“Maafin kakak, Hira. Maaf ....”Isak tangis terdengar. Tapi sungguh, itu bukan Mahira yang melakukannya. Saat ini mulutnya justru terkatup rapat dan matanya membola sempurna. Mendengar kalimat itu muncul dari mulut Zahra tentu bukan hal yang pernah Mahira duga.
Kalau boleh jujur, Mahira memang sudah sejak lama menanti perkataan maaf itu. Tapi ia tak terlalu berharap lebih Zahra akan mengatakannya.
“Maafin, Kakak ....”
Helaan napas Mahira cukup panjang. Bersaman kelegaan yang mengikuti. Lega karena akhirnya mendengar kalimat yang sangat ia tunggu-tunggu sejak dulu.
Hanya kalimat ini saja. Tak lebih. Tapi, kenapa lama sekali sampai Zahra mengatakannya? Memangnya terlalu sulit bagi Zahra untuk mengatakan maaf sampai baru mengatakannya sekarang?
“Kenapa kakak minta maaf? Minta maaf buat apa? Kakak punya salah apa emangnya sama Mahira?”
Satu hal yang harus Mahira pastikan lagi. Takutnya Mahira salah memaknai kalimat maaf yang dilontarkan Zahra barusan. Karena bisa saja maksud permintaan maafnya ini tidak seperti yang Mahira pikirkan, kan?
“Semuanya, Hira. Semua!” Zahra menarik tubuh Mahira dari pelukannya. Matanya tampak sembab karena menangis. “Soal pernikahan Zahra dan Galang, tuduhan kakak ke kamu, dan ... semuanya! Pokoknya semuanya!”
Yah! Untungnya ini sesuai dengan perkiraan Mahira. Memang ini yang ia inginkan. Permintaan Zahra dengan alasan itu. Galang, pernikahan mereka, dan semua tuduhan Zahra padanya dulu.
“Kenapa kakak baru minta maaf sekarang?” Mati-matian Mahira menahan tangis. “Harusnya kakak minta maaf ke aku itu dari dulu!” sengit ia menyudutkan Zahra. Seolah permintaan maaf dari kakaknya itu tak cukup memuaskannya.
“Kakak minta maaf, Hira ... kakak salah! Kakak tahu kalau kakak udah salah sama kamu.”
“Kakah tahu salahnya kakak itu kapan? Sekarang? Atau sejak dulu?” sudutnya terus menerus. Tanpa ampun. Puas sekali melihat Zahra kini akhirnya bersikap lunak padanya.
“Itu ... baru ... sekarang, Hira.” Zahra tertunduk lesu. Tak berani menatap Mahira yang sudah berkaca-kaca.
“Telat, kak! Telat! Harusnya kakak sadar itu sejak dulu! Harusnya kakak sadar udah bikin salah ke aku itu dari dulu!” cecarnya penuh emosi.
“Hira ....”
Zahra hendak meraup wajah Mahira yang sudah terlanjur berair. Membuat sebagian bedak yang tadinya sudah membuat wajahnya cantik mendadak luntur begitu saja. Ia panik. Tak mengira akan membuat Mahira jadi menangis begini padahal sudah berdandan cantik.
“Jangan nangis …. Make up kamu nanti luntur, Hira”
Mahira tak mengguris. Tangisannya malah semakin kencang. Ia sampai menyekanya dengan tangan yang tentu saja membuat penampilan wajahnya semakin kacau balau. Luntur di mana-mana. Zahra juga sama. Sambil mencoba menyeka air mata Mahira dengan hati-hati, ia juga terus-menerus menangis.
Tangisan mereka itu rupanya di saksikan secara diam-diam oleh Bu Halimah yang entah sejak kapan berada di balik ruang tempat Mahira berada sekarang. Ikut menangis meski tak kencang.
Hati seorang ibu mana yang senang melihat anak-anaknya bertengkar? Cukup lama rupanya keadaan kembali seperti sedia kala. Banyak hal yang harus dilewati dalam tangis, amarah, dan bahkan tawa. Semua akhirnya berlalu dan kembali ke tempatnya semula. Menambah kesempurnaan hari pernikahan Mahira yang memang harusnya diliputi kebahagiaan.
Seperti sekarang ini.
Ketika Mahira berjalan di antara Bu Halimah dan Zahra. Melewati para tamu yang berdiri di dua sisi. Di ujung sana sudah ada Andra tampak termangu melihat kemunculan mereka, terutama keberadaan Zahra yang ikut menggandeng Mahira.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomanceMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...