Mahira yakin kejadian semalam pasti bukanlah bentuk ketidaksengajaan. Ada sesuatu yang perempuan bernama Amel itu inginkan darinya sampai tega membuatnya terluka dan berbohong.
Pagi itu Mahira sudah bergegas menemui Amel di cottage. Untung saja wanita itu sendiri yang membukakan pintu, jadi Mahira tak perlu susah payah mengarang cerita agar bisa menemuinya.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Mahira masih bersikap sopan dan ramah. Meski inginnya langsung menyerang Amel dengan beragam banyak tanya karena sudah membuatnya dalam bahaya. Mahira yakin ingatannya tak salah!
Perempuan itu menguap. Rambut sepinggangnya tampak acak-acakan, namun wajah cantiknya masih tetap memancarkan pesona lain. Matanya nyaris tak terbuka, tubuhnya bersandar di pembatas pintu tampak seperti orang tak berdaya.
"Ngomong di sini aja, Tan."
"Panggil saya Mahira." Sudah cukup lama Mahira risi oleh panggilan aneh perempuan itu padanya. Memangnya dia setua apa sampai dipanggil Tante?
"Oh ... ya ... Mahira. Ada apa? Ngomong di sini aja. Aku masih ngantuk banget nih!" Sekali lagi perempuan itu menguap. Ia sampai menutupi mulutnya yang menganga cukup lebar.
Mahira memilah-milah pertanyaan apa yang harus ia lontarkan untuk pertama kali pada perempuan yang tampaknya seperti tak mengingat kejadian semalam? Sama sekali tak menunjukkan rasa khawatir saat melihatnya. Normalnya, mungkin harusnya ia menanyai dulu kondisinya sekarang setelah semalam ditemukan nyaris tak sadarkan diri. Atau ... mungkinkah Amel lupa kejadian semalam?
Apakah ia harus menanyakan kebenaran tentang kehamilan itu lebih dahulu? Atau alasan dibalik ulahnya yang membuat Mahira jatuh dari tangga? Semua terasa penting untuk ia ketahui terlebih dahulu.
"Kenapa kamu dorong saya semalam waktu mau di bukit?" serang Mahira tanpa basa-basi.
Amel menyeringai tipis yang membuat Mahira merasa sedikit tak nyaman berhadapan dengannya. Ada rasa takut juga jika mengingat betapa beraninya Amel semalam saat menendang tubuhnya dengan kaki. Kuat sekali perempuan itu!
"Aku gak dorong kamu kok," elak wanita itu enteng.
"Saya ingat semua kejadian semalam, Amel. Jelas-jelas kamu mendorong dan menendang saya sampai terjatuh!" Mahira sudah tersulut emosi. Pengelakan perempuan itu seperti pertanda bahwa ia sedang menghadapi sosok manusia penuh dusta.
"Benarkah? Buktinya mana? Ada saksi gak? Mungkin itu cuma mimpi kamu doang, Mahira." Amel malah balik menuduhnya. Terang saja Mahira semakin tak bisa menahan emosinya.
"Mana mungkin ada saksi yang lihat. Kita di sana cuma berdua. Kamu yang mengajak saya ke sana untuk menemui Andra."
"Tapi kamu baik-baik aja tuh sekarang."
"Kepala saya terluka." Mahira menunjuk bagian kepalana yang ditutupi perban. Tampak ada kain putih menonjol dari balik kerudung saat ia sedikit membukanya. "Ini bukti kalau semalam kamu sudah membuat saya celaka."
Mahira sudah memasang raut wajah galak. Tapi Amel masih berlagak santai, sama sekali tak tampak merasa bersalah atau takut.
"Saya bisa melaporkan tindakan kamu itu ke Polisi, Amel. Kenapa kamu-"
"Ya udah! Sana laporin aja kalau emang mau. Ngapain pake dateng ke sini segala buat gangguin orang lagi tidur?" Malah Amel yang terlihat jengkel. Ia tampak tak takut sama sekali oleh ancaman Mahira barusan, malah dengan sengaja menerima tantangan itu. "Pelayanan di sini buruk! Sekelas manager aja gangguing tamu yang lagi tidur!"
Amel mendengkus pendek sebelum kemudian menutup pintu cottage dengan kasar. Mahira tak bisa berkata apa pun selain meremas tangannya yang terlipat dengan suasana hati semrawut. Baru kali ini ia bertemu dengan perempuan aneh seperti Amel. Tak punya rasa bersalah dan rasa takut padahal sudah jelas-jelas melakukan sesuatu yang fatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
عاطفيةMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...