Bab 25 Kapan Terakhir Kamu Masak?

207 9 0
                                    

Restoran Ampalove menyambut kedatangan Mahira dengan kesunyian. Kursi dan meja pelanggan tertata rapi dalam keadaan kosong. Terasa sedikit menakutkan memang. Karena biasanya Mahira mendapati tempat ini begitu padat oleh keberadaan para pengunjung atau sudah dipadati para karyawan yang berlomba-lomba menyantap jatah makan mereka. Entah itu pagi, siang, atau malam.

Mahira melirik jam dinding yang menggantung tepat di atas pintu masuk area dapur. Satu menit lagi menuju jam sebelas. Ia datang lebih awal rupanya. Ketika ia membuka pintu menuju dapur, Andra tak ada di sana.

Mahira tak kecewa. Ia tahu harus menemukan Andra di mana. Kalau bukan area belakang dapur, memang di mana lagi coba? Dan benar saja. Andra ada di sana tengah duduk sendirian sambil melamun. Ada secangkir kopi di meja bundar yang berada di sampingnya.

"Udah dateng?"

Andra hendak bangkit dari kursinya menghampiri Mahira. Namun perempuan itu sendiri malah duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Mendengar desahan napas panjang Mahira disertai raut wajahnya yang semrawut, Andra memutuskan duduk kembali di kursinya.

"Mau kopi?" tawar Andra. Tak berniat segera mengajak Mahira untuk menyaksikan demonstrasi menu terbaru yang tadi pagi dijanjikannya.

Mahira menggeleng. "Setelah ini aku mau tidur, Dra."

Mahira tak meliriknya sedikit pun. Meski begitu, Andra dapat menangkap tatapan perempuan itu dipenuhi beragam makna. Desahan napas beratnya tadi, raut wajah semrawutnya, lalu kini tatapan kosongnya yang entah tertuju ke mana membuat Andra tak merasa tenang.

"Dari pagi bengong terus. Sekarang malah ngelamun. Kenapa sih, Hira? Cerita aja kalau emang ada masalah? Abang siap kok buat dengerin ayang cerita apa pun!"

Delikan tajam Mahira sukses membuat Andra tertawa. Gurauannya berhasil membuat raut wajah perempuan itu berubah galak seperti biasanya. Ini lebih menenangkan Andra ketimbang melihat Mahira dengan wajah tertekuk seperti tadi.

"Mau masak kapan jadinya? Ini udah jam sebelas. Kok malah duduk-duduk di sini sih?" dumel Mahira yang tiba-tiba jadi jengkel.

Maunya sih Andra menyalahkan Mahira karena dia sendiri yang barusan malah duduk di kursi, padahal Andra sudah siap kembali ke dapur. Tapi kali ini Andra memilih mengalah. Jika biasanya ia akan mendebat Mahira dengan sejuta pendapat, kali ini Andra memilih menjelma menjadi si lelaki yang secara sukarela disalahkan.

Karena perempuan selalu berada di pihak yang tak mau disalahkan, kan? Alias selalu benar!

"Ayo sekarang!"

Andra masuk ke dapur lebih dulu, setelah itu baru disusul oleh Mahira. Perempuan itu berdiri tak jauh dari Andra yang mulai sibuk mengeluarkan wadah, beberapa bahan makanan, yang kemudian ditaruh di atas meja baja berukuran besar. Tapi tiba-tiba Andra menyodorkan pegangan sebuah pisau ke hadapan Mahira yang sukses membuat Mahira melangkah mundur.

"Apa nih?" tanyanya takut-takut. "Kamu mau bunuh aku?" tuduhnya penuh curiga.

"Bukan, Hira. Dari pada kamu cuma bengong doang kayak patung, kenapa gak bantu kupasin bawang merah sama bawang putihnya?" Andra meluruskan tuduhan itu dengan tenang.

Lucu juga tadi melihat Mahira melangkah mundur hanya karena takut saat ia menyodorkan pisau itu. Padahal Andra mengarahkan gagang pisaunya, bukannya menodongkan bagian tajamnya seperti seorang pembunuh.

Ragu-ragu Mahira menerima gagang pisau dari tangan Andra. "Oh ... kirain apa."

"Mau pake apron gak?" tawar Andra lagi sambil menyodorkan lipatan kain berwarna putih ke arahnya.

Mahira mengangguk seperti anak kecil. Segera mengambil apron yang diberikan Andra setelah sebelumnya menaruh pisau itu di atas cutting board.

Andra memerhatikan perempuan itu yang tampaknya tak kesulitan mengenakan apronnya. Andra sendiri memilih untuk mencuci beras yang ada di wadah. Tugas yang diembankan pada perempuan itu pun dilakukan dengan ... tunggu! Andra merasa ada yang aneh.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang