sebin  walau tidak tahu akan seperti apa nanti. Yang mengkhawatirkan tentu adalah respon keluarga terhadap dirinya.

Orang tak dikenal tiba-tiba datang bersama anaknya, mengacaukan pertemuan yang seharusnya bersifat pribadi seperti ini.

"Tunggu sebentar di sini. Aku akan bicara pada ibu dan ayahku. Agak tak enak hati jika tiba-tiba kau masuk ke dalam sana."

Hyuk mengangguk, lega dalam hatinya. Ia pikir akan seperti dalam drama yang selalu dilihat kakaknya. Akan aneh bukan jika ia tiba-tiba masuk bersama Sebin dengan bergandengan tangan pula.

Tak lama, mungkin hanya butuh lima menit lebih sedikit sampai Sebin kembali bersama seorang wanita paruh baya. Tanpa bertanya pun Hyuk bisa menebak siapa.

Meski begitu, ia tetap berusaha bersikap sopan dengan membungkuk dalam-dalam.

"Sebin-ah, siapa dia?" Ibunya adalah yang pertama memecah keheningan di antara mereka.

Suasana canggung sangat terasa, tapi Sebin masih menjawab dengan senyuman di bibirnya.

"Eomma ... dia adalah seseorang yang aku bicarakan sebelumnya."



**

Mungkin ada sekitar satu jam Yechan terduduk dan menangis tersedu-sedu seperti itu.

Kepalanya berat, ia merasakan sakit, tapi tak tahu bagian mana yang lebih menyiksa. Apakah itu fisiknya atau hatinya. 

Ia berdiri, terhuyung berjalan ke luar kamar menuju kamar mandi.

Tapi, sebelum itu ia menyempatkan diri untuk menempelkan punggung tangannya di dahi dan pipi Jaehan. Masih panas.

Yechan berada cukup lama di dalam kamar mandi. Ia tak melakukan apa-apa selain hanya berdiri, menyalahkan shower, dan mengguyur kepalanya. Berharap itu bisa mendinginkan juga sedikit mengurangi beban.

Setelah ini, apa yang harus ia lakukan?

Ia mendadak kosong. Ia yang semula memiliki tujuan, kini sudah dipatahkan.

Ia tak bilang mencintai Jaehan begitu sulit, tapi sejujurnya itu tak mudah juga.

Ia takut. Ia kalut.

Yechan mematikan shower, merasa cukup. Ia tak mau sakit karena itu akan membuat segalanya lebih buruk.

Berusaha mengabaikan apa yang sudah terjadi, ia memutuskan untuk mandi dengan benar kali ini.

**

Selesai mandi dan berganti pakaian, Yechan mendekat ke arah Jaehan. Ingin membangunkan karena ini waktunya makan malam. Namun, melihat Jaehan yang tertidur begitu lelap, ia jadi tak tega.

Yechan menghela setelah memandang wajah pria itu cukup lama.

Keluar lagi dari kamarnya, Yechan duduk di depan televisi, dan melamun saja. Merasa tak ada gunanya, ia pun beranjak dari duduknya. Menuju balkon, Yechan bersandar pada pagar. Menatap keramaian kota dari atas juga menikmati semilir angin yang mengacak-acak rambutnya, ia pikir ini adalah sedikit terapi untuk menyembuhkan hatinya meski hanya sementara.

Yechan memejamkan mata, hingga ia dapati hangat memeluknya.

Tak perlu menebak, ia tahu itu siapa.

Panas tubuh Jaehan benar-benar tinggi dan itu menembus ke dalam tubuhnya padahal ia memakai pakaian lengan panjang yang cukup tebal.

"Kenapa kemari? Di sini dingin."

Yechan berbalik, lalu membawa pria yang sebenarnya memiliki tinggi hampir sama dengannya itu ke dalam pelukan.

"Masih terasa sakit?" tanyanya lagi.

"Sedikit." suara itu teredam karena Jaehan yang menyembunyikan wajah di lekukan lehernya. Napas Jaehan bahkan terasa begitu panas.

"Hyung lapar? Aku sudah memesan bubur tadi."

Tapi, Jaehan menggeleng dan Yechan mengerti bahwa Jaehan hanya ingin seperti ini.

Tak lagi memaksa, Yechan memilih untuk mengeratkan pelukannya.

"Yechanie?"

Yechan hanya menjawab dengan gumaman pelan.

Jaehan melanjutkan, "Besok bisa kau mengantarku?"

"Kemana?"

"Tempat peristirahatan Kevin. Jika kau tak keberatan, aku ingin minta maaf. Atas apapun yang pernah aku lakukan padanya."

Jaehan mendongak, di matanya tersirat sebuah permohonan.

"Tentu. Tapi ..."

"Tapi apa, Yechanie?"

Yechan tersenyum, "Kau harus sembuh dulu, jika masih sakit begini, maaf ... sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu yang satu itu."

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang