“Mahira pulang hari ini dan aku mau nganterin dia, Lang.”
Galang yang sedang mengunyah sarapannya seketika tersedak. Ia segera menenggak minuman di samping. “Kamu mau anterin dia? Sendirian? Pake apa?” sergapnya dengan banyak pertanyaan. Ia seperti tak sadar kalau tindakannya itu ditingkahi Zahra dengan memasang wajah kusut.
Zahra mencoba mengabaikan pikiran buruk yang mengintai dengan mengemas beberapa wadah plastik berisi beragam jenis olahan makanan. Ia hendak memberikannya nanti pada Mahira sebagai bekal. Kondisi Mahira saat ini dan sebelum keberangkatannya beberapa minggu lalu begitu kontras. Tampak begitu kurus dengan kulit kehitaman. Gurat kelelahan di wajahnya kentara sekali dan begitu mengkhawatirkan.
“Cuma sampe halte doang sebenarnya. Tapi aku tetep mau nganter aja sambil bawain dia ini buat bekel.” Zahra mengacungkan totebag besar yang sudah ia isi dengan wadah-wadah tadi. “Kasihan aku lihat dia. Kayak gak dikasih makan aja selama kerja di sana. Padahal kan Andra tuh Chef di sana. Awas tuh cowok kalau ketemu! Tega banget dia bikin adikku kurus begitu!”
Galang mengangguki dumelan Zahra. Sependapat. Ia nyaris saja mengajak Mahira untuk makan bersama kalau tak ingat akibat apa yang mungkin akan terjadi nanti.
Pertemuan itu begitu singkat. Galang bahkan tak sempat bertegur sapa dengan Mahira satu kali pun.
“Mau aku antar? Aku bisa antar kalian sebelum berangkat kerja,” tawar Galang. Canggung sebenarnya. Juga takut kalau Zahra berpikir yang macam-macam.
Zahra menaikkan satu alisnya, menatap Galang sinis. “Modus banget! Bilang aja pengen ketemu Mahira dan kangen-kangenan.”
Galang jadi semakin takut karena terkaannya tak meleset. Tapi, ia juga tak mau menarik kata-katanya tadi. “Ya ampun, Ra. Kok mikirnya gitu sih? Emang salah kalau aku anterin istriku sendiri?”
Zahra tak banyak mendebat. Ia cukup senang malah dengan tawaran Galang. Malah mungkin dengan cara ini hubungan ketiganya bisa membaik. Sebagai sebuah keluarga. Tadi ia sengaja saja ingin menggoda suaminya ini. Zahra ingin tahu reaksi macam apa yang Galang tunjukkan dan reaksinya cukup membuat Zahra yakin kalau Galang tak punya maksud apapun dengan tawaran itu.
Sayangnya, selama perjalanan Mahira jadi si pendiam. Dia yang duduk di kursi belakang malah memilih tidur. Alasannya sih capek karena jagain Ibu semalaman yang pengen kangen-kangenan sama dia.
“Abis ini aku ke rumah sakit lagi deh kayaknya, Lang.”
“Aku anterin. Kapan katanya Ibu bisa pulang?”
“Sore ini.”
“Aku yang jemput juga kalau gitu. Jam berapa?”
“Kerjaan kamu gimana?”
“Gampang. Bisa diatur. Yang penting Ibu dulu.”
Percakapan keduanya memang terbilang bukan percakapan yang aneh, tapi tetap saja mengganggu ketenangan Mahira yang terpaksa ikut ajakan kakaknya. Juga kakak iparnya.
Rasa tak nyaman seperti inilah yang Mahira hindari. Berada di antara dua orang yang pernah mengganggu ketenangan hidupnya, tapi ia tak bisa lari.
Mahira sudah coba menulikan telinganya, namun percakapan mereka tetap menusuk hati. Akrab sekali. Menunjukkan dengan jelas kalau mereka berdua hidup menikah dan bahagia. Berbeda dengannya yang masih menyimpan rasa sakit hati.
Terlalu keraskah hati Mahira? Lain di mulut, lain di hati. Mahira tak mau mengakuinya, berharap dengan cara itu rasa sakit hatinya hilang begitu saja. Tapi, kenapa rasanya masih tetap sama?
“Hira, kita udah sampai. Ayo bangun!” seru Zahra lantang.
Tak perlu membuang banyak waktu lagi bagi Mahira untuk segera keluar dari mobil. Ia sudah siap melangkah pergi saat Zahra tiba-tiba menghadangnya. Menyerahkan satu tas entah berisi apa padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomanceMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...