07

409 59 2
                                    

Itu adalah hari libur dan satu-satunya kabar yang membuatnya langsung buru-buru ke rumah Sebin pagi-pagi adalah saat mendengar temannya itu memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri.

Jaehan sebenarnya sudah mendengar Sebin berkali-kali mengatakan keinginannya untuk pindah, namun tampaknya diskusi dengan orang tuanya sedikit alot hingga tak kunjung terealisasi.

Ia juga tak habis pikir mengapa. Mengapa Sebin ingin mandiri padahal sudah tahu bagaimana orang tua mereka akan bereaksi soal ini?

"Tidak ada salahnya mencoba. Kita sudah dewasa dan mungkin saja mereka juga sudah berubah pandangan terhadap kita." kata Sebin saat itu.

Jaehan tentu ragu, lalu Sebin melanjutkan, "Mereka mengatur kita sedemikian rupa  saat anak-anak karena khawatir soal masa depan. Tentang bagaimana kita akan menjalani hari saat sudah dewasa. Tapi, melihat kita yang baik-baik saja hingga saat ini, bukankah seharusnya itu cukup bagi mereka untuk percaya?"

Meski begitu, Jaehan tetap belum berani melewati batasan ini. Ia ragu, selain itu ia juga takut. Bukan takut pada orang tuanya, melainkan pada masa depan yang belum pasti.

Bagaimana jika saat ia tinggal sendiri akan datang banyak hal yang tak bisa ia tangani?

Mungkin Sebin benar, ia selalu menjadi pengecut bahkan untuk kebahagiaannya sendiri.




**


Sebin mengepaki barang-barangnya. Hanya dua koper, tapi membutuhkan waktu seharian baginya untuk menata. Padahal sampai di tempat barunya, itu akan diacak-acak lagi. Sungguh sia-sia rasanya.

"Sebin-ah, katakan padaku, selain ingin mandiri, apa sebenarnya alasanmu ingin pindah?" tanya Jaehan yang ikut membantu siang itu.

Sebin terdiam cukup lama, lalu mulai membuka mulutnya di detik ke lima, "Aku ingin bebas."

Untuk pertama kali, Jaehan mendengar kalimat itu dari sahabatnya.

Ingin bebas, ya?

Kenapa justru terdengar seperti beban di benak Jaehan?

Apa itu bebas?

Apa dengan bebas ia bisa bahagia?

Sungguhan?

Akan tetapi, jika ia pikir lagi, bukankah mereka sudah bahagia walaupun berada dalam sangkar ini?

Jaehan melamun. Sebin pun tak mengatakan apa-apa lagi.

"Sebin-ah, apa kau yakin bisa? Hidup sendiri sepertinya tak semudah kedengarannya."

"Tidak tahu jika tidak mencoba. Kau tak ingin melakukan hal yang sama?"

Jaehan tampaknya berpikir, walau ujung-ujungnya  jawabannya sama seperti sebelumnya. "Orang tua dan kedua kakakku pasti akan khawatir."

"Kenapa kita selalu memikirkan mereka? Kenapa tidak sekali saja kita memikirkan diri kita sendiri? Apa yang paling kau inginkan ... apa kau tak ingin meraihnya dengan tanganmu sendiri, Jaehanie?"

Itu hanya kalimat tanya yang dikatakan begitu ringan, tapi kenapa sesak terasa di hati Jaehan?

"Aku tahu kau adalah anak bungsu di keluargamu, sudah begitu kau laki-laki satu-satunya, mana mungkin dibiarkan hidup di luar tanpa penjagaan. Jaehanie, aku tak bermaksud mengajakmu, tapi apa kau sungguh tak menginginkan ini? Tinggal sendiri, hidup sendiri, setidaknya kita bisa tidur dan mandi di waktu yang kita sukai."

Sebin terkekeh, tanpa tahu jika Jaehan bahkan sudah tak bisa tersenyum lagi.

"Apa yang kau janjikan pada mereka?"

Tawa Sebin terhenti. Tentu saja itu tidak gratis. Selalu ada bayaran di setiap keinginan.

"Beritahu aku, Sebin-ah ... bagaimana caramu meyakinkan paman dan bibi agar bisa pergi dari rumah ini?"

Itu ...

"Pasti ada syaratnya, 'kan?"

Jaehan selalu tak suka dengan pertukaran seperti itu.

Lama hingga Sebin mau berbicara, "Tidak ada, Jaehanie. Mereka baik padaku kali ini."

Sebin tersenyum, namun senyuman yang ia suguhkan itu palsu, Jaehan tahu itu.

  

Triangle✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang