12

395 61 5
                                    

Jaehan berlari kecil menuju halte tempat yang Yechan janjikan. Wajahnya terlihat lebih segar dan lingkaran hitam tak lagi terlihat berkat bantuan dari Nuna-nya. Jaehan cukup lega walau harus menjual ceritanya.

Sudah pernah ia katakan sebelumnya bahwa tak ada yang gratis di dunia, segala hal akan ada bayarannya. Bahkan dengan keluarga pun hal seperti itu tetap ada.

Tentu saja kakaknya itu ingin tahu mengapa Jaehan sampai tidak tidur semalaman. Mau tak mau, Jaehan pun mengatakan apa yang tengah ia rasakan.







"Aku menyukai seseorang. Laki-laki. Dia anak baru di kantorku."

Pikirnya akan dimarahi, namun tidak. Nuna-nya justru tampak senang kelihatannya.

"Kupikir aku akan menjadi iparnya Sebin. Melihat kalian yang selalu bersama kemana-mana. Syukurlah kau menyukai orang lain."

Bukan hal baru jika kakaknya dan Sebin selalu bertengkar setiap kali bertemu. Jaehan sendiri enggan melerai, ia anggap sebagai hiburan, dan membiarkan berlalu setelah itu.

"Nuna, lama-lama aku bisa mengira kau menyukai Sebin."

"Bahkan dalam mimpi pun itu tidak akan pernah terjadi," Nuna-nya terlihat emosi, tapi Jaehan memberinya tawa kecil yang tentu langsung kena pukulan ringan di atas lengan.

"Jangan macam-macam."

"Iya, iya ... cerewet sekali."

"Apa katamu?"

Jaehan menggeleng sembari menyuguhi kakaknya itu sebuah cengiran.

"Tapi, Nuna ... aku menyukai laki-laki, apa nuna sungguh tak apa-apa?"

Sembari mengoleskan entah apa ke wajahnya, Jaehan melihat kakak perempuannya itu tersenyum. Perubahan moodnya sangat mengerikan. Sebentar galak, sebentar kalem, sebentar bisa manis begini.

"Memangnya kenapa kalau dia laki-laki? Asal kau suka, aku pasti akan mendukungmu. Jadi, kapan kau akan membawanya kemari?"

Jaehan berubah malu, "Kami belum ada hubungan yang sejauh itu, Nuna. Sepertinya juga hanya aku yang menyukainya."

Ini sungguhan, Jaehan belum berani menyatakan bahwa Yechan memiliki perasaan hanya karena sebuah pesan.

"Jika dia tidak menyukaimu, lalu kenapa mengajak kencan pagi-pagi begini?"

"Kami tidak kencan, Nuna. Hanya berangkat ke kantor bersama."

Nuna-nya mencibir pelan, "Terdengar sama saja untukku."

"Nuna ...."




Saat itu Jaehan tak bisa lagi berkata-kata. Ia juga tak mau menerka-nerka. Ia jelas takut jika ternyata kenyataan tak berjalan sesuai ekspektasinya.

Benar saja ...

"Jaehanie! Lama sekali, ayo masuk! Nanti kita bisa terlambat."

Di sisi Yechan yang duduk di balik kemudi, sudah ada Sebin yang membuka kaca jendela sembari melambaikan tangan, dan memanggil namanya.

Senyum ceria yang tadi ditunjukkannya langsung sirna saat itu juga.

"Yechan-ah ... kupikir kau hanya mengajakku." batin Jaehan merana.

Sayangnya, ia tak berani menyuarakannya. Jaehan memaksakan senyum dan mendekat. Berusaha tegar, ia membalas sapaan sahabatnya. Sampai ia mendengar suara notifikasi dari ponsel yang sedari tadi ia genggam erat sekali.



Hyung, mian ...


Jaehan mendongak, matanya bertemu tatap dengan Yechan yang memandangnya tanpa senyuman.

Helaan berat Jaehan keluarkan sebelum ia menganggukkan kepalanya pelan.

Tidak tahu juga kenapa ia melakukannya. Seolah hal barusan adalah sebuah keharusan.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang