22

424 59 26
                                    

Hyuk tidak kembali ke rumahnya sendiri, melainkan ke unit yang Yechan tinggali. Itu sekitar sore hari.

Saat di sana, ia melihat Jaehan yang sedang berbaring di atas sofa sambil menonton televisi.

Agak heran juga mengapa Jaehan masih di sini. Akan tetapi, seperti biasa ia memilih untuk tidak peduli.

"Hyuk, bagaimana keadaan Sebin?"

Hyuk sama berbaring, bedanya dia telentang di atas karpet.

"Baik. Dia sudah makan juga."

"Syukurlah. Habis mabuk begitu biasanya dia suka melantur dan mengatakan hal-hal aneh, kuharap kau tak mengambil hati jika dia begitu, ya."

Mendengar itu bukannya tenang, Hyuk malah menghela. Semakin gelisah saja kelihatannya dan itu ditangkap gelagatnya oleh yang lebih tua.

"Sebin tidak mengatakan sesuatu yang membuatmu tersinggung, 'kan?"

"Eh, tidak, tidak ... tenang saja, Hyung." Hyuk meminta Jaehan tenang, tapi dirinya sendiri kebingungan.

Beruntung saat itu Yechan datang, jadi Hyuk segera mengalihkan perhatian.

"Dari mana?"

Yechan menunjukkan sekantong kresek kecil, "Membeli ini."

"Apa itu?"

"Obat."

"Obat? Untuk?"

"Jaehan hyung. Dia demam."

Hyuk segera menoleh lagi, dan memang ia baru menyadari wajah Jaehan bahkan lebih merah, dan matanya juga sayu sekali.

Yechan sendiri sudah mengambil air mineral dan menyodorkan pada Jaehan. Ia buka obat penurun panas, meminta Jaehan menelannya.

"Maaf, hyung." Yechan dengan lembut menyibak poni yang menutupi dahi Jaehan dan menempelkan plester penurun demam, tentunya yang ini khusus untuk orang dewasa.

"Tidurlah, aku akan bangunkan saat makan malam."

Jaehan mengangguk, lalu berterima kasih. Lucunya adalah pria yang saat ini berusia 28 tahun itu menurut dan benar-benar memejamkan matanya.

Hyuk yang melihat itu hanya melongo saja. Jaehan dan Sebin ini sungguh dua sahabat yang benar-benar unik.

"Karena itu Jaehan hyung masih di sini?"

Yechan mengangguk. "Tadi bangun tidur dia masih baik-baik saja. Tapi, satu jam yang lalu aku mendapati panas badannya."

"Mungkin efek karena kau terlalu keras semalam."

Yechan menatap Hyuk, tapi temannya itu hanya tertawa kecil, "Aku tahu itu pasti terjadi dan hal seperti ini biasa saat pertama kali."

Yechan tak mau tahu dari mana Hyuk paham soal ini.

"Karena itu kau tak kembali kemari?"

Hyuk mengangguk.

"Bagaimana denganmu? Kalian melakukannya?"

"Tidak. Aku dan Sebin tidak memiliki hubungan atau ketertarikan seperti itu."

Yechan hanya melontarkan cibiran pelan. "Aku tahu kau menyukainya."

"Meski suka pun aku tidak melakukan itu pada orang mabuk."

Yechan tahu itu sebuah sindiran, tapi siapa peduli. Toh, mabuk pun Jaehan masih sadar dan mampu mengingatnya.

"Jadi, kalau semalam dia tidak mabuk, kau akan melakukannya?"

Hyuk terkekeh, sementara Yechan hampir menendangnya. Memang sama saja. Mereka bersahabat lama, jadi sudah tahu bagaimana perangai satu sama lainnya.

"Menurutmu dia mau mengalah?"

"Tidak ada yang tahu jika belum mencoba."

"Bagaimana dengan kalian? Siapa yang mengalah semalam?" Ya, walaupun Hyuk sebenarnya juga sudah tahu jawabannya.

Mereka terus membahas hal-hal fulgar tanpa peduli jika Jaehan masih terjaga di belakangnya.

Bahkan mereka mengobrol dengan santai, seolah itu semua adalah hal yang biasa saja.

Lain hal dengan Jaehan yang semakin memerah saja mukanya. Selain karena demam, itu juga karena telinganya ternodai dengan pembahasan dua bocah tengik ini.

"Hyuk, kau sudah makan? Mau aku buatkan mie instan?" tawar Yechan.

Ia tadi membeli makanan, tapi sudah ia habiskan bersama Jaehan.

"Nanti saja. Aku harus mengantar Sebin satu jam lagi."

"Kemana?"

Hyuk mengangkat bahu. Sebin tidak memberi tahu, hanya meminta tolong. Tanpa paksaan, itu justru membuat Hyuk merasa sungkan.

"Kau sendiri? Kau tak mengantar Jaehan hyung pulang?"

Yechan menoleh, menatap Jaehan yang ia tahu masih mendengarkan percakapannya. "Aku tidak mungkin membawanya pulang dalam keadaan sakit seperti ini. Besok masih hari libur, jadi aku memintanya tinggal sehari lagi di sini."

"Kau yakin akan baik-baik saja?"

"Maksudnya?"

"Tinggal berdua lagi malam nanti. Kau yakin bisa menahan diri?"

Yechan diam saja.

"Yechan-ah?"

"Ya?"

"Kau lupa, kau melangkah sejauh ini untuk apa?"

Yechan menggeleng. Tapi, Hyuk tahu ada keragu-raguan di sana. Sepertinya tujuan Yechan bukan lagi untuk mendiang kakaknya. Anehnya, Hyuk malah merasa lega.

"Kupikir tak mengapa jika saat ini kau fokus pada apa yang ada di depanmu saja. Terkadang, menoleh ke belakang malah akan membuatmu tersandung dan terluka."

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang