Mahira tak mau membuang waktu setibanya di pulau. Sore itu ia sudah langsung berbaur dengan pekerja yang lain, tak peduli betapa lelah perjalanan yang sudah ia tempuh. Ia ingin memastikan terlebih dahulu permasalahan apa yang mungkin terjadi ketika ia pergi beberapa hari ini.
Mahira dibuat takjub karena sepertinya semua berjalan dengan lancar. Termasuk pembangunan cottage baru yang dilaporkan Rangga nyaris rampung. Ada rasa lega sekaligus tak nyaman mendapati semua baik-baik saja. Apalagi ketika orang-orang yang ditemuinya kompak meminta Mahira untuk kembali ke Rumah Ampa agar dapat beristirahat selepas tiba di sini.
Tapi, ketika ia memutuskan kembali ke Rumah Ampa, ia mendapati Andra sudah berada di sana dengan totebah orange yang tadi diserahkannya pada Andra. Mahira sengaja tak bertanya apapun saat melewati lelaki itu. Ia melengos begitu saja.
“Ayo makan! Kamu belum makan apa-apa semenjak tiba di sini. Makanan yang kamu bawa udah aku angetin. Beberapa basi sih, jadi aku ganti dengan makanan yang ada di dapur.”
Andra mengacungkan bungkusan itu ke depan muka Mahira dengan wajah semringah. Kontras dengan raut wajah kusut Mahira yang nyaris tak menerbitkan satu senyuman pun.
“Aku tahu kalau kakak kamu sengaja masakin makanan ini buat kamu selama diperjalanan, tapi gak kamu makan, kan?” terka Andra yang ditingkahi Mahira dengan diam. Tak perlu mendengar jawaban apapun, Andra yakin kalau diamnya Mahira berarti terkaannya tak meleset.
Lelaki itu menaiki tangga Rumah Ampa, menaruh totebag itu di meja. Tak peduli Mahira masih bergeming di tempatnya tadi, Andra tetap mengeluarkan satu per satu wadah dari dalamnya.
“Buruan, Hira!” ajak Andra tak sabaran. “Gak usah bengong kayak gitu. Makanannya gak beracun kok. Udah aku cek tadi di dapur! Masakan kakak kamu pasti selalu enak.”
Ekor mata Mahira menatap lekat Andra yang tampak semangat membuka satu per satu wadah di meja. Sementara ia perlahan berjalan menaiki tangga Rumah Ampa.
“Kalau emang enak, kenapa gak kamu abisin aja? Ngapain dibawa ke sini?” sinis Mahira. Ia memang tak berniat menyantap makanan itu sejak awal.
“Ini masakan Zahra buat kamu. Masa iya sama aku dihabisin?”
“Abisin aja. Aku gak masalah kok. Masakan di restoran kan masih banyak.”
“Makanan ini dari restoran juga, Hira. Beberapa sih buat ganti makanan yang basinya. Udah! Udah! Gak usah banyak alasan. Duduk! Kamu harus makan! Kakak kamu udah susah payah bikin makanan ini, masa iya gak kamu makan sih?”
“Aku gak minta dimasakin kok! Dia sendiri yang inisiatif!”
“Bagus dong! Harusnya kalau emang kayak gitu, kamu hargai masakan yang dia bikin. Bukan malah cuma bawain doang sampe basi. Diluaran sana banyak orang yang kelaparan karena gak ada makanan. Tapi kamu malah sia-siain makanan ini. Ayo duduk cepetan!”
Andra yang jengkel langsung menarik Mahira dan memaksanya duduk di kursi. Karena Mahira diam saja, Andra terpaksa menjejalkan sendok dan garpu di dua tangan perempuan itu.
“Apa susahnya sih makan pemberian kakak kamu? Kamu gak laper apa?” omel Andra. “Kamu boleh sakit hati karena perbuatan dia, tapi itu semua gak murni kesalahan kakak kamu, kan? Jadi, hargai masakan yang udah dia bikin dengan susah payah karena belum tentu kamu bisa bikin masakan kayak dia.”
Mahira mendelik sinis pada Andra yang malah tampak semringah setelah mengomelinya. “Kamu … belain Zahra?”
“Aku bukan belain dia, tapi ngehargain masakannya. Sebagai seorang chef, aku tahu kalau masak itu bukan kegiatan yang mudah, Ra. Pasti kamu sendiri tahu dong repotnya masak gimana? Ngupas bawang aja susah, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Chef
RomanceMahira harus merelakan kekasihnya, Galang, menikah dengan kakaknya sendiri, Zahra. Tepat di hari pernikahan itu, Andrameda yang merupakan mantan kekasih Zahra membuat gaduh acara tersebut. Selain mengungkap perselingkuhan kedua mempelai, Andrameda...