54

315 47 18
                                    

Yechan tak sepenuhnya berbohong saat mengatakan Hyuk yang merengek mengajaknya, ia hanya berbohong perihal ia lupa dengan undangan yang diberikan padanya.

Ia tak mungkin lupa, ia hanya mengabaikannya. Ia berniat untuk tidak datang. Tapi, sekarang ia harus.

Awalnya ia baik-baik saja dengan Jaehan yang bersikeras ingin menyembunyikan hubungan. Tapi, kini ia tak bisa.

Ia harus menunjukkan siapa pemiliknya.

Terlebih saat ia melihat Jaehan bersama yang lain tanpa memberi tahunya.

Siapa laki-laki itu, Yechan ingin tahu. Hanya saja, ia juga tidak tahu mengapa sulit sekali mengendalikan amarahnya.

*

*

*

Jaehan menunggu dengan sabar dan hari minggu yang ia tunggu akhirnya datang juga.

Sepanjang waktu, ia bisa lihat kakaknya yang terus diam tak bicara, bahkan dengannya.

Itu semakin membuat Jaehan  penasaran. Ia lihat orangtuanya tampak sumringah, tak peduli jika anak perempuannya tengah gelisah.

Ia tahu mereka egois sedari dulu, tapi tak Jaehan sangka jika begitu tak pedulinya pada sang anak yang jelas menolak.

Jaehan sebenarnya senang, karena pertemuan hari ini ia jadi bisa bertemu lagi dengan kakak pertamanya yang kini berubah seperti tuan puteri, tak kemana-mana selain di istananya. Saat Jaehan bertanya mengapa tak pernah mengunjunginya, kakaknya itu hanya menjawab jika sibuk mengurus keponakannya yang masih balita.

Jaehan tak banyak bertanya, ia hanya mengangguk, mencoba memahami apapun alasan yang saudara perempuannya itu beri.

Kembali ke kakak keduanya, Jaehan rasa nasibnya tak akan berbeda. Ia merasa sedih tiba-tiba, pada akhirnya ia akan sendiri juga.

Menghela, Jaehan mengusap pelan punggung kakaknya, mencoba memberi semangat meski ia tak tahu juga alasannya.

Sampai Jaehan melihat dua orang pria menjadi tamu mereka.

Yang satu sepertinya sudah berumur jauh di atasnya, sementara yang lebih muda tampaknya sebaya.

"Itu calon suamimu?" bisik Jaehan, matanya mengarah pada pria muda berambut cokelat. Tampan luar biasa. Sempat berpikir, mengapa kakaknya tak suka? Pria itu bahkan hampir sempurna di matanya.

Akan tetapi ...

"Bukan, Jaehanie ... bukan dia, tapi ayahnya."

Jaehan membulatkan mata, tak lagi berani untuk mengamati.

Jadi, kakaknya akan jadi ibu tiri dari pria yang seumuran dengannya?

Tidak tahu mengapa, tapi amarah tiba-tiba menguasainya.

*

*

*

Jaehan hampir meledak dalam ruangan, beruntung kakak pertamanya menyuruhnya untuk keluar.

Kakaknya akan dijodohkan dengan pria yang berusia dua kali lipat dari dirinya?

Demi Tuhan, Jaehan merasa merinding saat mengatakannya.

Ia merasa trauma meski bukan dirinya yang mengalami semua ini. Pantas saja nuna-nya stress sekali.

Ini gila.

Ada apa dengan orang tuanya? Membuatnya bingung dan tak percaya.

Ia pun pergi dengan berapi-api, menuju taman dekat rumahnya. Itu lengang, cukup membuat Jaehan tenang. Ia menendang pasir dan rumput yang tak bersalah. Kekesalan ia luapkan, sampai terdengar suara kekehan.

Menyeramkan. Jaehan pikir itu hantu, sampai ia mendapati sosok yang tadi sempat ia puji.

"Kau mengikutiku?" Jaehan menyipitkan matanya. Cukup kesal sebenarnya.

"Aku diminta orang tuamu. Kupikir kau akan pergi jauh, rupanya hanya kemari."

Jaehan berdecih. Namun, bukannya tersinggung, pria itu malah mengulurkan tangannya. "Namaku Song Hangyeom. Ngomong-ngomong, kau akan jadi pamanku nanti."

*

*

*

"Kenapa? Kenapa tak mau aku dan orang tuamu bertemu? Kau takut aku akan mengatakan bahwa kita memiliki hubungan?"

"Bukan begitu, Yechanie ..."

Yechan benar-benar menyebalkan. Jaehan bahkan tak tahu mengapa Yechan menggila tanpa alasan yang tak diketahuinya.

"Yechanie, kau sadar dengan semua yang kau lakukan dan katakan malam ini?"

Yechan masih terdiam.

"Kau tiba-tiba memberi undangan yang tinggal dua hari lagi, lalu membuatku tak punya pilihan karena aku tak mau disalahkan jika kau tak datang. Sekarang tiba-tiba saja kau mengajakku pindah karena kau sudah menyewa bahkan tanpa bertanya. Lalu, kau juga ingin bertemu orang tuaku. Yechanie, kau ini kenapa sebenarnya?"

Yechan menepikan mobilnya, dengan dingin ia bertanya tanpa memberi Jaehan jawaban. "Laki-laki itu, siapa dia?"

"Laki-laki?" Jaehan bahkan lebih bingung lagi. "Siapa? Yang mana?"

Yechan memukul kemudinya, cukup keras hingga Jaehan bahkan dibuat terkejut sekaligus takut.

"Aku tidak tahu dia siapa karena itu aku bertanya!" keras nada suara Yechan yang belum pernah sekalipun ia tunjukkan.

Jaehan jelas lebih bisa mengontrol emosi, karena ia tak balas berteriak, ia diam, dan mencoba mengingat siapa yang Yechan maksudkan.

Selama waktu dekat ini, ia bertemu dengan siapa. Jaehan dan memori buruknya, ini benar-benar bencana.

"Yechanie-"

Ingin Jaehan menjelaskan bahwa ia tak mengingat siapapun yang bersamanya. Namun, Yechan lebih dulu menyela, "Minggu malam, saat aku mengajakmu pergi. Kau bilang sedang ada urusan keluarga, tapi aku melihatmu di taman. Pria itu ... siapa dia?"

Seolah ingatan-ingatan itu memukulnya, Jaehan yang teringat langsung memejamkan mata.

"Jangan berkata bahwa dia adalah saudara ataupun seseorang yang memiliki hubungan darah denganmu. Karena aku bisa saja mencari tahu identitas pria itu. Sekarang katakan, siapa dia hingga kau menyembunyikan dan tak kunjung menjelaskan."

Kecemburuan Yechan padanya terasa semakin menggila. Entah Jaehan harus takut atau bahagia karenanya.

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang