35

373 55 10
                                    

Happy 3rd monthversary ya forest ❤️


***


Jaehan memutuskan untuk tinggal sebentar lagi. Ia hanya duduk di sofa tempat yang sudah ia duduki sejak ia datang tadi.

Tak banyak yang ia lakukan, hanya melamun, dan sedikit memikirkan apa yang ia dan Sebin bicarakan.

Masih tentang Kevin.  Masih tentang kebodohan dirinya di masa lalu yang membuat Yechan menderita.

Ia tak lagi menangis, namun susah payah ia menenangkan Sebin yang tidak tahu mengapa gemetar di tangannya tak kunjung berhenti begitu ia menceritakan semua yang diketahuinya.

Mungkin ada rasa bersalah juga di hatinya. Jaehan tahu temannya itu pasti yang paling terkejut karena yang terakhir membawa surat itu adalah dirinya.

Padahal, seharusnya Sebin cukup menyalahkan ia saja.

Jika saja ia memiliki kerendahan hati untuk menerima dan membaca, mungkin tak akan begini hasilnya.

Ia dan Sebin tak perlu dihantui rasa bersalah, dan Yechan masih memiliki keluarga utuh seperti yang selalu diinginkannya.

Jaehan menghela, namun tak sedikitpun ia bergeming dari tempatnya.

Ia melamun, matanya kosong, namun pikirannya penuh.

Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Sebin?

Beruntung tadi ia masih berpikir jernih untuk menelpon Yechan dan meminta bantuan.

Sekarang, Sebin sudah ditenangkan oleh Hyuk di dalam kamar.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Jaehan saat merasakan kehadiran Yechan. Melirik, ia melihat ada secangkir teh yang masih mengepul di tangannya.

"Dia sedang tidur." jawab pria itu sambil menyodorkan teh padanya.

Jaehan menerima, juga merasa lega. Itu artinya Sebin baik-baik saja, 'kan?

"Hyung, mau kuantar pulang?"

"Aku ingin menunggunya, Yechanie."

Yechan tampak tak puas akan jawabannya. Tapi, Jaehan memilih untuk mengacuhkan. Meminum teh yang sudah ia tiup sebelumnya, Jaehan kembali melamunkan entah apa. Tapi, suara Yechan kembali membawanya ke alam sadar.

"Aku tak akan memaksa, hyung ... tapi besok kita harus bekerja. Setidaknya ayo menunggu di tempatku dan tidurlah dulu."

Jaehan terdiam mempertimbangkan, tak lama ia memberikan anggukan.

"Sebin ..."

"Tenanglah, ada Hyuk yang menjaganya. Dia akan baik-baik saja. Aku sudah memanggil dokter kenalanku untuk datang. Sepertinya dia bisa kemari, walaupun kita harus menunggu sebentar lagi."

Tak lagi bicara, Jaehan menurut saat Yechan merangkul bahunya, menuntun ke mana unitnya berada.

Di sana Yechan kembali membuatkan teh hangat. Membawanya ke dalam kamar dan menatap Jaehan yang masih duduk di tepi ranjang.

"Bahkan yang di rumah Sebin tadi saja belum aku habiskan, sekarang kembali kau buatkan."

Yechan tersenyum, menuntun tangan Jaehan agar menerimanya. Kedua tangan yang memegang cangkir teh itu kini ia tangkup, ia genggam hingga terasa hangatnya.

"Ini akan menenangkanmu."

Jaehan mengangguk. "Terima kasih, Yechanie ..."

"Mm. Sekarang, bisa hyung ceritakan? Ada apa sebenarnya? Mengapa orang seceria Sebin hyung bisa tiba-tiba mengalami gejala gangguan panik seperti itu?"

Berharap Jaehan mengatakan yang sejujurnya, Yechan terus menatapnya. Itu lembut, namun ada kesan menuntut.

Desah pelan terdengar, Yechan mengusap pelan punggung tangan pria itu untuk menenangkan. Seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tampaknya, Jaehan paham.

"Aku menceritakan tentang kakakmu padanya."

Senyum di wajah Yechan menghilang, namun tak mengatakan apa-apa.

Jaehan kembali melanjutkan, "Yechanie, aku ingat sesuatu. Aku rasa memang pernah mendapatkan surat dan ada Sebin juga di sana. Jadi, aku memastikan hal itu padanya."

"Lalu, apa katanya?"

Jaehan mendongakkan kepala saat mendengar nada Yechan yang berubah.

"Yechanie, bahkan meski Sebin yang memberikannya padaku, dia tak bersalah. Mau kah kau mendengarkan ceritaku dulu sebelum menyimpulkan sesuatu? Please ..."

Melihat mata sendu penuh permohonan seperti itu, Yechan tak mampu melakukan apapun selain memberikan anggukan walau hatinya tak menginginkan itu.

Ia sadari, Jaehan adalah kelemahan terbesarnya saat ini.

"Sebin pernah memberiku surat, lalu aku berkata bahwa aku tidak mau membukanya. Kau tahu, membuka surat cinta sama saja aku harus memberi jawaban pada pengirimnya." Jaehan mendesah, lalu kembali berbicara, "Aku tahu itu egois, tapi aku benar-benar memegang prinsip itu sejak dulu."

Panjang lebar Jaehan menjelaskan, namun bukannya jawaban, Jaehan malah mendapatkan pertanyaan.

"Jika aku melakukan itu, kira-kira ... bagaimana perasaan hyung?"

Dalam cerita selalu ada beberapa sisi yang harus diketahui. Di sisi Jaehan, tindakannya adalah sesuatu yang benar dan terkesan aman. Namun, di sisi Kevin tentu saja berbeda. Bahkan di sisi Sebin dan Yechan sekarang, semua terasa bahwa Jaehan terlalu egois di masa itu.

Jaehan menunduk, ia tahu kesalahan ini berpusat padanya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Yechanie?"

Tanpa Jaehan sendiri sadari, air matanya sudah membasahi tangan Yechan yang menggenggamnya sedari tadi.

Hela pelan terdengar. Dengan hati-hati Yechan mengambil cangkir itu dari tangannya dan menaruh di atas nakas.

"Seharusnya kita sudah selesai dengan ini kemarin, hyung ..."

Jaehan tidak terisak-isak, ia juga tidak menangis tersedu-sedu, namun Yechan melihat air mata yang semakin deras mengalir. Untuk beberapa saat lamanya Yechan masih terus menyaksikan Jaehan yang tertunduk pilu.

Jaehan mungkin butuh ditenangkan, tapi perasaannya sendiri pun sulit untuk Yechan kendalikan.

Kemarin yang ia tahu bahwa Jaehan tak tahu soal surat itu. Namun, setelah semua baik-baik saja, Jaehan justru berkata bahwa pria itu ingat jika memang pernah mendapatkan surat cinta yang walaupun ia tidak tahu itu dari siapa karena menolak membacanya.

Mungkin bukan dari Kevin, tapi melihat reaksi Sebin, Yechan bahkan semakin yakin.

Sekarang, bagaimana ia harus menyelesaikan ini?

Ia yang dikenal handal di setiap mengambil keputusan pun kini kebingungan.

Ia sakit, tapi di depannya ada Jaehan yang tak ingin ia sakiti.

"Hyung ..."

"Maafkan aku ... Yechanie, maaf ... maafkan aku ..."

Yechan mengulurkan tangan, mengusap wajah yang sudah basah. Semakin tak tega saat melihat mata dan hidung yang sedikit memerah.

Yechan mendesah, ia akui ia kalah.

Ia sepenuhnya akan mengalah.

"Hyung, aku tidak akan menyalahkan kalian."

"Yechanie ..."

"Tapi, aku mungkin tidak akan bisa melupakan. Bagaimana pun, karena satu titik kecil itu ... karena kau yang tak mau membaca, dan Sebin yang melakukan entah apa pada suratnya, aku kehilangan seseorang yang tak ada duanya. Seseorang yang tak mungkin bisa digantikan oleh siapapun juga."












Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang