Bab 17 Merindu Mahira

277 8 0
                                    

"Sayuuurrr!! Tahuuu! Tempeee!"

Zahra membuka gerbang rumahnya dengan hati-hati. Sebuah gerobak sayur berada tak jauh dari depan rumahnya. Tampak ada beberapa wanita berusia matang merangsek perlahan mendekati, begitu juga dengan dirinya dan Mamah Lia yang keluar dari rumah nyaris bersamaan.

"Pagi, Mah ...." sapa Zahra ramah. Lengkap dengan seulas senyum dan kakinya pun perlahan mendekati Mamah Lia.

Sayang, Mamah Lia tak menanggapi sapaannya dan memilih memalingkan wajahnya, lalu menyapa para tetangga yang sudah mengerumuni gerobak si tukang sayur.

Zahra diam sejenak. Langkahnya terasa berat. Ingin sekali ia balik arah, masuk kembali ke dalam rumah. Namun, ia juga tak bisa membatalkan rencananya membeli beberapa bahan makanan dari si tukang sayur. Menyandang status sebagai istri dijalani Zahra bukan hanya dengan tumpang kaki saja di rumah. Ia menjalankan kewajiban sebagai seorang istri pada umumnya. Memasak, mencuci, sampai melayani suami, semua dilakukannya sendiri. Tanpa ada asisten rumah tangga.

Zahra mencoba ikut berbaur dengan percakapan heboh para tetangganya itu. Bahasannya nyaris sama seperti kemarin. Tentang anak gadis Bu RT yang sering pulang larut malam diantar cowok berpakaian serba hitam yang katanya memiliki tato ular di pundak.

"Anak zaman sekarang itu yah gak punya rasa malu jalan sama lawan jenis. Mana pake baju serba terbuka lagi! Gak kedinginan apa, yah? Mana sering pulang malem lagi."

"Makannya, saya gak kasih izin si Lastri buat keluyuran lebih dari jam empat sore, Bu. Jaga-jaga! Sebagai orang tua, sudah kewajiban kita kan jaga anak gadis kita dengan baik? Jangan sampai mereka malah hamil di luar nikah lagi! Ih! Amit-amit pokoknya."

"Gak keluyuran keluar rumah juga gak menjamin anak gadis Ibu tuh baik. Banyak tuh kasus-kasus anak yang pamer foto seksi lewat media sosial, kan? Hati-hati, Bu. Jagain anak jangan cuma fisiknya aja. Harus jeli juga jejak rekamnya di media sosial. Jangan sampai anak gadis kita diam-diam buka aurat di luaran sana!"

"Iya, tuh. Bener banget! Penjagaan kita buat anak di zaman serba canggih begini tuh meski double ekstra combo. Jangan sampai juga anak-anak kita jadi pelaku perebut laki orang! Iya, gak?"

Zahra yang tadinya hanya tersenyum mendengarkan celotehan asyik ibu-ibu di sana, mendadak tak nyaman mencomot seikat kangkung sejauh tangannya menjangkau. Ekor matanya menangkap para ibu yang secara terang-terangan memerhatikannya. Ketika Zahra mendongak, benar saja! Banyak pasang mata tengah meliriknya. Ada yang pura-pura tak melihat, tapia da juga yang kembali meliriknya meski sudah ketahuan.

"Bukan cuma anak cewek yang kelakuannya harus diwaspadai, Bu. Nyatanya kan gak sedikit anak-anak lelaki yang doyan rebut perempuan milik orang lain."

Zahra mulai merasa tak nyaman mendengarkan percakapan mereka. Telinganya terasa gatal dan hatinya membara bagai nyala api. Mamah Lia yang sedari tadi diam juga tak banyak bicara. Ia juga ikut mendengarkan celotehan tetangga yang tadi sudah disapanya ramah.

"Pokoknya kita jadi orang tua harus bisa didik anak kita jadi orang baik. Jangan sampai salah kaprah dan bertindak!"

"Betul! Apalagi sampai merugikan atau menyakiti orang lain. Mending sih kalau nyakitinnya orang asing. Lah? Kalau saudara sendiri yang disakitin, apa gak keterlaluan?"

Zahra membanting seikat kangkung yang sudah siap ia beli ke sebarang arah. Semua orang di sana terenyak bukan main. Tak terkecuali Mamah Lia. Zahra dipandangi orang-orang di sana dengan tatapan sengit.

"Ibu-ibu kalau ngegosip tuh harus berdasarkan fakta, bukannya opini. Nanti jatuhnya malah jadi fitnah kalau didenger sama orang lain!" sembur Zahra tanpa tedeng aling-aling. Emosinya bergemuruh.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang