Bab 50 Gagal Berpikir Positif

172 8 0
                                    

Di satu sisi, Mahira harus menelan kekecewaan karena tak bisa menghubungi orang tuanya di liburan kali ini. Tapi di sisi lain, ia justru lega karena dengan ini ia tak perlu memikirkan kata-kata Galang waktu meneleponnya. Meski berhari-hari sudah berlalu, Mahira tak bisa melupakan percakapan singkatnya dengan Galang. Untuk pertama kalinya, selepas Galang menyandang status sebagai suami orang, keduanya akhirnya berbicara. Bukan sebagai mantan, tapi sebagai kakak dan adik ipar.

Miris sekali.

Untuk menikmati waktu liburannya kali ini, Mahira memilih memantau jalannya pembangunan cottage baru yang dirancang oleh Rangga. Lelaki berambut ikal itu tampak sibuk memberikan arahan para pekerjanya. Beberapa kerangka bambu sudah tersusun rapi, mencuat ke permukaan lautan. Sudah ada jembatan kayu yang terapung di atas lautan. Nantinya jembatan itu akan menghubungkan cottage yang satu dengan lainnya yang dibangun tepat di atas lautan. Beberapa buah cottage pun tampak sudah berdiri meski masih belum seutuhnya sempurna.

"Waaahhh ... Pak Rangga beneran ngebut nih ngerjainnya?" tegur Mahira. "Keamanannya terjamin kan, Pak?"

"Tenang saja, Bu Mahira. Saya tidak mungkin membuat bisnis Pak Prawira kacau dengan membuat bangunan yang tingkat keamanan dan kenyamanannya kurang. Bisa-bisa karir saya sebagai arsitek langsung hancur saat itu juga."

"Bukan hanya karir Pak Rangga aja yang terancam, karyawan di sini juga juga bakal kena imbasnya kalau bisnis Pak Prawira kacau," komentarnya kemudian. "Mohon kerjasamanya, Pak. Supaya rencana cottage baru ini bisa membuat Pulau Ampalove semakin banyak dikunjungi sehingga karyawan di sini gak kehilangan mata pencaharian mereka."

"Bu Mahira bikin saya terbebani saja nih."

Mahira tak mau rencana fasilitas tambahan ini sampai gagal total, maka dari itu ia harus bisa memastikan kalau Rangga tak membuat kesalahan sekecil apa pun. Nyaris setiap hari ia selalu menanyakan perkembangan sampai kendala apa saja yang dihadapi Rangga saat pembuatan cottage baru. Semua demi kepentingan bersama, bukan hanya dirinya saja.

"Bu Mahira gak ikut karyawan lain liburan ke pulau seberang? Atau ini bukan jadwalnya Bu Mahira?"

"Jatah liburan saya sedang tidak berlaku, Pak. Mungkin untuk beberapa minggu ke depan, saya akan lebih banyak tinggal di pulau ini."

"Wah? Kenapa? Kok bisa gak berlaku gitu?"

Mahira enggan bercerita banyak. Apalagi hal ini menyangkut Andra dan dirinya. Sudah cukup lelah ia dan Andra menjadi bahan gosip para karyawan akibat insiden menghilang di satu malam itu.

"Lagi gak pengen keluar pulau aja, Pak. Saya mau fokus dengan pembangunan cottage baru." Mahira beralasan.

"Waaahhh ... hebat sekali Bu Mahira ini. Dedikasi Anda pada pekerjaan patut diacungi jempol. Ngomong-ngomong, Bu Mahira dan Chef Andra tak ada rencana untuk menikah?"

Terang saja Mahira langsung mendelik sinis mendapatkan pertanyaan itu. "Menikah?"

"Iya. Mengingat kalian berdua berada di tempat kerja yang sama seperti ini. Di sini tak ada larangan para pekerjanya menikah, kan?"

Mahira merasa usahanya untuk menghindar dari gosip dengan Andra tetap gagal total. Padahal ia berharap Rangga bisa menjadi salah satu orang yang tak ikut menuduh dirinya dan Andra punya hubungan khusus.

"Saya dan Chef Andra tak punya hubungan apa pun dan tak ada alasan untuk kami menikah. Pak Rangga jangan percaya rumor aneh tentang kami."

"Tapi, karyawan lain banyak yang bilang kalau kalian itu punya hubungan khusus." Rangga sebentar tersenyum. "Mereka sampe ngancem saya biar gak deket-deket Bu Mahira biar gak bikin hubungan Bu Mahira dan Chef Andra terusik loh."

"Serius? Siapa yang bilang kayak gitu? Saya dan Chef Andra gak punya hubungan apapun!" Setengah membentak Mahira menyangkalnya. "Tapi, terserah Pak Rangga aja deh mau percaya sama saya atau mereka."

"Kok gitu, Bu? Apa itu artinya Bu Mahira tak menyangkal punya hubungan spesial dengan Chef Andra?"

Mahira membuang napas panjang. "Entahlah! Tapi yang pasti saya memilih untuk fokus pada pekerjaan ketimbang ngurusin gosip. Terserah deh mereka mau bilang apa lagi tentang saya dan Andra."

Mahira sudah diambang putus asa. Sekeras apapun ia menyangkal, selalu saja muncul hal baru yang menyeret namanya disandingkan lagi dengan Andra. Seperti dunia Mahira kini hanya berputar-putar pada lelaki itu.

"Semakin saya menyangkal sesuatu, orang malah makin gencar nyari letak kesalahan sangkalan saya. Ujung-ujungnya, saya sama Chef Andra makin digosipin. Maka dari itu, untuk sekarang saya gak mau banyak menyangkal ataupun mengiyakan. Lebih enakan diem kayaknya dan tutup telinga. Bodo amat aja deh! Capek juga ladeninnya."

Rangga tersenyum tipis mendengar Mahira yang terdengar begitu putus asa. Belum lagi raut wajahnya yang tiba-tiba kusut mesut. Rangga jadi merasa bersalah karena sudah membuat Mahira tampak kesal atas perkataannya.

"Mengingat latar belakang pertemuan kalian, saya bisa mempercayai perkataan Bu Mahira," kata Rangga enteng.

Mahira melirik penuh tatapan serius. "Pak Rangga sepertinya sudah tahu cerita panjang tentang saya dan Chef Andra."

"Para karyawan yang bercerita meskipun saya gak minta, yang ujungnya yah itu. Minta saya biar gak deket-deket apalagi macem-macem sama Bu Mahira. Mereka banyak cerita soal kalian berdua ke saya."

"Waaahhh ... mereka kayak kurang kerjaan aja. Apa perlu saya kasih mereka tugas tambahan biar gak ada waktu buat ngerumpi hal yang gak penting kayak gini?" Mahira setengah emosi. Ia tak mengira jika para karyawannya berbuat ulah seperti ini di belakangnya. Sampai-sampai memiliki waktu untuk bercerita banyak hal tentangnya pada orang asing tanpa sepengetahuannya. "Awas aja mereka nanti!"

Rangga terkekeh. "Bu Mahira gak perlu semarah itu. Mereka ceritanya kalau pas tugas mereka beres kok. Saya jamin! Mungkin itu cara mereka mengakrabkan diri dengan saya juga dengan berbagi kisah menarik yang sudah terjadi di pulau ini. Dan kalau boleh saya jujur, meskipun saya bukan pekerja tetap di tempat ini, saya merasa seperti sudah lama saja tinggal di sini karena sikap terbuka dan ramahnya para karyawan. Kalau bukan karena mereka, mungkin saya gak betah lama-lama tinggal di sini. Mana susah lagi menghubungi orang luar! Bener, gak?"

Untuk kali ini Mahira dibuat lega oleh ucapan Rangga. Terkadang memang hal yang dianggap buruk bisa menjadi hal baik di satu sisi. Gosip mengenai dirinya dan Andra rupanya bisa bermanfaat di situasi seperti ini, meski dalam hati kecil Mahira, ia tetap jengkel.

Sama jengkelnya seperti Andra yang sejak tadi melihat keduanya dari kejauhan. Mau melangkah mendekat, enggan. Menjauh, apalagi. Melihat Rangga dan Mahira tampak serius bicara, Andra bukannya tak berpikir buruk. Tapi mengingat kepentingan Rangga di sini untuk apa, ia juga harus berpikir yang baik.

"Ngobrolin cottage baru kali, yah?" pikir Andra mencoba berpikir positif. "Tapi, harus yah Mahira senyum-senyum begitu? Samperin jangan, yah?"

Andra masih punya akal sehat untuk bisa berpikir jernih. Selama berada di sini, ia bisa jamin kalau Mahira bukan tipe perempuan yang dengan mudah berbincang dengan lawan jenis kalau bukan karena urusan pekerjaan. Situasi yang tengah Andra lihat pun tak jauh berbeda.

"Pasti lagi ngomongin kerjaan." Andra mencoba meyakinkan diri. "Ya. Mahira sama si Rangga-rangga itu pasti lagi ngomongin kerjaan. Mahira mana mau diajak bergosip atau ghibah. Apalagi diajak ngobrol hal remeh-temeh. Ya! Gak usah ganggu berarti."

Andra berusaha keras meyakinkan diri. Ia siap berbalik badan agar tak lagi memerhatikan Rangga dan Mahira, takut jika pikiran negatif kembali menyelubunginya. Tapi, baru beberapa langkah maju, Andra berubah pikiran. Ia malah berbalik arah dan berjalan menghampiri Mahira dan Rangga. Ia juga sampai berteriak lantang.

"Hira! Ngapain kamu di sana sama Pak Rangga?" teriaknya tanpa ragu. "Kamu selingkuh dari aku, yah?!"

Tidak bisa! Andra tak bisa berpikir jernih! Entah kenapa. Ia berat hati membiarkan Rangga dan Mahira berduaan seperti itu. 

I Love You, ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang