17

424 62 3
                                    

Unit yang Yechan tempati terlihat rapi. Jaehan berpikir mungkin ada yang membantu, tapi memilih untuk tak mempertanyakan hal itu.

Masih merasa iri karena sahabatnya tinggal di samping pria yang ia sukai. Ironis sekali. Padahal sudah jelas jika Yechan menyambut hatinya, tapi mengapa juga ia harus iri dengan sahabatnya?

Menghela pelan, Jaehan melepas sepatu dan menyusul ketiga pria besar di depannya yang sudah mengeluarkan belanjaan. Ada beberapa bungkus mie instan, cemilan, minuman ringan, bahkan bir pun tak luput dari perhatian.

Jaehan menggeleng pelan karena mengingat Sebin yang mudah mabuk. Ia jelas malas jika harus menyeret sahabatnya itu keluar dari tempat ini nantinya. Yah, walaupun mereka belum benar-benar berbaikan, tapi tidak tahu apa yang Yechan katakan sampai Sebin mau diajak ke sini bersamanya.

"Duduklah, hyung." Yechan tersenyum sambil menepuk tempat di sebelahnya. Mereka berempat memutari meja kecil di depan televisi.

"Maaf rumahku kecil. Semoga kalian nyaman, ya."

Tentu yang Yechan maksud adalah Jaehan dan Sebin, karena jika Hyuk, sudah jelas pria itu bisa keluar masuk. Jaehan juga baru tahu jika Hyuk dan Yechan sudah bersahabat sejak kecil. Sama seperti dirinya dan Sebin. Entah ini hanya kebetulan, tapi ia senang mendengarnya. Mungkin karena merasa memiliki satu persamaan dengan Yechan.

"Ini nyaman, sangat rapi." juga wangi, batin Jaehan.

Sebin sendiri masih diam dan sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas, sementara Hyuk berdiri dan pergi ke dapur, katanya ingin memasak mie instan.

"Yechan-ah, apa tidak apa-apa?"

Yechan menoleh, terlihat sangat tampan jika dilihat dari sisi Jaehan. "Hm?"

"Kau mengundang kami berdua ke sini."

"Tentu." Yechan menopang kepalanya dengan satu tangan, tatapannya mengarah penuh ke arah Jaehan. "Kenapa bertanya, hyung?"

Jaehan menggeleng. Sesekali menoleh ke arah Sebin, tapi tetap sahabatnya itu menolak untuk bertemu tatap.

"Aku sebenarnya juga ingin tahu."

"Tentang?"

"Tentang kalian."

Saat Yechan mengatakan kalian, barulah Jaehan melihat sedikit reaksi dari Sebin.

"Kalian? Kurasa kau hanya ingin tahu tentang Jaehan." Sebin menatap ke arah Yechan, "Kau mau aku ceritakan?"

Jaehan menggigit bibir, semakin merasa bersalah, entah kenapa seolah Sebin hanya ingin menegaskan kemarahan pada dirinya.

"Sebin-ah ..."

Yechan mengangguk, "Uhm, ceritakan saat kalian masih berada di sekolah. Apa sebelum ini ada pria yang sama-sama kalian sukai juga? Atau yang menyukai salah satu dari kalian berdua?"

Pria itu sungguh tak ragu untuk menunjukkan bahwa ia memang tahu.

Jaehan dengan cepat menoleh ke arahnya, tapi seolah tak terpengaruh, pria itu masih memandang Sebin, menunggu dengan sabar sampai sahabatnya itu mengatakan sesuatu.

Tapi, Sebin hanya menggeleng, "Tidak. Tidak ada yang seperti itu."

"Kau yakin? Kalian yakin? Kurasa ada hal-hal yang kalian lupakan, mengingat itu sudah terlalu lama."

Raut Sebin berubah, tapi Jaehan juga tak kalah.

Keheningan menyelimuti, sampai suara Hyuk terdengar, "Yechan, bantu aku."

Yechan tersenyum sebentar pada mereka, lalu berdiri untuk membantu sahabatnya. Sementara Jaehan dan Sebin masih diam, sesekali saling melihat seolah berbicara lewat tatapan mata.

Mengapa Yechan bertanya hal seperti itu?

Dan mengapa meski tak ingat sesuatu, rasanya ada hal yang begitu mengganggu.

Apa itu?

"Jaehan hyung, Sebin hyung ... kenapa diam saja? Ayo makan dulu. Setelah itu kita bisa mengobrol lagi, seperti tadi."

Jaehan dan Sebin yang sedari tadi diam, kini sama-sama mengangguk. Mengambil sumpit juga mangkuk, mereka makan dengan kepala tertunduk. Lain hal dengan Yechan dan Hyuk, keduanya tampak santai, seperti biasa membicarakan hal-hal yang sulit untuk Jaehan pahami.

Terkadang keduanya membawa Sebin dan Jaehan ke dalam obrolan, tapi seolah pikiran yang lebih tua melanglang kemana-mana, mereka tak terlalu menanggapi setiap candaan yang lebih muda berikan. 

Kalimat Yechan tadi seperti hipnotis, tak tahu artinya tapi mampu menyedot habis kesadaran.

Saat masih sekolah, ya ... Jaehan terus mengingat-ingat,  tapi ia tetap buntu. Seingatnya, ia dan Sebin belum pernah menyukai seseorang yang sama sebelum Yechan. Tapi, ia juga tak ingat jika ada yang menyukainya sebelumnya.

Jika itu pernah terjadi, bukankah seharusnya ini menjadi memori yang tak terlupakan?

Menyukai seseorang adalah hal yang mengesankan, tak seharusnya mereka bisa dengan mudah melupakan.

Memijit kening, Jaehan merasa pusing.

"Hyung, kau kenapa? Pusing?" Yechan menatapnya khawatir. Ditambah dengan tangan dingin yang menyentuh kening.

"Tidak, Yechan-ah ... aku tidak apa-apa."

"Sungguh?"

"Mm."

Yechan terus bertanya, tapi Jaehan juga keras kepala. Pada akhirnya mereka kembali seperti semula, meski setiap menitnya Yechan kembali memastikan bahwa Jaehan baik-baik saja.

Sementara di depan mereka, Sebin memandang keduanya sembari menghela.

"Hyung, kutuangkan lagi."

Beruntung ada Hyuk. Sebin mengangguk dan menyodorkan gelas kosongnya untuk kesekian kali.

"Gomawo, Hyuk."

Jika Hyuk tidak memohon padanya, ia rasa datang kemari akan jadi pilihan terakhirnya.

Meski begitu, bukankah sudah terlambat untuk menyesali?

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang