Bab 103 Terima atau Tidak?

117 4 0
                                    

Mata Andra menyipit seiring jarinya menyentuh layar tab yang ada di pangkuan. Sesuatu yang terpampang di layar tengah membuatnya terkejut. Bukan hanya itu saja, ia tak mengira akan berhadapan dengan situasi macam ini.

“Katering Lapar Aja?”

Muel yang tengah menyeruput teh manis di depannya mengangguk. Ia tampak enggan berhenti menyeruput air dingin itu yang telah berhasil menyembuhkan rasa dahaganya.

“Lo tahu ini bisnis punya siapa, Mu?” tanya Andra benar-benar ingin menguji pengetahuan Muel sejauh apa sampai menyetujui bentuk kerjasama yang disodorkan padanya sekarang.

Muel mengangguk sambil melepaskan sedotan dari mulutnya. Menelannya cepat-cepat. "Tahu! Punya manusia, kan? Masa iya punya jin! Mana mau mereka sewa lo buat endorse produk mereka.” Ia tergelak keras sekali. Menjawab sekenanya saja.

Wajah Andra langsung kusut. “Maksud gue, lo tahu gak kalau bisnis katering ini punya mantan gue? Huh!”

Mata Muel membola sempurna. “Apa? Mantan lagi?” Ia garuk-garuk kepala. “Siapa emang? Mantan yang mana sih? Kakaknya si Ayu?” Lama-lama Muel pusing juga harus mendengar soal mantannya Andra, mana dari mulut orangnya sendiri lagi!

“Bukan … ini loh yang nikahannya viral gara-gara live streaming itu.” Malu-malu Andra mengakui. Meskipun video itu sudah ia hapus dari laman media sosialnya, tapi berita itu ternyata cukup sulit hilang dari ingatan masyarakat. Buktinya, potongan video dari live streaming itu masih tersebar di media sosial.

“Oh? Cewek yang katanya selingkuhin lo itu?” Muel mencoba mengingat-ingat. Tak terlalu ingat sih, tapi hanya sekedar tahu. 

Andra mengangguk. “Iya. Yang namanya Zahra itu loh!”

“Situ mantannya berapa banyak sih? Kok tiba-tiba mereka pada bermunculan gini?” Muel jengkel sekali. 

Andra angkat bahu. “Mana gue tahu! Gak pernah ngitung!”

“Seberapa playboy sih lo, Mas Chef?”

“Mereka yang suka, gue cuma terima perasaan mereka doang. Salah?”

“Tapi, Chef suka juga sama mereka, kan?”

Andra tampak berpikir. “Sama beberapa orang sih sempet ada rasa, lainnya karena kasihan.”

“Gila! Jahat amat, Chef. Kalau suka yah bilang aja suka. Kalau enggak, yah enggak. Jangan dipacarin semua dong!”

“Gue cuma ngehargain perasaan suka mereka aja. Kalau ada orang yang cinta sama kita tuh, kita harusnya menghargai, kan? Bener, gak?”

“Dasar cowok brengsek! Mentang-mentang disukai, semuanya diembat. Tahu rasa nih sekarang! Digerebek para mantan! Mampus! Awas cewek barunya Mas Chef tahu kalau Chef lagi dikerubungi lebah-lebah tua. Bisa-bisa minta putus loh nanti! Tahu rasa!” olok Muel tanpa ampun. Bisa-bisanya Andra berpikir sedemikian mudahnya soal perasaan cewek. “Menghargai sih menghargai, tapi gak perlu dipacarin semuanya juga kali!”

Andra mana takut ancaman Muel. Secara sekarang ini dia sedang terjebak cinta bertepuk sebelah tangan pada Mahira yang tak kunjung memberikannya jawaban memuaskan. Naasnya, meski jarak sudah memisahkan, perasaan Andra pada wanita itu nyaris tak berkurang sedikit pun. Malahan, makin hari ia malah semakin merindu wanita itu. Kalau bukan karena jadwal yang padat, mungkin Andra sudah terjebak dalam balutan rindu dan mati karena rindu,

“Jadi, gimana? Lo mau gue terima endorse katering ini? Mantan gue ini, Mu!” Andra masih belum yakin akan menerima tawaran pekerjaan ini.

“Terserah lo deh! Lo sendiri mau kagak bantu endorse bisnisnya mantan lo? Denger-denger sih tuh bisnis emang lagi naik daun. Itung-itung lo bantuin mantan aja, Chef. Sekalian sebagai bentuk permintaan maaf karena elo udah nyakitin dia.”

“Sialan! Tadi lo bilang gue brengsek. Sekarang, lo malah minta gue terima job ini. Lo mau bikin gue makin brengsek? Dan satu hal lagi! Bukan gue yang nyakitin cewek satu ini, tapi justru sebaliknya!”

“Oh … itu artinya posisi lo bukan brengsek lagi, tapi korban dibrengsekin cewek. Anggap aja lo lagi beramal shaleh sama mantan yang udah nyakitin lo, Dra. Itung-itung nyambung silaturahmi! Yang penting kan dia mau bayar lo.”

“Mata duitan emang lo!”

“Udah tugas gue jadi manager lo yang bikin lo sibuk dan menghasilkan duit. Kalau kagak, management bisa pecat gue bego!”

“Ah, sialan! Ini sih yang ada gue malah nelen ludah gue sendiri kalau bantu endorse bisnisnya si Zahra. Kagak ah! Gak mau gue!”

Muel menarik tab yang baru saja diserahkan oleh Andra. “Yakin lo? Gak akan berubah pikiran?”

Andra diam lagi. Berpikir lebih keras lagi. “Tapi kalau gue tolak, dia bisa ngira kalau gue masih benci sama dia, Mu.”

“Terserah lo deh! Itu urusan lo! Jadi, mau kagak nih?”

“Iya deh. Iya. Gue terima. Cuma endorse makanannya doang, kan? Maksud gue, gue gak perlu syuting bareng si Zahra?”

“Kalau dari permintaan yang punya katering sih kayak gitu. Mereka cuma minta lo review makanan mereka yang nanti bakalan mereka siapin.”

“Oke. Aman berarti. Pokoknya, jangan sampe gue ketemu sama si Zahra. Oke?”

“Beres! Gue yang atur!”

***

“Gak bisa diperaya emang lo, Mu!” dumel Andra yang langsung membabi-buta Muel dengan tinju. Padahal managernya itu tengah mengemudikan mobil dengan serius. “Gue kan udah bilang gak ada syuting bareng sama si Zahra-nya! Kenapa syutingnya jadi bareng dia?”

“Mana gue kira bakalan ada perubahan, Dra! Pihak kateringnya tuh yang minta jadi kayak gitu dengan imbalan bayarannya dinaikkan. Mana bisa gue tolak kesempatan itu, kan?”

“Mata duitan lo!”

“Gue itu realistis, bukannya mata duitan!”

Ingin sekali Andra melampiaskan kejengkelannya pada Muel saat itu juga. Tapi untung saja ia masih bisa menjaga emosinya karena ingat managernya itu sedang mengemudikan mobil. Andra tentu tak mau membahayakan nyawanya dan nyawa managernya. 

Tapi mengingat kalau sebentar lagi ia harus bertemu dengan Zahra, rasanya Andra tak bisa duduk tenang. Ia seperti orang yang sudah membuat kesalahan pada perempuan itu hingga merasa harus menghindarinya. Padahal, salah Andra memangnya apa?

Terakhir kali bertemu, rasa-rasanya urusan mereka sudah tuntas. Berakhir dengan Zahra yang menangis dan menyadari perasaannya. Setelah itu Andra pergi dan menganggap urusannya dengan Zahra selesai. Ia sudah tahu perasaan Zahra padanya seperti apa, lebih beruntungnya lagi Zahra juga jadi menyadari perasaannya sendiri saat itu seperti apa.

Masalahnya, bagaimana jika perasaan Zahra saat itu tak pernah berubah sampai saat ini? Ini jelas bukan hal yang diharapkan Andra. Ia sudah menganggap urusannya dengan Zahra tutup buku. Tamat. Kalau harus bertemu lagi, dia harus bersikap seperti apa?

Mantan? Teman lama? Orang asing? Atau orang amnesia?

Ya Tuhan … Andra benar-benar serba salah!

Muel mengintip gelagat Andra yang tampak gelisah dari balik kaca spion. Lelaki itu tampak tak bisa duduk dengan tenang. Kadang menggigiti ujung jarinya, mendesah berat, bahkan sampai mengacak-acak rambutnya sendiri.

“Lo kenapa sih? Kok jadi gelisah gitu? Grogi lo mau ketemu sama mantan yang udah selingkuhin lo? Santai aja kali! Harusnya kan si Zahra yang gelisah mau ketemu sama mantannya yang udah dia sakitin. Iya, gak?” Muel terkekeh.

“Iya! Dia emang selingkuhin gue, tapi gue juga bikin salah, Mu. Lo lupa kalau gue sekarang lagi ngejar adiknya Zahra?”

Muel angkat bahu. “Inget kok! Terus emang apa masalahnya? Yang penting kan hubungan lo sama si Zahra dah kelar. Gak masalah dong kalau elo akhirnya melabuhkan perasaan lo itu ke adiknya?”

Andra semakin tak bisa tinggal diam. Mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Muel, mobil tiba-tiba saja berhenti di depan sebuah rumah. Matanya terbuka lebar menatap papan besar yang teronggok tepat di depan rumah itu. Bertuliskan “KATERING LAPAR AJA” yang tercetak dalam huruf kapital.

Mampus!

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang