Bab 66 Agar Dia Tahu Rasanya Hancur

193 11 0
                                    


Mahira pikir urusannya dengan Galang sudah selesai. Namun lelaki itu kini malah berada di depan Ruang Kerja Ampa. Lagi. Terlebih ini sudah malam hari. Mahira sudah menyiapkan segala macam cara untuk mengusir lelaki itu pergi jika kemunculannya bukan untuk hal penting. Seiring langkah mantapnya mendekati Galang, Galang juga melangkah mendekat kearahnya.

“Galang, aku—"

“Andra bawa Zahra pergi ke bukit sejak sore dan sampai jam segini mereka belum turun juga. Kamu tahu hal ini?” potong Galang cepat.

Mahira jelas menggeleng. Sisa hari tadi setelah berpisah dari Galang, ia memilih menghabiskan waktu dengan bermain jetski dan wahana air lainnya. Tentu saja ia tak punya cukup waktu untuk mengurusi hal lain selain fokus untuk menenangkan dirinya sendiri.

“Sialan!” Galang berkaca pinggang. “Mereka beneran selingkuh rupanya?”

“Selingkuh? Siapa yang kamu maksud selingkuh?”

“Siapa lagi kalau bukan si Andra sama Zahra, Hira. Aku pikir Zahra beneran gak ada hubungan apapun sama dia. Tapi sekarang apa? Mereka jalan bareng ke bukit? Hanya berdua! Zahra bahkan gak bilang apapun, Hira! Itu artinya apa kalau bukan selingkuh? Huh!”

“Kata siapa mereka ke bukit bareng?”

“Anak buahnya sendiri. Siapa itu yang dateng bareng si Andra ke nikahanku?”

“Yogi sama Randu?”

“Nah! Mereka sendiri yang bilang tanpa aku nanyain Zahra ke mana. Karena tadinya aku pikir dia palingan diem di cottage sendirian. Tapi tahunya apa? Dia malah jalan bareng sama Andra. Keterlaluan!”

“Kenapa kamu gak nyusul mereka kalau gitu?” sudut Mahira. “Ngapain juga kamu malah datanh ke sini? Sana susul Zahra! Jangan cuma nuduh mereka selingkuh kalau kamu sendiri gak lihat mereka emang lagi barengan dengan mata kepala kamu sendiri. Itu sama aja kayak kamu fitnah mereka, Galang!”

Dibentak demikian oleh Mahira tentu bukan dugaan Galang. “Aku … aku ….”

“Ish! Kenapa sih cowok zaman sekarang kayaknya gak punya otak semua? Sukanya nuduh-nuduh doang tanpa bukti! Sukanya cari-cari fitnah tanpa sadar kalau buah dari fitnah itu lebih bahaya dari pembunuhan.”

Dengan langkah mantap Mahira berbalik arah yang disusul oleh Galang tak jauh di belakangnya.

“Kamu juga yang salah, Galang! Harusnya kamu gak ninggalin Zahra tadi sama si Andra. Udah kejadian kayak gini aja keliatan begonya!” dumel Mahira. Jengkel bukan main.

Sungguh. Galang merasa terpojok disudutkan oleh Mahira yang tampak lebih marah daripada dirinya. 

“Gunain akal sehat kamu dong! Jangan cuma hawa nafsu buat marah-marah doang yang kamu ikutin. Kamu tuh pemimpin! Imam keluarga! Masa kayak gini aja gak bisa bertindak yang bener?” Mahira menghentikan langkahnya tepat di ujung tangga menuju bukit. “Sana! Susul mereka! Kamu cuma tinggal naikin tangga ini sampai atas,” tegas Mahira lantang. Ia sampai melotot tajam pada Galang yang malah kikuk kebingungan.

“Sendirian?”

“Ya iyalah! Kamu suaminya Zahra, kan? Kamu yang punya urusan sama dia. Kamu nuduh Zahra selingkuh sama Andra, kan? Buktiin sana langsung sendirian! Buruan!”

Galang ragu-ragu menaiki tangga. Sesekali ia menoleh pada Mahira yang bertahan beberapa saat lamanya di ujung bawah tangga. Memerhatikannya seolah memastikan kalau Galang tak salah jalan.

Lepas lelaki itu tak lagi terlihat oleh matanya, wajah Mahira yang marah tadi berubah kusut. Ia berbalik badan dan melangkah menjauhi tangga. Langkahnya gontai sekali seolah ada sesuatu yang menggantung di setiap pergelangan kakinya. Berat sekali.

“Gak usah ikut campur, Hira. Itu urusan mereka! Bukan urusan kamu!”

Berulang kali Mahira meyakinkan dirinya yang terbesit untuk balik badan lalu menyusul Galang agar tetap menatap lurus ke depan saja. Tak peduli pada apa yang mungkin terjadi pada ketiga orang itu.

“Mahira!”

Panggilan itu membuyarkan Mahira yang mencoba fokus pada dirinya sendiri. Tampak Randu dan Yogi berlarian menuju ke arahnya di bawah kegelapan. 

“Gimana?” tanya Yogi.

“Gimana apanya?” Mahira balik bertanya.

“Ini loh, Hira. Soal si Andra sama si Zahra.” Randu menjelaskan.

“Urusannya sama aku apa?” Mahira bersikap tak acuh.

“Andra sengaja ngajakin Zahra ke bukit,” kata Randu meski malu atas ulah sahabatnya sendiri. Ia merasa Mahira harus mengetahui hal ini. “Dia kayaknya sengaja bikin hubungan Galang sama si Zahra kacau kayak gini. Kamu tahu soal menu spesial itu, kan?”

Mahira mengangguk. Ini yang ingin dia ketahui tapi enggan mencari tahu. Mahira ingin abai. Tak mau terlibat terlalu dalam dengan urusan Andra, Zahra, dan Galang. Ia tak mau berurusan dengan mereka bertiga!

“Dia sengaja ngasih menu itu buat nguji Zahra.” Yogi tampak ketakutan saat menjelaskannya. “Dia pengen tahu si Zahra bakal baper atau enggak kalau dia sajiin makanan yang dulu pernah Andra sajiin ke dia.”

Mahira membuang napas berat. “Dasar cowok dramatis!”

“I—itu si Galang, kan?” Yogi menunjuk ke arah tangga menuju bukit. Tampak ada Galang di sana.

“Iya. Dia mau nyusul si Zahra sama si Andra.” Mahira dengan berat hati menjawab. Bukan maksud untuk ikut campur, tapi hanya menjawab pertanyaan dua orang itu. “Itu juga kalau mereka emang masih ada di bukit.”

“Gak bakalan ada huru-hara kan di atas sana? Kok gue mendadak khawatir sama si Andra yah, Ran? Dia kayaknya dendam banget sama si Zahra nyampe sengaja bikin masalah kayak gini. Buat apa coba tujuannya? Apa dengan bikin onar di pernikahannya gak cukup?” gerutu Yogi yang tampak gelisah.

Randu merasakan hal yang sama juga. Mahira pun tak kalah khawatir. 

“Gimana kalau kita ke atas?” tanya Randu. 

Tiga orang itu saling berpandangan dan kemudian mengangguk. Nyaris di waktu bersamaan.

“Tapi sebelumnya, kita bagi tugas atas segala kemungkinan yang bisa aja terjadi di atas,” lanjut Randu. “Yogi sama gua tugasnya melerai kalau emang terjadi pertengkaran di antara mereka bertiga. Nah, tugas lo bawa Andra pergi, Hira. Andra kalau udah ngamuk kayak gitu akal sehatnya suka gak jalan. Lo inget kan gimana nekatnya dia di pernikahan kakak lo gimana?”

Mahira mengangguk dengan wajah tegang. Ia seperti hendak memasuki sebuah peperangan saja. “Kalau dia gak mau, gimana?” Mahira tak begitu percaya diri akan tugas yang diembankan padanya. Ini terasa begitu berat. Apalagi mengingat ia dan Andra malah lebih sering cekcok ketimbang akur. Bagaimana mungkin Andra bisa Mahira ajak pergi kalau kenyataannya seperti ini?

Randu berpikir sejenak. “Lo pasti bisa, Hira. Kalau sama kita berdua, justru dia makin berontak. Kalau sama elo …,” Randu menjeda kalimatnya, “pokoknya gue yakin Andra pasti nurut sama lo. Oke?”

Mahira tak tahu datangnya kepercayaan diri Randu padanya itu dari mana. Tapi ia juga tak punya pilihan lain selain mengangguki perkataan Randu. Mahira tak mau terjadi hal yang tak diinginkan malam ini di pulau. Tak boleh ada masalah apapun yang terjadi!

Perhatian Mahira sudah teralihkan pada rasa khawatir dan takut akan segala kemungkinan yang terjadi di atas sana. Ia khawatir Zahra kenapa-kenapa, Andra melakukan hal di luar batas, atau Galang membuat keadaan semakin runyam.

Sementara tiga orang itu mulai menaiki tangga menuju bukit dengan langkah cepat, Galang sudah hampir sampai di ujung tangga bukit. Napasnya tersengal-sengal. Tapi ia masih bisa bertahan menaiki tangga itu. 

Ekor matanya menangkap keberadaan orang yang dicari di salah satu sudut area bukit. Sejenak Galang terpaku memerhatikan dua orang yang dicarinya tengah saling berpelukan erat. Matanya membola sempurna. Sepersekian detik ia dapat merasakan gemuruh di dadanya perlahan menyala-nyala. Panas.

“Andraaa!!!”

Dengan langkah cepat Galang berlari menghampiri keduanya yang tampak terkejut mendengar seruan itu. Tiga orang yang tengah menyusul pun seketika mempercepat langkah mereka menaiki tangga saat mendengarnya.

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang