43

352 51 8
                                    

Ini bukan tentang dirinya, melainkan Nuna-nya.

Malam itu, Jaehan mendapati Nuna-nya duduk di ruang tamu dengan mata sembab yang membuat Jaehan khawatir setengah mati.

"Nuna, gwenchana?"

Meletakkan tas kerjanya, Jaehan berjongkok di depan kakaknya. Kakak yang paling dekat dengannya karena yang pertama sudah menikah dan tinggal jauh bersama suaminya.

"Sekarang giliranku, Jaehanie."

Jaehan terdiam, hanya satu kalimat itu dan Jaehan mengerti. Itu artinya, tak lama lagi dirinya pun akan mengalami. Jaehan terduduk. Tertunduk.

"Nuna ..."

"Besok orang itu akan ke sini. Kau mungkin juga akan segera diberi tahu oleh eomma nanti."

Jaehan tahu itu. Ia juga belum mengecek ponsel sejak sore, mungkin saja eomma sudah berusaha menelpon atau mengirim pesan padanya.

"Jaehanie, kupikir itu sudah tidak akan terjadi lagi. Kau tahu sendiri mereka tak pernah membicarakan ini."

Tak membicarakan bukan berarti tak membahas diam-diam di belakang mereka. Jaehan tahu betapa keras peraturan ini berlaku sejak dulu, jadi tak mungkin akan semudah itu.

Jaehan menghela, "Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

"Apa aku punya pilihan?"

Tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu, tapi Jaehan tak menjawab dengan pasrah seperti yang biasa ia lakukan sejak kecil dulu.

"Selalu ada pilihan dalam hidup. Tinggal bagaimana kita, berani atau tidak menerima konsekuensinya."

"Jaehanie?"

Jaehan paham jika nuna-nya merasa heran, ia sendiri bahkan tak menyangka bisa berkata demikian. Ia hanya tak bisa menghentikan.

"Nuna, apapun pilihanmu, aku akan mendukungmu. Melihat kau bahagia merupakan harapanku juga."

Kalimat terakhir, Jaehan memberikan senyum menenangkan pada kakaknya.

"Kau pasti bukan Jaehanie."

Jaehan tertawa, "Mm, aku akan menjadi Kim Jaehan yang berani mulai saat ini."

Karena ia butuh keberanian yang besar untuk menentang keluarganya nanti. Demi dirinya, demi hubungannya dengan orang yang ia cintai.

**

Yechan sebenarnya enggan. Meski sama-sama sendirian, tapi ia lebih suka tinggal di apartemen dari pada di rumah orang tuanya.

Rumah ini besar, namun sepi. Jarang sekali ia mengunjungi.

Sejak dulu ia selalu menentang untuk pindah ke tempat ini. Yechan menyukai rumah lamanya, di mana banyak kenangan di sana. Kenangan bersama kakaknya, dan kenangan saat orang tuanya masih sering mengajaknya bermain bersama.

Tak ada kenyamanan yang ia rasa setiap kali menginjakkan kaki di rumah ini. Walaupun Yechan menyadari, bahwa mereka saat ini ingin memperbaiki. Sayangnya, Yechan merasa apa yang sudah dingin, akan berbeda rasanya saat dihangatkan kembali.

Lagi pula, ia sudah dewasa. Ia tak harus terikat dengan mereka. Ia masih datang pun hanya sebuah bentuk penghormatan.

"Bagaimana kabar eomma dan appa?"

Makan malam hanya bertiga, tak ada canda, tak ada suara gelak tawa, hanya ada rasa dingin dan kecanggungan di dalamnya.

Sejak ia kecil, memang Kevin lah yang menjadi penghidup suasana. Setelahnya, tak ada lagi yang bisa.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang