Andra berlari terseok-seok dengan kaki telanjang. Dua tangannya terangkat ke udara sambil mengibaskannya dengan penuh tenaga.
"Mahira! Hira!" teriaknya lantang.
Matanya menatap lurus sosok yang tengah berdiri di ujung dermaga. Meski matahari masih malu-malu nampak, Andra yakin kalau sosok itu adalah Mahira.
Subuh tadi Andra mendengar derit pintu terbuka dari Rumah Ampa karyawan perempuan. Ketika Andra mengintip, ternyata itu adalah Mahira. Andra tak berniat menyusul sebenarnya. Tangis Mahira kemarin yang diam-diam ia curi dengar seolah memberinya pertanda bahwa Mahira sedang butuh sendirian.
Sayangnya Andra tak bisa memalingkan perhatiannya dari sosok Mahira yang berjalan perlahan sendirian subuh itu. Melihat sandal jepit yang dipakainya, Andra dapat menebak kalau Mahira bukan hendak olahraga seperti biasa. Lalu, hendak ke mana perginya perempuan itu sepagi ini?
Andra memerhatikan dari atas balkon. Matanya menyipit sesekali. Suasana area bibir pantai yang hanya disinari lampu luar cottage tak cukup mampu membuat pandangannya jelas. Tapi, ia dapat melihat sosok Mahira malah berjalan ke arah dermaga sendirian.
Tadinya Andra diam saja. Memerhatikan dari kejauhan. Tapi ketika melihat Mahira tiba-tiba hanya berdiri di ujung dermaga, Andra mulai panik. Ia teringat akan seorang pengunjung yang beberapa waktu lalu sempat melakukan percobaan bunuh diri.
"Mahira! Berhenti! Mahira!!!"
Tak pernah Andra berlari sekencang ini. Untung saja ia sering melakukan olahraga rutin setiap paginya. Kalau tidak, mungkin sekarang lututnya bisa langsung patah diajak lari dengan kecepatan atlet.
Tangan Andra terulur, ia raup dua sisi pundak Mahira yang kemudian ia tarik mundur dengan gerakan cepat. Sampai membuat Mahira nyaris saja tersungkur dan jatuh ke laut kalau Andra tak memegang pundak Mahira erat-erat.
Dengan emosi meluap Andra membalik badan perempuan itu sampai menghadapnya. "Kamu gila? Mau nyoba bunuh diri?" cecarnya pada Mahira yang malah menautkan kening.
Satu tepisan lemah cukup membuat Andra mau menurunkan tangannya dari bahu Mahira.
"Ngomong apaan sih kamu? Siapa juga yang mau bunuh diri?" elak Mahira sambil melangkah mundur, menjauh dari Andra.
"Terus barusan ngapain diem di sana?" Andra menunjuk tempat Mahira berdiri tadi. "Kalau bukan mau bunuh diri, terus ngapain lagi? Mancing ikan? Mana pancingannya?" Andra berkaca pinggang. Lagaknya mirip seperti abang yang tengah memarahi adik perempuannya. Kalau bukan karena rasa sungkan, mungkin Andra sudah melayangkan jitakan keras di kening perempuan berhijab itu.
Andra mencoba mencari alasan yang lebih positif kenapa Mahira ada di sana, tapi semuanya tampak tak masuk akal. Pasti Mahira mau berbuat hal aneh.
"Lihat matahari terbit."
"Bohong! Kamu tuh biasanya naik jetski dulu buat lihat matahari terbit! Aku tahu kebiasaan kamu itu!"
"Aku mau nyari cara baru buat menikmati matahari terbit, Dra."
"Gak usah banyak alasan! Sekarang kita ke dapur. Kamu harus sarapan. Ayo!" perintah Andra dengan nada suara tinggi. Ia sampai mengarahkan jari telunjuknya agar Mahira tahu ke mana ia harus melangkah. Jangan sampai Mahira berbuat hal aneh-aneh lagi. Andra tak akan mengedipkan matanya satu detik pun dari mengawasi Mahira.
Tepat ketika itu, speedboat muncul dari kejauhan. Andra dan Mahira kompak memerhatikan kapal itu yang perlahan mendekat ke dermaga. Pak Supri tampak melambaikan tangan dari area kemudi.
"Itu rombongan yang mau ngadain acara pernikahan di sini, yah? Sana pergi siapin sarapan!" usir Mahira yang akhirnya memiliki alasan untuk membalas bentakan Andra. Dari tadi dia bersikap lunak karena sedang ogah cekcok sengit dengan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomantizmMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...