41

305 44 12
                                    

a.n : btw, ini cerita bakal panjang, ga cukup selesai di chapter 50. maafkan yaaa 😔 mana keknya gw kena WB lagi ni 😩



*

*

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



*

*

*




Yechan mengendarai mobilnya lebih cepat dari biasanya. Ia hanya ingin segera sampai dan mengguyur kepalanya. Air dingin pasti mampu membuatnya keluar dari apapun yang ia khawatirkan saat ini.

Tak ada yang salah dengan Jaehan. Di sini, ia saja yang tak tahu diri.

Ia harus berhenti. Berhenti memperlakukan Jaehan seperti tadi.

Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba gelisah. Tidak tahu apa yang membuatnya memutuskan untuk berhenti melakukannya.

Jaehan pasti kebingungan.

Tapi, tak ada yang mengetahui, betapa ia merasa bersalah karena sudah merenggut segala yang Jaehan miliki  hanya karena keegoisannya di sini.

Tapi, mengapa baru sekarang? Mengapa itu tidak memukul kepalanya di saat pertama?

Mungkin ia harus meminta maaf. Mungkin juga ia harus memberi penjelasan agar Jaehan tak menyangka dirinya seorang pecundang.

Malam ini kacau, bukan karena siapa-siapa melainkan dirinya.

Mengapa juga keraguan tiba-tiba datang kepadanya di saat semuanya mulai terasa baik-baik  saja?

**

Esok harinya, Yechan menepati janji. Pagi-pagi sekali ia sudah tiba di depan rumah sang kekasih hati. Ia berniat untuk mengajak Jaehan sarapan sebelum ke kantor hari ini.

Lima menit setelah mengirim pesan, sosok yang ia tunggu keluar juga dari dalam rumah yang tertutup pagar. Jaehan ceria seperti biasa.

Yechan kembali bimbang, apa Jaehan baik-baik saja setelah ia yang bersikap seperti pengecut semalam?

Yechan keluar, lalu membukakan pintu. Jaehan tersenyum, berterima kasih dengan wajah tersipu. Benar-benar terlihat normal. Masih tampak seperti Jaehan yang periang dan sering salah tingkah dengan hal kecil yang ia lakukan.

"Hyung, kau sudah sarapan?"

Jaehan menggeleng, "Kau sendiri?"

"Aku ingin mengajakmu sarapan dulu. Syukurlah kau belum sarapan."

"Beli sandwich saja, kita makan di kantor nanti. Bagaimana?"

Yechan setuju. Ia pun melajukan mobilnya setelah itu.

Dalam perjalanan, Jaehan banyak bicara. Bercerita tentang banyak hal padanya. Yechan pun hanya mendengarkan seperti biasa, sesekali menanggapi, dan menyuguhkan tawa jika Jaehan mulai melontarkan leluconnya.

"Yechanie?"

"Ne, hyung ..."

"Kau tak ingin minta maaf padaku? Sejak tadi aku menunggumu mengatakan itu."

Tepat saat Jaehan itu, mereka tiba di kedai sandwich yang cukup terkenal di kota mereka. Warna hijau mencoloknya cukup menyegarkan mata.

Yechan memarkir mobil di sisi jalan, lalu tak bergeming untuk beberapa saat.

"Yechanie?"

Panggilan kedua, barulah Yechan menoleh. "Hyung, sebelum aku meminta maaf, ada yang ingin aku tanyakan ..."

"Hm? tumben, biasanya kau langsung mengatakan apapun dengan percaya diri. Memangnya apa yang ingin kau katakan, Yechanie?"

"Malam itu ... saat aku melakukan itu padamu, apa kau ... hm-"

"Bicara yang jelas, Yechanie. Aku tak mengerti." Jaehan memotong dengan tak sabar.

"Saat kita melakukannya malam itu di rumahku, apa kau merasa terpaksa? Atau ... apa kau merasa aku terlalu memaksamu?"

Bibir Jaehan terkatup. Lama hening melanda, sampai Yechan dapati pipi yang semula biasa saja, kini berubah ronanya.

"Hyung?"

"Karena itu semalam kau kabur dariku? Kau mengkhawatirkanku?"

Satu anggukan Yechan berikan.

"Kenapa kau baru bertanya sekarang? Padahal aku sudah sampai sakit dan demam dua hari karena dirimu."

"Maafkan aku ..." Yechan tampak putus asa, "Seperti ada yang memukul kepalaku semalam dan perasaan itu benar-benar tak bisa aku abaikan. Karena itu aku bertanya ..."

Melihat Yechan yang seperti itu, anehnya membuat Jaehan merasa lucu. Ia selalu melihat Yechan adalah sosok pria yang jauh dari kata ragu-ragu. Apapun yang dilakukannya pasti terlihat sempurna. Bahkan meski itu menyakitinya, Jaehan tidak bisa memandangnya berbeda.

"Yechanie, bukankah kau biasanya peka terhadap sekitarmu?"

"Aku tidak seperti itu," sanggahnya.

Tapi, Jaehan memaksa, " Ya, kau selalu peka, karena itu aku yakin kau juga tahu bagaimana perasaanku, bagaimana responku ... kau tahu benar aku tak keberatan, kau juga pasti bisa merasakan betapa aku menyukainya."

Yechan tak mengatakan apa-apa. Mungkin tengah memikirkan kata-katanya.

"Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Jika tak mau, aku pasti akan mengatakannya padamu."

"Benarkah?"

"Tentu. Tapi, Yechanie ... apa kau yakin hanya karena ini? Tak ada alasan lain lagi?"

Yechan tak menyangkal, namun juga tak mengiyakannya. Ia hanya meminta maaf sekali lagi lalu pergi membeli apa yang mereka rencanakan tadi. Meninggalkan Jaehan dengan sejuta tanya.

Tapi, Jaehan bisa apa?

Ia sendiri pun memiliki masalah lain yang membuatnya ragu. Haruskah ia mengatakan pada Yechan atau memilih untuk menyimpan semuanya sendirian.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang