92

381 33 3
                                    

"Pergilah, Hangyeom-ah. Aku takut ayahmu gelisah. Ah, dan satu lagi ..." Jaehan menyangga dagu, menoleh menatap Hangyeom yang tampak ragu, "Jangan bersikeras untuk bersama seseorang yang tak memiliki rasa cinta padamu. Itu menyakitkan tahu ..."

*

*

*

Dengan kesal, Hangyeom pun pergi. Sempat pria itu menengok ke arah Yechan, namun tak ada tanggapan yang berarti. Yechan menunjukkan sikap tak peduli.

Barulah saat kedua pria yang sempat menjadi duri itu tak terlihat lagi, Jaehan menyandarkan punggungnya di kursi, dengan lelah menutupi wajahnya. Ia tampak lelah sekali.

"Hyung ..."

Jaehan menurunkan tangan, saat itu Yechan sudah berada di depannya, membungkuk sebelum mengangkat dagunya, "Kau tahu, aku bangga sekali padamu ..."

Belum sempat bertanya apa maksudnya, Yechan sudah memasukkan lidahnya saat Jaehan membuka mulutnya. Mata Jaehan membulat, namun perlahan berubah sayu, hingga akhirnya terpejam sepenuhnya.

Ia biarkan Yechan dengan rakus mencium bibirnya, seolah tak ada kesempatan lain lagi untuk melakukan ini.

Hanya saja, suara batuk yang datang dari belakang, menginterupsi apapun yang mereka lakukan sekarang.

Jaehan membuka mata, mendorong Yechan yang seakan tak terganggu dengan suara itu.

"Yechanie ..."

Yechan berdecak pelan, mengusap bibirnya, pria itu menoleh ke belakang. "Appa pulang saja dulu, aku akan menginap di sini malam ini."

Tuan Shin memutar mata, namun tak mengatakan apa-apa. Pria paruh baya itu mendekat dan menepuk kepala Jaehan. "Jaga anak nakal ini, ya. Masuklah, ayahmu ingin bicara. Appa pulang dulu."

Jaehan berdiri, membungkuk dalam, dan mengucap kata terima kasih yang banyak sekali.

Hanya lambaian tangan dari yang lebih tua, dan sosok yang dipanggil appa oleh kekasihnya itu pun pergi menuju mobil yang langsung dibukakan oleh supir.

Jaehan menghela lega, lalu menatap Yechan yang diam saja. "Kau kesal?"

"Mm."

Jaehan tak habis pikir.

"Kau sungguh ingin menginap?"

"Ya. Ayo masuk."

Jaehan hampir lupa siapa tuan rumahnya. Yechan menariknya dan menuju tempat di mana ayahnya sudah menunggu. Bahkan ada sang ibu dan dua kakaknya yang duduk di situ.

Terkesan seperti persidangan keluarga. Menatap Yechan, pria itu tak tampak tertekan. Santai seperti biasa, bersikap sopan seperti seharusnya.

Jaehan tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi sepertinya semua sudah baik-baik saja setelah ini.

Setidaknya ia tak ingin lagi peduli. Katakan dia durhaka, katakan ia menyusahkan orang tua, katakan cinta telah membutakannya, akan tetapi Jaehan jelas tahu apa yang paling ia inginkan saat ini.

Jadi, sebelum ayahnya mengatakan hal yang mungkin akan menyakitinya lagi, Jaehan lebih dulu mengutarakan isi hati yang sudah lama dipendamnya seorang diri.

"Appa, Eomma ... mungkin kalian masih sulit menerima. Tapi," Jaehan menggenggam tangan Yechan, "Aku mencintainya. Aku ingin hidup bersama dengannya. Bahkan jika bisa, aku ingin menikah dengannya. Tolong, sekali ini saja ... biarkan aku hidup di jalan di mana aku sendiri yang memilihnya."

*

*

*

Kamar Jaehan sangat manis, setidaknya di mata Yechan yang biasa hanya melihat warna hitam dan abu-abu.

Kamar ini lama tak Jaehan tempati, namun masih tertata rapi. Entah siapa yang membersihkan, namun dari sini Yechan yakin bahwa sebenarnya kepulangan kekasihnya ini masih begitu diharapkan.

Menjatuhkan diri di atas tempat tidur, Yechan tersenyum sebelum menarik Jaehan hingga jatuh tepat di atas tubuhnya.

Tak menyakitkan, itu hangat, dan menyenangkan.

Jaehan juga tampaknya tidak keberatan. Ia memberi kecupan-kecupan ringan di wajah Yechan, sebelum bersandar di dada kekasihnya itu dengan nyaman.

Detak jantung yang begitu merdu di telinga, Jaehan tak bisa menyangkal bahwa kebahagiaan ini adalah segalanya.

Berada di kamarnya bersama orang yang selalu diinginkannya sejak pertama.

"Yechanie ..."

"Mm?"

Jaehan memejamkan mata saat merasakan bibir Yechan yang menciumi rambutnya. Menggeleng pelan, Jaehan berharap bahwa ini bukanlah mimpi indah yang akan hilang saat ia bangun nanti.

"Malam ini kau sungguh berani, hyung ..."

Jaehan sendiri tidak mengerti. "Aku selalu disebut pengecut dan sejujurnya aku tadi juga merasa ciut ..."

Melihat Hangyeom yang begitu sempurna, ada rasa rendah diri dalam dirinya.

Jika saja Yechan tak bersikap tegas dan menunjukkan di mana lelaki ini berpihak, mungkin Jaehan akan kalah dengan telak.

"Akan tetapi, setiap kali melihatmu yang hanya menatap ke arahku, entah bagaimana aku bisa mendapatkan semua keberanian itu," lanjutnya dengan nada suara yang jelas lega.

"Jadi, ini semua berkatku?"

Jaehan tertawa. Menegakkan kepala, ia memandang wajah tampan kekasihnya.

"Hm, aku tidak akan menyangkalnya. Karena kau ada di sana, aku jadi bisa mengatakan semuanya. Bahkan saat di depan eomma dan appa ..."

Jaehan ingat betapa ia yang selalu kesulitan menyuarakan apa yang ia inginkan. Namun, sejak bersama Yechan, Jaehan merasa keberaniannya tumbuh begitu saja.

Yechan terkekeh mendengarnya, "Kalau begitu, bukankah harus ada hadiah untukku? Aku suka hadiah darimu ..."

"Uhm, hadiah apa yang kau mau?"

"Dirimu ..."






*mau gw tamatin, tapi inget yang anak yang satu belom kelar wkwkkwkw

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*mau gw tamatin, tapi inget yang anak yang satu belom kelar wkwkkwkw

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang